―trois.

382 109 25
                                    

Chaewon tersenyum kecil saat ponsel di tangannya bergetar, tanda ada yang mengiriminya pesan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chaewon tersenyum kecil saat ponsel di tangannya bergetar, tanda ada yang mengiriminya pesan. Dengan takut ia menoleh ke luar, masih tampak ayah dan ibunya bertatap muka.

Mereka sedang bertengkar, seperti biasa.

kak wooseok 🙇
| kau di mana?

chaewon
kamar, kak |
they fight again, |
i dare not go out

kak wooseok 🙇
| tunggu sebentar,
aku akan ke situ
sebentar lagi

chaewon
baiklah |

kak wooseok 🙇
| kau harus keluar,
kalau tidak mereka
akan memukulimu lagi
| damn, they're insane

chaewon
mereka ayah dan ibu |
chaewon bisa apa? |

Chaewon menghela napas panjang, untung saja kakaknya yang satu itu dapat diandalkan. Ia memejamkan matanya sejenak, dan beberapa detik kemudian pintu kamarnya berderit pelan.

"Let's get out, it's dangerous for you to be here now."

Chaewon hanya pasrah ketika tangan Wooseok menariknya paksa, berjalan melewati pintu belakang agar kedua orangtua mereka tidak melihat. Ini sudah biasa lelaki itu lakukan, demi menghindari Chaewon dari kekerasan yang mungkin sebentar lagi akan meledak.

"Where are we going?"

"Ke tempat di mana kau bisa merasa tenang, tidak khawatir terkena pukulan mereka sehingga kau tidak usah menyayat lengan kirimu lagi seorang."

🅔🅣🅗🅔🅡🅔🅐🅛

Chaewon menerima uluran kaleng dingin yang baru saja Wooseok belikan untuknya, lalu menatap benda itu lekat-lekat.

Minuman soda rasa jeruk, sama seperti yang Dabin berikan padanya minggu lalu.

"Kenapa? Kau tidak mau?"

Chaewon menggelengkan kepalanya pelan, lalu menyimpan kaleng itu di meja yang ada di hadapannya. Ia sedang tidak berminat, perutnya sedang tidak bersahabat.

"Baiklah, aku tidak akan memaksa," Wooseok menghela napasnya panjang. "Setidaknya untuk sementara waktu kau aman, kita akan di sini sampai keadaan di rumah mereda."

"Bagaimana kau tahu kalau di sana sudah baik-baik saja, Kak?"

"Tenang, Younghoon tidak akan ke luar sampai kita datang," jawab Wooseok, tampak yakin. "Dia akan langsung mengirimiku pesan jika seandainya kau benar-benar aman kembali ke rumah."

Chaewon menganggukkan kepalanya penuh arti, lalu kembali menyenderkan bahunya pada kursi yang ia tempati. Sekarang Wooseok dan dirinya berada di sebuah minimarket yang terpencil―ah, bukan. Lebih tepatnya yang terlihat sepi.

Suasana hening melanda keduanya, pikiran kacau tak luput setiap detiknya. Chaewon masih merasa takut, sedangkan Wooseok yang duduk di depannya sedang bingung.

"Lain kali, bilang padaku jika ingin pulang ke rumah," Wooseok membuka suara, lalu membuka kaleng miliknya. "Setidaknya aku bisa menemanimu di sana, kau tidak―"

"Kalau Kak Wooseok pulang ke rumah juga, nanti kita dipukul bersama," sela Chaewon, naif. "Biar Chaewon saja yang dapat, kakak―"

"Kau gila," Wooseok ikut menyela, lalu tertawa kecil setelahnya. "Kau lugu sekali, sungguh. You hide your pain behind a big smile, great."

"Mau bagaimana lagi memangnya? Ayah dan ibu butuh pelampiasan, mereka tidak bisa menyakiti satu sama lain. Jadi―"

Chaewon terkesiap ketika Wooseok beranjak untuk memeluknya erat, lalu membelai surainya penuh sayang. Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan hal seperti ini dari kakaknya sendiri.

"Kau ini, polos sekali, ya?" tawa Wooseok muncul seketika. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak melihat silet yang kau bawa tiap hari di saku jaketmu?

"Kau pikir aku tidak tahu alasan kenapa kau menggunakan jaket tiap hari, hah?"

Chaewon diam, tidak mampu untuk membalas. Semua perkataan kakaknya terasa menusuk, membuatnya urung untuk sekedar membuka mulut.

"Aku tahu semuanya, Chaewon. Aku tahu kau merasa tertekan, tapi tidak harus begini juga..." ucap Wooseok, lalu melepas pelukannya dan menatap Chaewon lekat-lekat. "Apa susahnya bercerita? Apa gunanya aku sebagai kakakmu sendiri?"

Chaewon masih diam, bukan karena ia takut. Gadis itu balas menatap mata kakaknya sendu, ingin ikut angkat bicara namun masih saja tertahan.

"Aku tahu itu rasanya sakit sekali, Chae," Wooseok mengarahkan dagunya pada lengan kiri Chaewon. "Kau seharusnya tidak menderita sendiri, masih ada aku di sini―"

"Aku takut ayah, Kak..."

Kali ini Wooseok yang terdiam, tampak mencerna apa yang Chaewon ucapkan barusan.

"Selama ini ayah selalu memukulku keras, jika beruntung ibu akan menamparnya,

"Kalau ibu sedang tidak ada, atau ayah sedang mabuk berat, biasanya dia akan membantingku sampai memar. Aku―"

"Sudah, sudah cukup. Ini keterlaluan," Wooseok mengacak rambutnya, frustasi. "Aku akan menelepon polisi, pria gila itu sudah kelewatan. Dia harus dipenjara."


















"Jangan, kumohon. Bagaimana pun juga dia ayah kita, Kak," Chaewon nampak tidak rela. "Aku baik-baik saja, sungguhan..."



















"Bohong jika kau mengaku baik-baik saja, Kim Chaewon," Wooseok tersenyum kecut. "Kau pikir aku tidak lihat juga bagaimana sakitnya kau ketika mengiris lenganmu sendiri?"

 "Kau pikir aku tidak lihat juga bagaimana sakitnya kau ketika mengiris lenganmu sendiri?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ethereal kayaknya lebih
serius ya?

[02] ethereal | kim chaewon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang