Adelia menatap ibunya dengan tatapan pilu. Perasaan hampa membuat hidupnya terasa kosong. Kenyataan baru yang ia dapat seolah benar-benar menghancurkannya. Kenyataan baru yang harus ia hadapi.
Adelia terisak, "Kenapa bu? Salah adel apa? Kenapa ibu tega ngusir adel?"
Wanita yang ada dihadapannya tersenyum sinis. Namun detik kemudian ia menarik paksa rambut anaknya itu."Kamu mau tau ceritanya?" Meski kesakitan, adel tetap mengangguk dan berharap mendapat jawaban.
Wanita itu terkekeh pelan sambil melepaskan tangannya dari rambut adelia.
"15 tahun yang lalu aku mendapat seorang anak perempuan yang ditinggalkan orangtuanya didepan rumahku. Awalnya aku berencana meletakkan anak itu di panti asuhan atau menjualnya agar mendapat uang karna saat itu kami sangat miskin. Tapi suamiku yang bodoh itu bersikeras ingin mengadopsi anak itu meskipun kami dalam keadaan miskin. Dan kau tau siapa anak itu?"
Adelia menggeleng meskipun hatinya ikut menerka dengan cemas.
"Wanita itu kamu gadis pembawa sial!" pekik wanita itu
Adelia terkejut. Tubuhnya menegang. Airmatanya luruh begitu saja. "Tidak bu. Ibu pasti keliru aku anak ibu, kan? Kalo adel bukan anak ibu, ibu pasti sudah mengusir adel sejak ayah meninggal." bantah adel terisak.
Wanita itu terkekeh,"Keliru? Haahaaha aku tidak keliru. Selama ini aku selalu ingin mengusirmu. Tapi karna kau pintar dan termasuk anggota atlet di sekolahmu, aku tidak mengusir mu. Kau tau kenapa? Karna kau menghasilkan banyak uang!"
"Tapi sejak kau mendapat trauma sialan itu, aku menjadi benci! Aku tidak mau membuang uang hanya untuk mengobati mu! Kau tau? Sekarang kau layaknya benalu di hidupku!!"
Adelia tersenyum pahit mengingat kilasan yang selalu berputar di kepalanya. Sudah dua hari ia pergi dari rumah. Ah, bukan. Lebih tepatnya diusir dari rumah. Untungnya adel memiliki sedikit tabungan selama ini. Jika tidak, mungkin ia sudah menjadi gelandangan dijalanan.
"Del, kekantin yuk. Aku lapar nih." ucap Iqbal membuyarkan lamunan adelia.
Adelia tersenyum dan mengangguk melihat iqbal menggenggam tangannya erat. Semua orang yang ada disana memekik histeris. Pasalnya, Adelia dan Iqbal adalah Best Couple di sekolah mereka.
"Iqbal....Adel... Tungguin gue" teriak seorang siswi sambil membelah kerumunan.
"Kamu ngapain tan?" tanya iqbal sambil mengerutkan kening.
"Tau tuh suara cempreng lu kedengaran sampe kota sebelah tuh" ejek adelia sembari cengengesan.
Tania mendengus sebal,"Anjirr lu, enak aja suara seleb kek gue lu bilang cempreng"
Adelia terkekeh pelan melihat kelakuan sahabat masa kecil iqbal. Sedangkan iqbal hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan karna tau bagaimana ke-GR- an tania sejak kecil.
"Tan, kamu sekarang sama adrian ya?" adelia menyemburkan air minumnya karna kaget. Sedangkan tania menghela napas pelan mendengar pertanyaan Iqbal.
"Kamu nggak papa del?" tanya Iqbal sembari mengusap bibir adelia pelan dengan menggunakan tissue.
"Aku nggak papa," jawab adel tersenyum lembut ke arah Iqbal.
Tania merotasikan matanya,"Jangan mulai sok romantis di depan gue deh"ucapnya yang membuat Iqbal terbahak keras.
Adelia terdiam sebelum akhirnya menatap tajam tania. "Tan, gue saranin lo jangan sampai pacaran sama adrian deh, soalnya perasaan gue bilang dia bukan cowok baik-baik."
Tania mengerutkan keningnya pelan,"Maksud lo apaan? Kok lo ngejelek-jelekin adrian di mata gue?! "
Adelia tersentak. Ia memegang pundak tania lembut. "Tan dengerin gue. Lo sahabat Iqbal, dan udah gue anggap kek saudara gue sendiri. Gue bukannya mau merusak kebahagiaan elo. Tapi adrian, gue tau gimana dia. Percaya sama gue. Lo bisa dapatkan laki-laki yang jauh lebih baik."
Tania mengumpat pelan,"Lo pikir gue percaya sama lo del? Mana buktinya kalau ia emang cowok gak baik seperti yang lo bilang? Dan lo bilang lo tau siapa dia? Emangnya lo siapa di hidupnya dia?!" adelia terdiam mendengar bentakan keras dari tania.
"Tania udah. Adelia kan cuma nyaranin kamu layaknya sahabat. Kamu nggak boleh bentak-bentak dia seperti itu." ucap iqbal dengan dingin.
Tania tersenyum sinis mendengar perkataan Iqbal."Sahabat? Gue nggak sudi punya sahabat pembawa sial seperti dia!"
"Tania!" bentak Iqbal keras.
Adelia terdiam sedangkan tania menegang. Tania menatap adelia penuh benci. Amarah. Segalanya berpendar di mata indahnya.
Tania menatap Iqbal dengan sorot luka. Dimana Iqbal sahabatnya yang dulu? Dimana iqbal yang selalu lembut kepadanya? Dimana iqbal yang selalu memprioritaskannya?
Dulunya sebelum kedatangan adelia, iqbal selalu ada untuknya, selalu membelanya. Tapi sekarang? Lihat,kan? Bahkan kehidupannya dimata Iqbal tidak lebih dari sekedar omong kosong dibanding semua yang adelia katakan.Tania menatap tajam adelia yang ada di depannya. Perlahan airmatanya mengalir,"Gue tau lo udah bahagia sama Iqbal. Lo udah ada yang nemenin. Bahkan saat nyokap lo ngusir lo dari rumah, Iqbal selalu ada buat lo. Tapi gue? Gue sendirian."
Tania terisak. Ia menggeleng pelan saat melihat Iqbal mulai melangkah kearahnya. Airmata terus membanjir deras dimatanya. Iqbal mengepalkan tangannya erat, kala melihat tania yang begitu kecewa kepadanya.
"Dulu, kalaupun mama papa nggak ada waktu sama gue, selalu ada Iqbal buat gue. Tapi sekarang? Iqbal selalu sama lo, kan?"
Adelia menggeleng pelan. Ia tidak bermaksud seperti itu, sungguh. Hanya saja, ia ingin mengatakan bahwa adrian bukanlah lelaki baik-baik. Tapi keadaan seolah tidak mendukungnya. Karna kata-katanya, tania terluka dan Iqbal harus mengecewakan tania karna membelanya.
"Lo hebat del. Seenggaknya dengan kecantikan dan prestasi lo, lo bisa ngambil semua hak orang lain. "
Tania melangkahkan kakinya menjauh, namun sebelum ia benar-benar pergi, ia kembali berbalik, "Dan kamu bal, nggak perlu menyesal. Terimakasih karna selalu ada. Terimakasih untuk selalu menemaniku dalam suka dan duka. Terimakasih sudah menjadi sahabat yang selalu membelaku dihadapan mama dan papa. Aku bahagia" ucap tania tulus sebelum akhirnya meninggalkan adelia yg terdiam penuh sesal dan Iqbal yang menatap kepergiannya dengan penuh luka.
![](https://img.wattpad.com/cover/220684466-288-k824133.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Back Then
Genç KurguGadis itu menatap benci adelia yang kini berada didepannya. Tangannya mengepal erat. Dengan penuh isakan tangis gadis itu menggerakkan bibirnya mencoba berbicara, "Aku merelakannya untukmu. Aku melepaskan kebahagiaanku demi kebahagiaannya bersamamu...