Bagian Lima belas - Azka

98 7 0
                                    

Najwa terbangun. Rasanya begitu lemas, kerongkongan yang mulai sakit. Kamarnya masih tetap sama, tidak ada yang berubah. Najwa tersenyum miris, jika pun ia tahu akan  seperti ini nasib pernikahannya, mungkin Najwa akan menolak mentah-mentah.

Lagi-lagi irisan itu kembali menusuk. Apalagi jika mengingat kejadian malam yang membuat Najwa jijik pada diri sendiri.

Najwa beranjak dari tempat tidurnya, perlahan ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Rasa pening ia biarkan, Dini pun tidak ada di sekitarnya. Air keran itu dibiarkan membasahi dirinya, tak peduli dengan dinginnya air malam yang terpenting Najwa bisa menghilangkan semua kotoran yang berada di dalam dirinya.

Semakin menggigil semakin egois. Najwa tetap bersikeras membasahinya, tangisan yang kalah dengan derasnya suara air membuat Najwa tenang. Hal ini tidak akan diketahui Dini.

Kamu jahat! Kamu jahat batinnya. Sesekali Najwa ingin berteriak lalu menertawakan diri sendiri. Dasar bodoh! Terus saja Najwa mencaci dirinya. Laki-laki yang dianggap suaminya kini telah menghancurkan seluruh masa depan yang telah Najwa susun sebaik mungkin.

“Najwa ... Di mana, Nak?” Dini yang terkejut saat melihat Najwa sudah tidak di tempat tidurnya, ke mana dia? Namun suara kamar mandi terdengar nyata, suara keran yang terus saja menyala, samar-samar pun terdengar isak tangis seseorang.

“Najwa,” lirih Dini. Dengan langkah yang terburu-buru Dini langsung mendekat ke arah pintu tersebut. Beberapa kali Dini mengetuknya tapi tidak ada sahutan apa pun, apa yang dia lakukan? Dini mengeraskan ketukannya, ia setengah berteriak tapi tetap saja tidak ada jawaban.

“Najwa, buka, Nak.” Dini masih bersikeras.

“Bismillah,” ucapnya sambil mengumpulkan seluruh energi untuk mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Akhirnya pintu terbuka secara acak.

Dini terkejut melihat Najwa yang duduk tak berdaya di bawah genangan air. Bibir yang pucat serta badan yang menggigil membuat Dini ingin mengutuk diri sendiri. Segera Dini mematikan keran air tersebut, Najwa kembali membopong Najwa dengan keadaan yang begitu lemas. Dini langsung menggantikan pakaiannya. hatinya masih tercabik-cabik melihat tatapan kosong Najwa. Mau sampai kapan putrinya seperti ini?

“Makan dulu ya, Nak,” pinta Dini, sementara Najwa terus saja menggeleng. Dini semakin frustrasi dengan sikap keras kepalanya putrinya, dengan terpaksa Dini memaksa Najwa untuk makan, paling tidak satu suap saja.

***

Andi masih memendam dendamnya. Langkah yang kokoh mulai memasuki ruangan yang di desain megah. Shopia yang masih bersantai tampak kaget dengan kehadiran Andi tanpa kabar apa pun. Tentunya Shopia bertanya-tanya, ada apa?

“Mana anakmu?!”

Shopia masih dalam keadaan yang belum bisa mencerna. “Ada apa, Mas Andi?”

“Mana Azka!” Shopia terkejut. Beberapa hari ke belakang memang ada Azka ke rumahnya. Namun setelah kejadian tersebut Shopia pun tidak menemui Azka atau menukar kabar dengan anaknya.

“Azka di apartemen, kan, Mas.” Shopia berusaha netral.

“Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?”
“Dia sudah mengakui semuanya, dan Najwa sekarang di rumah kami.” Shopia ikut terkejut. Kenapa Azka melakukan hal bodoh seperti itu, apa yang dipikirkannya? Bukankah sudah menjadi kesepakatan untuk tetap merahasiakan ini.

Beberapa kali Shopia menghubungi Azka tetapi tidak diangkat olehnya. Shopia pun langsung menghubungi Jaka, dan ternyata Azka sudah beberapa hari tidak masuk ke rumah sakit. Shopia benar-benar marah.

“Ayo, Mas, kita langsung ke apartemennya," Ajak Shopia.

Ingin rasanya Shopia mencaci dan meminta alasan untuk hal yang dilakukan Azka. Kenapa bisa-bisanya ia mengingkari kesepakatan dengan Shopia yang jelas ibunya. Apa yang membuatnya seperti ini? Apa Rahma kekasihnya yang memaksa Azka untuk berterus terang? Apa mereka belum memutuskan hubungannya? Pikiran Shopia benar-benar melebar.

Mobil Azka masih terparkir, dan itu artinya pemilik apartemen masih ada di rumah. Shopia dengan langkah cepat yang dibuntuti Andi mulai memasuki area apartemen. Semua cacian sudah terkumpul di penghujung bibir.

Pintunya tidak terkunci. Shopia langsung mencari keberadaan Azka, Shopia kembali dikejutkan ketika kamar Azka dan Najwa berbeda. Ternyata selama ini Azka memang tidak pernah menganggap Najwa sebagai istrinya.

Kedua mata saling memandang dengan satu kebencian. Azka memandang dua manusia yang akan menerkamnya. Andi dengan rahang yang mengeras seakan ingin melemparkan bom pada wajahnya. Azka hanya menunduk, karena bagi Azka selama apa pun rahasia tersebut ia sembunyikan maka berakhirlah dengan pengkhianatan.

Plak.

Satu tamparan keras mendarat di pipi Azka, Azka masih menerima tamparan tersebut. Ia paham dirinya bersalah, tetapi jauh lebih bersalah lagi mereka yang memaksa Azka berpura-pura. Orang tua macam apa?

“Apa mau kamu, Azka!” Shopia dengan kuat memandang anaknya.

“Kamu sudah menyakiti istri kamu! Siapa yang mengajari itu, hah?”

Azka kembali menatap, lama kelamaan Azka pun tidak ingin selalu disalahkan. Karena dirinya pun perlu keadilan yang mesti di perjuangan. Tidak selamanya kesalahan ini terlimpah dari Azka.

“Mah! Dia bukan istri sah Azka, Mamah sadar gak? Mamah sudah membuat dosa besar dengan menikahkan Azka dan dia. Ini pernikahan palsu, Mah.” Azka merendah.

Andi diam. Ia pun mengakui kebenaran Azka, jelas di sini bukan hanya Azka yang salah. Karena Azka pun korban dari keegoisan Shopia. Begitu pun Shopia yang keras kepala, dirinya masih enggan menerima kesalahannya sendiri.

“Diam! Tetap saja kamu yang sudah melafalkan akadnya, Azka!”

“Mah. Azka menikah atas nama Akbar, Mamah lupa? Akbar bukan nama Azka. Mamah jangan egois. Azka juga punya masa depan yang telah Azka rangkai. Azka mencintai wanita lain, Mah.”

Andi tidak tahan. Ia benar-benar berdosa telah menjerumuskan Najwa pada lubang yang salah. Andi pun tahu bagaimana perasaan Azka yang saat ini sama-sama hancur. Percuma saja Andi ikut memaki, nyatanya kesalahan yang sebenarnya bukan pada laki-laki yang sekarang menjadi lawan amarahnya.

“Benar kata Azka, kami yang egois. Saya permisi.” Andi berlalu tanpa melihat lagi drama yang sebenarnya.

“Lihat, Mah. Pak Andi saja sadar, Azka dan Najwa hanya korban keegoisan Mamah. Lihat, Akbar kembali tidak? Akbar tidak akan kembali, Mah!” Azka meninggikan suaranya. Ia pun muak dengan segala hal yang selalu dianggap benar oleh Shopia.

“Besok Azka akan berangkat kembali ke Jerman dengan Rahma. Azka akan menetap di sana,” ucapnya.

Shopia tidak bisa berpikir jernih. Semua orang seperti menyalahkan dirinya, padahal Shopia hanya ingin yang terbaik bagi siapa pun. Termasuk Najwa dan Azka.

Beberapa koper terlah disiapkan Azka, bahkan seisi kamarnya pun telah kosong. Azka begitu menyesal menerima permintaan Shopia. Ternyata risikonya sangat tinggi, ia harus membangun cintanya kembali dengan Rahma, belum lagi ia telah menyakiti wanita lain, wanita yang sangat dicintai Akbar.

Di mana pun kamu berada, saya minta maaf, Akbar. Azka membatin.

Melihat barang-barang Azka yang telah disiapkan, Shopia tidak bisa berbuat apa pun. Ia hanya menjadi penonton anaknya. Lantas apa yang akan Shopia jelaskan pada Najwa. Apa Najwa baik-baik saja? Apa Najwa bisa menerima kebenarannya?

Shopia pun merasakan kesakitan yang sama seperti mereka.

Liku Najwa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang