8

1.1K 42 0
                                    

Saat ini aku sedang membaca buku ekonomi di perpustakaan daerah. Ya, hampir setiap pulang sekolah aku kemari untuk sekedar membaca ataupun belajar bahasa Inggris. Seperti biasa, saat sore tak ada banyak orang di sini, namun hal itu yang membuatku betah karena aku bisa lebih fokus belajar di tempat yang tenang.

Seharusnya aku kemari bersama Aaron, dia pasti senang aku ajak ke sini. Namun masalahnya ia tak sekolah hari ini karena sakit. Cih! Padahal tadi malam ia baik-baik saja hingga bisa menakutiku.

Berbicara soal Aaron, aku tak memberi tahu Randy bahwa Aaron datang ke rumahku tadi malam. Bisa-bisa aku langsung di bawa ke gudang untuk di interogasi.

Sejak tadi ponselku bergetar, menerima panggilan dari Thristan. Cih! Aku tak perduli. Urus saja kopi luwaknya! Dasar kakak tak berguna! Aku tak menyangka jika Thristan tela meninggalkanku di pinggir jalan hanya untuk kopinya, aku pikir Bagas berbohong tapi ternyata ia benar.

Sudah lebih dari satu jam aku berada di sini, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya pukul empat tiga puluh aku sudah berada di rumah. Jadi wajar saja si Thristan sialan itu terus menelponku. Karena aku kesal aku langsung merijectnya dan menonaktifkan ponselku.

Tak lama setelah itu tiba-tiba telingaku terasa sakit karena ditarik.

"Ohhhh jadi kamu di sini? Kenapa teleponnya dimatiin?" tanya Thristan sambil menjewer kupingku.

"Ahhhh sakit!" jeritku membuat beberapa orang menengok ke arah kami.

"Ayo pulang!" Thristan langsung membawa tasku dan menyeretku keluar membuatku semakin kesal dibuatnya.

"Gak usah manyun kayak gitu! Ntar kaka cium lagi" ucapnya setelah naik ke atas motor.

"Amit-amit!" umpatku kesal lalu duduk di belakangnya.

Setelah itu kami pulang ke rumah namun Thristan malah sengaja menambah kecepatan motornya saat di tengah jalan secara mendadak, hal itu membuatku hampir terjungkal kebelakang.

"SETAN!" umpatku sambil berteriak.

dalam hati tapi, mana mungkin aku berani mengumpati Thristan.

***

Setelah makan malam bersama, kami memutuskan untuk menonton TV di kamarku. Namun bukannya menonton TV Thristan malah menonton wajahku dari bawah. Ya saat ini Thristan sedang tiduran dengan menjadikan pahaku sebagai bantalnya.

"Ih paan sih kak?" tanyaku dengan ketus sambil menabok wajahnya pelan. Saat ini aku sedang mempelajari rumus-rumus kalimat bahasa Inggris.

"Dagu kamu lancip" kata Thristan sambil mengusap daguku.

"Iya aku tau aku ini cantik, Selena gomez aja kalah" ucapku percaya diri.

"Cih! Kamu jadi lubang hidungnya
Selena Gomez aja gak pantes" cibir Thristan.

"Cih!"

"Kak lo tiap pagi ninggalin gue di perempatan jalan buat beli kopi ya?" tanyaku memngungkit masalah tadi pagi.

Mendadak Thristan diam. Cih!

"Kamu tau dari mana?" tanyanya lalu ia berbalik dan memeluk perutku, menyembunyikan wajah sialannya di sana.

"Jadi bener? Tega banget lo kak! Lo tau gak sih kalo lagi jalan sendirian suka digodain sama kakak kelas, kan banyak yang naksir sama gue tapi gue gak suka sama mereka dan gue kesel digodain" ucapku kesal lalu memukul kepalanya dengan buku yang aku pegang.

Aku terbiasa berbicara dengan sebutan lo gue saat marah pada Thristan, dan pasti Thristan akan merayuku agar tak marah lagi.

"Ck! Apaan sih? Tuh perempatan jalan kan gak jauh cuma beberapa meter doang sampe di depan sekolah kamu!"

