Tania Fahlesya

6 4 0
                                        

Adelia menatap sedih Iqbal yang tetap terdiam usai kepergian tania. Adel menggenggam tangan kekasihnya itu erat, berharap dapat menyalurkan rasa nyaman dan hangat.

Iqbal tersenyum lembut melihat adelia yang begitu peduli padanya. Namun, detik berikutnya ia menarik tangannya pelan dari genggaman adelia.

Adelia mengangguk mengerti. "Bal, apa maksud tania tadi? Maksudku yang tania bilang tentang orang tuanya?"tanya adelia hati-hati.

Iqbal mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan adelia. "Sebelum menjawab itu, aku mau tanya dulu sama kamu. Del, apa kamu baik-baik saja?" Adel mengerutkan keningnya pelan. "Memangnya aku kenapa?" tanyanya heran.

Iqbal menggeleng pelan,"Tidak, hanya saja perkataan tania sebelumnya.."

"Kamu tidak perlu cemas bal. Aku mengerti. Aku paham keadaan tania. Semuanya salah aku, jadi aku harus tanggung resikonya." ucap adelia sambil tersenyum tipis.

"Terimakasih del, karna kamu mau mengerti. Kamu memang baik, aku beruntung bisa milikin kamu.."

Adelia lagi-lagi tersenyum. Senyuman yang menyejukkan hati. Senyuman lembut yang biasa ia perlihatkan meski apapun keadaan yg tengah terjadi. Contohnya seperti saat ini. Saat lagi-lagi ia tersenyum untuk menghilangkan ke khawatiran Iqbal. Seperti sebelumnya.

Adelia tersenyum pahit kala mengingat kata-kata yang tania lontarkan kepadanya. Tania bilang, iqbal tidak lagi memperhatikannya. Tania, bilang iqbal selalu sibuk dengan adelia. Tania bilang, adelia merebut sahabatnya. Tapi apakah tania tau bahwa iqbal selalu melupakan hari-hari penting adelia hanya demi tania. Seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

Adelia, maaf aku nggak bisa kasih kejutan ulang tahun kamu, karena tania tiba-tiba flu.

Adel, aku sekarang lagi di rumah tania. Dia lagi butuh aku, kita ketemuannya lain kali aja yaa?

Adelia, tania kemaren kecelakaan jadi aku harus antar jemput dia beberapa hari ini. Aku khawatir kalau tania kenapa-napa. 

Tania, tania, selalu tania. Tapi adelia selalu berusaha mengerti karna bagaimanapun tania adalah sahabat iqbal. Dan tania, lebih dulu di hidup iqbal dibandingkan dirinya. Selain itu, adelia selalu menahan diri karena tak ingin membebani pikiran iqbal.

"Sebenarnya tania bisa disebut sebagai anak broken home. " adelia menghentikan lamunannya kala mendengar iqbal mulai bercerita.

"Broken home?" gumamnya pelan.

"Sejak kecil, tania selalu disuguhi kemewahan. Apapun yang tania inginkan selalu mama dan papanya berikan. Apapun dan semahal apapun pasti akan ia dapatkan. Kecuali satu hal...."

Iqbal menatap adelia yang memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Apa?" tanya adelia pelan, nyaris seperti bisikan.

"Kasih sayang." Iqbal mengalihkan pandangannya kearah yang berlawanan melihat ekspresi adelia yang ikut sendu mendengar ceritanya. Ya, iqbal mengerti. Kedua wanita yang sama-sama berharga dalam hidupnya itu sama-sama terluka.

"Sejak kecil, hanya aku yang selalu ada untuk tania. Saat tania sakit, aku yang menemaninya dan merawatnya. Bahkan saat orang tuanya tidak pernah mempedulikannya. Saat tania ulang tahun, hanya aku dan asisten rumah tangganya yang selalu merayakannya. Sedangkan orang tuanya? Sibuk dengan urusan bisnis dan segala kemewahan yang ada diluar sana."

"Tania tidak pernah menangis, meskipun aku tau ia tengah terluka dan kecewa. Saat aku bertanya apakah dia baik-baik saja, maka ia akan menjawab selama aku ada untuknya ia tidak akan pernah terluka. Dan hari ini aku mengecewakannya" ucap Iqbal mengakhiri ceritanya dengan suara serak.

Disisi lain...

Tania membuka kasar pintu rumah nya. Tatapannya beralih kearah orang tuanya yang kini tengah beradu argumen didepannya.

"Sudah aku bilang aku tidak mau bercerai!" pekik Asla_mamanya tania.

"Aku tidak peduli! Kita akan bercerai dan aku sudah mengurus surat cerai kita!" bentak Abdi_papanya tania.

"Lalu bagaimana dengan putri kita, tania?" tanya nyonya asla parau.

"Kamu tenang saja, saya akan tetap mengirimkan uang untuk kebutuhan kalian." ucap Abdi datar.

Tanpa mereka sadari anak yang tengah mereka bicarakan sudah mendengar semua omong kosong mereka.

"Tentu saja. Papa kan memiliki banyak uang, jadi papa bisa membiayaiku."

Pasangan paruh baya itu menoleh terkejut ke sumber suara. "Tania?" ucap mereka kaku.

"Ternyata papa sama mama nggak pernah bisa berubah. Berapa kali tania harus bilang, tania nggak butuh uang kalian! Tania cuma butuh kasih sayang kalian. Apa susahnya?!" pekik tania parau.

Asla dan abdi menggeleng pelan menatap putri semata wayang mereka. "Tania, dengerin papa.."

"Tania nggak peduli lagi! Hiks.. Tania benci kalian! Nggak ada yang sayang sama tania!"

Tania melemparkan tasnya sembarang arah lalu berlari dengan terisak meninggalkan kedua orang tuanya yang berusaha mengejarnya.

Tania terus berlari tanpa henti meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berteriak memanggilnya. Tania tidak peduli orang-orang menganggapnya gila atau tidak waras. Hingga akhirnya ia berhenti di satu tempat yang menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Danau Biru. Satu-satunya tempat berharga.

Dua anak kecil tengah duduk bersama dipinggir danau. Si gadis kecil terlihat menangis terisak-isak. Sedangkan teman lelakinya berusaha mendiamkannya.

"Sudahlah nia, kamu jangan menangis. Nanti kamu jelek kalau kamu menangis" hibur lelaki kecil itu kepada si gadis.

"Jadi maksud ibal aku jelek gitu?" ucap si gadis semakin terisak.

"Bukan gitu nia. Aku cuma tidak mau nia menangis lagi. Aku akan selalu ada untuk nia. Aku akan menjadi bintangnya nia."

"Bintang??" tanya gadis kecil itu berbinar.

"Iya, bintang. Bukankah bintang itu indah? Nanti kalau nia sedih, nia lihat aku saja biar sedih nia hilang. Terus, kalau nia marah atau lagi pengen sendirian nia datang aja kedanau ini, biar nanti ibal nggak pusing cari nia, ya?" ucapnya dengan senyum pepsodent.

"Oke ibal. Tapi ibal janji yaa selalu nemanin nia. Dan selalu jadi bintangnya nia." ucap nya memegang hidup lelaki didepannya sebagai tanda perjanjian.

"Iya ibal akan tetap menjadi bintangnya nia. Selalu." jawabnya sambil memegang hidung gadis kecil didepannya tanda menyetujui perjanjian.

"Aaaaaaaaaa" tania memekik frustasi. Belum cukup tentang iqbal dan adelia, sekarang ia kembali terluka karena orang tuanya.

Kenapa semesta begitu kejam? Apakah semesta begitu bahagia melihat dirinya terluka? Kenapa lagi-lagi semua orang mengecewakannya?

Tania lelah. Dan ia rasa tidak perlu lagi ia berjuang. Karena tidak ada yg ingin ia perjuangkan. Dan juga tidak ada yang ingin memperjuangkannya.

Tania melangkahkan kakinya pelan. Ia terus berjalan ketengah danau dengan tatapan kosong.

"Dulu, kita berjanji disinikan bal?"

Tania terkekeh pelan. "Disini juga aku akan mengakhiri semuanya bal. Tentang kamu, adelia, orang tua, dan semua kehidupan ku."

Tania terus berjalan hingga air mencapai lehernya. Ia tersenyum sendu. Airmata mengalir dipipinya, bercampur dengan danau biru yang mungkin akan menjadi saksi akhir dari hidupnya.

"Selamat tinggal dunia" ucap parau tania sebelum ia menenggelamkan dirinya sendiri ditengah danau tempat ia selalu menghapus luka.

Back ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang