Part ini pendek, ntar dilanjut kalau ada waktu. Klik votes dan komen.
Rere
"Gue mau pernikahan ini dibatalkan."
"YA NGGAK BISA DONG, RE!"
Aku tersentak kaget saat Farrel berteriak di depan. Aku balas menggebrak meja. "Lo berani teriak di depan muka gue gini, hah?"
"Gue berani," balasnya, menatapku tajam. "Karena lo nggak bisa seenaknya gini batalin pernikahan yang udah mau dilangsungkan beberapa hari ke depan."
Iya, aku sengaja.
"Gue udah keluar uang banyak, Re. Persiapannya udah 90% siap, ya, kali dibatalin gitu aja."
"Ini masalah uang yang udah lo keluarin, hah?" tantangku seraya menaikkan sebelah alis dengan angkuh. "Berapa, sih? Gue ganti semuanya. Gue nggak masalah nanggung semua kerugian yang ada."
Dia mengusap wajahnya. Aku berhasil mengunggulinya. Rasain. Kalau masalah uang mah... aku bisa ngasih berkali-kali lipat yang lebih buat ganti rugi. Kecil itu mah. Papa nggak mungkin bangkrut hanya karena aku batal nikah sama Farrel. Nggak mungkin.
Aku sombong? Sebenernya, aku nggak sombong, sih. Kalau pun aku sombong, toh ada buktinya. Bukan cuma omongan doang ini-itu, nyatanya miskin. Aku sombong karena aku emang kaya. Eh, tapi kaya juga dari hartanya Papa, sih.
Em, kata Papa.... punyanya Papa, punyaku juga. Termasuk hartanya dong. Jadi, nggak papa sombong selagi ada yang disombongkan.
"Kenapa lo nggak bilang dari kemarin, hm?" tanyanya menutut padaku. Aku tersenyum miring. "Kenapa, sih? Lo kok jadi berubah gini."
"Lo masih tanya kenapa di saat seharusnya lo tahu kenapa gue berubah pikiran," jelasku dengan santai. Farrel kelihatan tidak nyaman ada di kafetaria ini karena beberapa pengunjung terus saja memerhatikan kita berdua.
Iya, aku dan Farrel mencuri perhatian pengunjung kafetaria ini karena suara kita yang menggelegar. Sama-sama menggunakan nada tinggi. Tidak ada yang mau mengalah. Ditambah lagi aku menggebrak meja tadi. Ya ampun. Aku kelihatan barbar sekali.
"Kita pulang," desisnya lalu beranjak bangkit dari tempat duduk. Farrel berjalan ke arah kasir, membayar tagihan minuman kita berdua lalu membawaku pergi dari kafetaria itu.
Farrel tidak langsung menjalankan mobilnya saat kita sudah sama-sama siap- sudah memakai sabuk pengaman di dalam mobil. Aku membuang muka, sedangkan Farrel terus saja menatapku.
"Lo kenapa, sih, Re?" tanyanya lagi yang membuatku geram.
Masak, sih, dia tidak peka? Hilih. Pasti Farrel lagi pura-pura aja. Dia tuh pura-pura bego. Pura-pura nggak tahu apa-apa, padahal dia tahu semuanya. Munafik!
"Lo berubah pikiran karena Rara?" tanyanya lagi, mendesakku untuk membuka mulut. "Iya? Lo berubah pikiran karena dia?"
"Lo udah tahu jawabannya, Rel. Muak gue denger pertanyaan basi kayak gitu," ujarku jujur sambil mencibir secara terang-terangan. "Seharusnya, tanpa lo tanya ke gue, lo itu sadar. Kenapa lo selama beberapa hari ini gue diemin. Eh, lo malah ngelunjak. Pura-pura nggak ngeh apa-apa. Pura-pura polos. Pura-pura nggak ada masalah. Elah. Fak banget lo itu."
Aku mengumpatinya terang-terangan. Ya, maaf aja nih yah. Aku tuh tipe orang yang nggak munafik. Kalau nggak suka, aku ya langsung bilang ke orangnya. Nggak aku pendam sendiri. Bisa-bisa sakit hati. Ngenes. Sayang sama diri sendiri aku tuh.
Setelah bertemu Rara malam itu dan aku meminta penjelasan lebih pada Farrel, dia sama sekali nggak ngasih aku penjelasan apa-apa yang buat aku paham. Dia terus mengalihkan pembicaraan dari A sampai Z. Seakan-akan aku ini anak PAUD yang gampang banget dibodohi. Gampang banget percaya kalau di antara Farrel dan Rara nggak ada apa-apa. Disuruh tutup mata.
Hello! Aku nggak mau, ya. No way!
Aku udah ngasih Farrel waktu buat dia cerita. Aku nunggu dia sendiri yang cerita ke aku sebelum pernikahan kita berlangsung beberapa hari ke depan. Aku diemin dia, biar Farrel tuh lancar introspeksi dirinya. Eh, dia malah berkelit terus kayak ular. Lah, kok jadi bawa-bawa ular, sih?
"Apa yang pengin lo tahu? Tentang gue sama Rara."
"Semuanya lah!" seruku sambil mengibaskan rambut. Gerah juga, ya, ada di dalam mobil yang posisinya diam di tempat kayak gini. Padahal, AC mobilnya nyala lho. Aneh.
Jantungku juga jadi berdegup kencang nggak keruan gini. Aku tuh sebenernya takut nerima kenyataan kalau Farrel ada apa-apa sama Rara. Ih, jangan dong.
"Gue kenal Rara karena dia...." Farrel menggantungkan kalimatnya cukup lama. Lama banget sampe aku menolehkan kepala ke arahnya dan mendapati Farrel menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Dia nangis? Why?
Terus nggak lama setelah itu, Farrel menurunkan tangannya. Raut wajahnya memerah, tapi dia nggak nangis. Mungkin ditahan kali, ya. Maka dari itu, aku udah buat kesimpulan sendiri kalau si Rara ini berharga buat Farrel.
"Rara temen Adek gue. Dulu...." sambungnya yang membuat aku berpikir keras.
Papa bilang, Farrel anak tunggal. Kok dia bilang punya Adek, sih?
"Sebelum Adek gue bunuh diri," kata Farrel yang membuat dadaku nyeri mendengarnya.
Telingaku seketika berdengung tatkala mendengar kalimat, 'bunuh diri' ya ampun. Gila!
Btw, Farrel beneran punya Adik? meninggalnya kapan? Namanya siapa? Cewek atau cowok? Oh my god. Makin banyak pertanyaan yang beranak pinak di benakku.
Sedikit menyesal telah mengorek tentang masa lalunya Farrel karena cowok yang akan menjadi suamku ini- cowok yang ada di hadapanku ini, dia terlihat terluka. Tatapan matanya sayu. Dia berusaha keras menahan air matanya.
"Farrel, gue beneran nggak tahu kalau ini sensitif buat lo."
Kan, aku cuma pengin tahu siapa Rara? Eh, ternyata merembet ke Adiknya Farrel yang udah meninggal. Sumpah, aku nggak bermaksud.
"Adek gue cewek," jelasnya lagi seakan bisa membaca isi pikiranku. "Dia mirip banget sama Rara. Dia sendiri yang bilang gitu ke gue dan gue menyetujuinya. Karena mereka emang kayak kembar."
"Farrel, udah nggak usah dilanjut."
Kata Mama, nggak baik membahas orang yang udah meninggal apalagi bertanya secara langsung kepada orang yang ditinggalkan.
Kata Mama juga, orang yang meninggal itu sebenernya nggak sedih. Malah, mereka bisa tenang hidup di alam selanjutnya. Tinggal menunggu pertanggung jawaban atas perbuatannya selama di dunia ini. Justru, orang yang sedih adalah.... orang-orang yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Sedih karena harus hidup hanya dengan kenangan orang itu.
Sumpah, ya, aku tuh jadi pengin nangis. Soalnya nih aku pernah diceritain sama Mama- kalau ditinggal sama orang yang kita sayang, itu rasanya sangat menyakitkan. Berpisah dunia. Kalau kangen, nggak akan pernah bisa ketemu lagi. Mama kehilangan Ayahnya alias Kakekku waktu masih SMA. Mama selalu nyeritain perjalanan hidup sedih itu ke aku, sebelum aku operasi dulu.
Pesan dari Mama, Rere harus sehat. Rere harus sembuh. Rere harus bangun lagi setelah operasi itu karena Papa, Mama, Al- nggak mau kamu tinggal pergi. Nggak mau beda dunia. Kita harus sama-sama. Rere pasti nggak mau buat Papa, Mama, sama Al sedih 'kan? Jadi, bertahan, ya.
Dan karena kalimat dari Mama itu, aku kuat menjalani operasi yang rasanya dulu begitu mengerikan. Aku mau hidup. Aku nggak mau ninggalin orang-orang yang sayang sama aku.
"Gue cuma pengin mengulang masa lalu, tapi nggak akan pernah bisa."
Itu bukan aku yang ngomong. Itu Farrel yang ngomong barusan. Maksudnya apa, ya? Kok aku jadi bego gini, sih.
------
A/n: Makasih buat yang masih baca sampe part ini🤍🐼✨🤏🏻Follow Instagram @novaasiswanto ya. Dan follow akun Wattpad ini juga.
Dari seorang perempuan yang mau mandi.
Selasa, 21 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang
Romance"Gue udah nggak perawan." "Terus?" "Gue udah nggak perawan," katanya lagi seakan-akan menekan kalimat itu biar gue denger. Gue nggak nggak budek, ye. Dia mengulangi kalimat pembuka beberapa menit lalu. "Ya, lo seharusnya batalin perjodohan kita lah...