"Bodo amat pokoknya gue ngambek!" kesalku menurunkan kepalanya dari pahaku. Ia langsung terduduk dan memandangiku.

"Nanti gak kebagian kopi" ucapnya memelas.

"Jadi lo lebih milih kopi dibandingkan adik lo?" tanyaku menaikkan oktaf.

"Enggak gitu sayang, kan kamu ju-"

"Bodoamat!" ketusku memotong ucapannya dan kembali memfokuskan diri untuk membaca buku.

Namun tiba-tiba ia langsung manariku ke dalam pelukannya dan menciumi kedua pipiku gemas dari belakang.

"Ihhh jangan cium! Mulut lo itu bau odol!" bentakku sambil berusaha untuk melepaskan diri. Namun Thristan sama sekali tak terpengaruh, ia mengganggap tengaku ini tak jauh berbeda dari tenaga bayi. Ia mengunci pergerakan ku dengan kukungannya.

"Odol wangi sayang, Gak bau"

"Bodoamat lepasin ah!" teriakku karena ia semakin menjadi-jadi.

"Kamu tau darimana hm?" tanyanya lagi, ia sudah berhenti menciumiku namun ia belum melepaskan pelukannya.

"Gak penting!"

"Oke kalo gitu" ia kembali menciumi pipiku dengan gemas bahkan menggigitnya kecil dan mejilatnya seperti es krim membuatku semakin meronta-ronta minta dilepaskan.

Namun bukannya dilepaskan ia malah makin bringas, ia menggigit telingaku dan turun ke bawah menciumi leherku bahkan menghisapnya seperti seorang vampire.



Ia mencium leherku





AAAAAAAA






Thristan akan memperkosaku! Sialan! Thristan sialan! Sejak kapan ia jadi sevulgar ini?






Ini semua gara-gara majalah dewasa yang sering Thristan beli, ia jadi brengsek seperti ini. Apa ia juga sering menonton porn video? Benar-benar gila!

"Dari Bagas" jawabku pada akhirnya karena takut Thristan akan benar-benar memperkosaku.

"Lepasin kak! Jangan perkosa gue! Gue ini adek lo!" ucapku panik, lalu Thristan akhirnya melepaskanku setelah puas menikmati leherku. Dan refleks aku loncat sejauh dua meter dari atas ranjang untuk menjaga jarak. Aku terlalu shock dengan kelakuannya.

Aku langsung mengelap pipi dan leherku yang basah dengan baju dan aku tak menyadari bahwa hal itu membuat  bagian atas milikku terlihat oleh Thristan.

"Kamu kayaknya emang sengaja godain kakak" kata Thristan lalu kembali menarikku dalam pelukannya.

"Kak gue adik lo! Masih perawan! Jangan diperkosa!" teriakku sambil berusaha melepaskan diri dan berhasil.

"Oh iya lupa! Kamu kan adik kakak! Kalau bukan...." ia menggantungkan kata-katanya sambil tersenyum miring seperti psikopat. Sialan kau Thristan! Ia membuatku takut.

"Kamu taulah" lanjutnya sambil terkekeh.

Aku langsung mengambil guling dan berdiri lalu memukulinya dengan keras

bugh bugh bugh

"SIALAN LO! MUSNAH LO SETAN! MISNAH!" untuk pertama kalinya dalam hidup ini aku mengumpati Thristan secara terang-terangan.

Thristan malah tertawa keras dan merubah posisinya menjadi tidur di atas ranjangku. Aku memukulinya namun ia malah menikmatinya, ia pasrah sambil memejamkan mata dan juga tertawa.

"Punya kamu gede sayang" bisiknya namun masih terdengar olehku.

Karena semakin kesal aku pun berhenti lalu keluar dari kamarku, dan tidur di sofa sambil memeluk boneka tedy bear yang aku dapatkan dari Bagas bulan lalu. Tapi Thristan malah mengikutiku dan ikut tidur sambil memelukku.

"Paan sih sana!" hardikku.

"Sayang...." kata Thristan manja. Membuatku jijik.

"Bilang sama Bagas siap-siap masuk rumah sakit" lanjutnya sambil berbisik di leherku.

"Hah?"
***

LELAKI BIADAB! MOR!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang