Bagian Sepuluh - Apartemen

96 8 0
                                    

Hari ini kepindahan Azka dan Najwa.
Beberapa perlengkapan telah Najwa bereskan. Barang yang dikiranya penting langsung ia kemasi. Rasanya memang sangat berat untuk meninggalkan semua hal yang ada di rumah ini.

Azka sudah menunggu di tempat makan bersama kedua mertuanya. Tidak ada pembicaraan apa pun, mereka sama-sama diam. Jelas bertolak belakang dengan sikap Akbar yang pastinya akan jauh lebih aktif dalam berkomunikasi.

"Sudah beres, Nak?" tanya Dini, kala Najwa ikut bergabung dengan mereka berdua. Najwa hanya mengangguk dengan senyumannya.

Najwa langsung melayani suaminya.
Tidak ada ucapan terima kasih sama sekali dari mulut Azka. Najwa berusaha ikhlas, lagi pula tidak baik jika pagi-pagi sudah membahas hal yang sepele.

Najwa kembali melahap beberapa makanannya dengan sesekali memandangi lelaki itu.

"Mau diantarkan, Ayah?" Andi yang langsung menatap Najwa.

"Tidak usah, kami berdua saja. Kebetulan ada beberapa yang harus dibeli," jawab Azka yang mewakili istrinya.

"Baiklah." Jujur saja Najwa kecewa dengan jawaban suaminya. Ia ingin sekali diantar oleh kedua orang tuanya. Namun apa boleh buat suami tidak mengizinkan mereka ikut.

Selang beberapa menit Najwa dan Azka berpamitan untuk berangkat ke tempat apartemen. Dini langsung memeluk erat putrinya, ini kali pertama mereka dipisahkan.

"Nak Akbar, jaga Najwa, ya." Laki-laki yang dipanggil Akbar itu hanya mengangguk, padahal hatinya teramat berat.

"Bun, Najwa dan Mas Akbar pamit, Bunda dan Ayah jaga kesehatan, ya." Najwa langsung memeluk keduanya. Ia menumpahkan keseluruhan rasa yang selama ini disembunyikan.

Keduanya langsung memasuki mobil. Najwa yang tanpa izin duduk di depan tepat samping Azka. Ia melambaikan tangannya ketika mobil hendak berjalan dengan akhiran klakson.

Tidak ada obrolan apa pun, bahkan untuk putaran musik pun tidak terputar. Najwa sibuk dengan membalas beberapa pesan yang masuk. Mengingat hari cutinya lima hari lagi.

Azka masih terfokus pada jalanan, pikirannya kembali berkeliaran. Sebenarnya ada rasa bersalah pada perempuan di sampingnya. Rasa bersalah tentang akad yang telah ia janjikan di depannya. Azka menghela napas kasar, lalu menghentikan mobil tersebut.

"Kenapa berhenti?" Najwa yang terlihat heran.

"Turun! Dan pindah ke belakang!" titahnya. Perintah itu cukup membuat Najwa terkejut, ada apa? Kenapa suaminya menyuruh Najwa pindah duduk.

"Kenapa?"

"Kalau kata saya pindah, ya pindah!" Azka sedikit menaikkan suaranya. Tanpa berkomentar lagi Najwa langsung pindah duduk ke belakang. Untuk hari ini Najwa tidak bisa pura-pura, ia benar-benar menangis.

Namun sikap Azka untuk menghargainya. Azka paham Najwa tidak seperti wanita lain, Najwa itu religius otomatis ia harus menjaga sikap. Pernikahan yang digelar kemarin bukan pernikahan yang sah. Pernikahan itu hanya pelanggaran, maka dari itu sejak saat ini Azka akan menjaga jarak dengannya.

Isak tangis itu terdengar jelas, tetapi Azka tidak mau peduli. Bahkan ia pun tidak ingin sekadar basa-basi.

Sepanjang jalan Najwa benar-benar larut dalam tangisan, ingin rasanya ia segera mempertanyakan perubahan tersebut. Istri mana yang tidak sakit jika suaminya bersikap dingin dan keras. Padahal awal pertemuan ia tampak manis dan lembut.

"Jujur, saya terganggu dengan tangisanmu!" komentar Azka. Najwa tidak habis pikir, kenapa ia bisa berbicara seperti itu.

"Mas, aku salah apa sama kamu?" masih dalam Isak tangisnya. Sementara Azka tidak menjawab apa pun. Karena bagi Azka kesalahan yang sebenarnya ialah kebodohan diri sendiri yang menyetujui permintaan bodoh.

"Mas!" Najwa menaikkan volume suaranya.

"Mas, jawab!"

Azka tetap diam sementara Najwa memutuskan untuk mengakhiri pertanyaan yang sama sekali tidak didengar.

Tidak lama kemudian mereka berdua sampai di apartemen. Ruangannya cukup nyaman dengan dua kamar tidur yang masing-masing ada kamar mandinya, satu dapur dan satu ruang keluarga. Terlihat simpel tetapi menarik.

"Kamar kamu di sebelah sana," ujarnya. Najwa hanya menoleh tepat ujung tunjukkan jari Azka. Najwa hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah kamar tersebut. Sementara Azka masuk ke kamar satunya lagi.

"Kok Mas Akbar ke kamar itu?" Najwa keheranan.

"Ini kamar saya!"

"Beda kamar?" Azka tidak menjawab, ia langsung masuk dan menutup pintunya. Najwa tidak mau memperdebatkannya lagi, ia harus segera membereskan barang-barangnya.

***

Setelah semua pekerjaan rumah beres, Najwa langsung mempersiapkan makanan untuk segera dilahap. Azka dan Najwa sama-sama menikmati makanannya, tidak ada percakapan apa pun. Ingin rasanya Najwa protes tetapi hari ini sudah terlalu banyak protes yang ia keluarkan, takutnya malah menambah kemarahan.

"Kenapa harus beda kamar, Mas? Kita sudah menikah, sudah sah." Najwa tidak bisa menahan. Ia ingin sekali jawaban dari suaminya.

Tetap saja pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh Azka. Ia terus saja menikmati makanannya, dan tidak menganggap keberadaan Najwa yang sejak tadi menjadi lawan bicara.

"Mas! Denger gak!" Najwa semakin meninggi, karena nyatanya menahan amarahnya itu jauh lebih sulit. Najwa seperti diinjak-injak di sini.

Azka menatap tajam.

"Bisa diam!" bentaknya. Lagi-lagi Najwa terlihat lemah di hadapannya.

"Kamu kenapa berubah? Aku cuman minta kejelasan! Apa itu salah?"

"Salah!" Azka berlalu tanpa menatap sedikit pun. Selera makan pun telah hilang bersama amarah karena wanita itu. Apa yang harus ia lakukan? Akankah mengakui siapa dirinya?

Najwa tidak mengerti apa yang telah terjadi? Karena Najwa yakin pasti ada sumber masalah dari semua perubahan sikapnya. Namun bagaimana cara untuk mengetahui sumber permasalahan itu?
Namun Najwa tetap bersikeras untuk memperbaiki hubungannya lagi. Jika boleh jujur ia begitu merindukan sosok Akbar yang terdahulu, yang penuh dengan kelembutan dan kejutan.

Rasanya baru saja akad terdengar tetapi sayatan itu meluncur dengan ganas memberikan luka yang tidak bisa membendung air mata Najwa. Sesekali Najwa menatap jauh tepat kamar Azka, rasanya masih perih dengan ucapan yang dikeluarkan tanpa memikirkan perasaan Najwa.

"Mas," lirih Najwa.

Ingin sekali Najwa berbagi cerita pada Dini atau Shopia yang menjadi orang tuanya. Namun ini sudah berbeda, masalahnya tidak bisa dibagikan ke semua orang. Jika pun itu terjadi, Najwa sudah menyebarkan aib suaminya sendiri.

"Astagfirullah." Najwa beranjak dan membereskan seluruh bekas makanan yang sempat dimakan Azka. Setelah semua dirasa beres, Najwa kembali berjuang mendapatkan jawaban yang ia cari.

Najwa terus mengetuk pintu kamar Azka tetapi tidak kunjung dibuka olehnya, pintunya masih terkunci dan tidak ada jawaban apa pun.

"Mas! Buka, ada yang mau aku bicarakan!" kesabaran Najwa telah memudar. Jika Azka bisa marah Najwa pun bisa demikian, apa lagi ketika ia tidak lagi dihargai.

"Mas buka! Atau aku telepon Mamah, kamu?" ancam Najwa di ambang pintu. Mungkin kata itu menjadi kata kunci untuk meluluhkan keegoisan Azka. Benar saja, Azka membuka pintu kamarnya dengan tatapan mematikan.
Jujur saja nyali Najwa kembali menciut, ia tidak langsung menatap tatapan mengerikan itu.

"Apa yang ingin kamu tanyakan?" sinis Azka.

Najwa masih ketakutan dengan tatapan itu, rasanya ia ingin pergi saja tanpa mendapatkan jawaban.

"Kenapa diam?"

"Ayo jawab!" Azka benar-benar menghabiskan seluruh amarahnya.

****

Akhirnya post juga😍
Jangan lupa krisarnya, ya.

Teti Nurhayati

Liku Najwa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang