Cerpen Horor : Tak Melihat Dan Tak Buta

77 7 0
                                    

*#LOMBATHELITERASICERPEN_HOROR*

***

"Pergi dari rumahku!"

Raungan darinya membuatku berjengit. Wajah yang mengerikan, suara yang memekikkan, tubuh yang penuh luka itu mampu membuatku tak berani menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Sebenarnya aku baru saja pindah rumah ke rumah ini. Namun ternyata di dalamnya ada tuan rumah yang terkenal tak berkepala itu tidak senang dengan kehadiranku.

Aku berjalan mundur ketika ia mendekatiku tanpa langkahnya. Suara geramannya terdengar seperti suara singa yang tengah bersiap menerkam mangsa itu, bergema pada langit-langit rumah. Badanku gemetar, ia tidak menyukai kehadiranku.

Buru-buru aku pergi dari sana dan keluar dari rumah itu sebelum ia benar-benar menghabisiku. Aku pun menunduk sambil menyusuri jalanan lengang nan sunyi. Harus ke mana lagi aku sekarang? Padahal aku sudah membeli rumah itu, tapi ternyata sosok menyeramkan itu malah mengusirku.

Haruskah ku pinta uangku kembali? Dengan alasan apa? Dengan alasan bahwa si tuan rumah tak berkepala itu mengusirku? Di dunia nyata, alasan itu sangat tidak logis.

Ku rutuki diriku yang mengabaikan nasihat-nasihat orangtuaku. Mengapa aku malah memilih merantau ke kota orang? Sedangkan mereka menawarkan untukku tempat tinggal yang lumayan layak. Aku memukul kepalaku karena tidak menuruti nasihat kedua orang tua.

Aku masuk ke dalam angkutan umum dan duduk di samping seorang laki-laki yang membawa bayinya. Bayi itu sangat lucu. Andai aku tidak mengugurkan bayiku, bisa-bisa sekarang aku juga menimang bayiku. Aku membuat wajah yang lucu kepada si bayi, dan ia tertawa sangat manis nan lucu, membuatku seketika melepas lelah.

Angkutan umum berhenti, aku keluar dari sana dan seketika bingung. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di sini, pulang pun aku tidak punya uang karena uangku habis untuk membeli rumah itu. Namun di tengah aku berpikir seperti itu, si bayi yang digendong itu terus menatapku dengan senyumannya yang menggemaskan.

Seketika aku berbalik ketika laki-laki itu menoleh ke belakang. Aku pura-pura melihat-lihat jalanan yang ditumbuhi pepohonan, aku jadi teringat rumahku yang ada di desa.

Ketika laki-laki itu kembali berjalan, aku pun membuntutinya sambil membuat wajah leluconku kepada si bayi. Si bayi terus tersenyum sambil mengigiti jari telunjuknya, liurnya menetes ke pundak si lelaki membuat kain baju itu basah.

Laki-laki itu tiba-tiba berbalik dan berseru, "siapa ya?!"

Aku tergagap. Aku pun meminta maaf walau ia mengacuhkanku. Aku berbalik badan dan berjalan tidak tahu lagi harus ke mana. Ah, apakah aku harus tidur di toko itu? Biarlah, terserah mereka akan berpikir aku gelandangan, orang gila, atau terkejut dan memilih untuk melarikan diri.

Aku berjalan menuju toko itu dan mencari alas sekiranya cukup untukku beristirahat. Ku temui koran di samping toko itu dan ku ambil, ku susun hingga sepanjang tubuhku. Malam yang dingin, sunyi, dan menyeramkan.

Aku menatap langit malam. Berkata pada Tuhan, mengapa Ia tidak adil. Mengapa saat semua berbahagia, aku sendiri yang merasakan kepiluan dan kekerasan dunia. Andai saja aku bisa bertemu dengan Ibu dan Ayah, aku akan mengadu kepada mereka seperti anak kecil dan menangisi segala keputusanku.

Aku tidak bisa tidur. Aku lapar sekali. Aku beranjak dan berjalan-jalan. Aku tau tempat di mana makanan tersedia saat malam.

"Eeh, kamu mau makan?" tanya Pocong dengan wajah seramnya.

Aku berjengit. Terkejut. "I-iya."

Kadang aku merutuki kenapa kemampuanku melihat 'nya' itu tidak hilang sejak lahir? Aku jadi merasa dihantui, dibuntuti, ada yang menemani. Bahkan dulu waktu kecil, di kasurku banyak sekali 'teman' dengan berbagai macam rupa. Itu, waktu kecil.

The Literasi Cerpen (Complicated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang