*50. Selamat Tinggal, Farrel*

21.8K 3.7K 5.3K
                                    

Sajennya belum terpenuhi, tapi aku udah up. Makasih! Klik votes dulu ya.

JUJUR AKU NANGIS BACA ULANG PART INI. NYESEQ AJA GITUUUU.

SPAM KOMEN SAMBIL DENGERIN LAGU SEDIH VERSI KALIAN.

Rere

Masih seperti mimpi aku melihat ada Farrel di hadapanku. Dia menatapku intens. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu memberanikan diri untuk membuka suara. "Ini beneran kamu?"

"Hm."

"Kok bisa ada di sini?" tanyaku. Nggak mungkin Papa ngizinin Farrel masuk ke sini.

"Disuruh sama Papa kamu."

"Hah?"

"Jangan banyak gerak, Re." Farrel menahan tangan kananku yang berusaha menggapai-gapai ponsel di atas meja samping. "Apanya yang masih sakit?"

"Semuanya sakit," jawabku. "Hatiku sakit. Fisikku sakit. Isi kepalaku penuh beban pikiran."

"Jujur, aku nggak mau menambah rasa sakit hatimu, Re. Tapi, ini yang terbaik untuk kita."

"Apa?"

"Kita memang harus pisah."

"Ya," aku langsung menyahut. Kamu beneran lebih milih Rara, ya? Aku menahan kalimat itu dalam hatiku.

"Kita pisah baik-baik," lalu tanpa aba-aba Farrel memeluk pinggangku dengan posisi aku masih telentang. Dia memeluk perutku. Tepat di sana, Farrel menelungkupkan kepalanya. "Our baby was gone. Still can't believe the fact."

"Farrel," aku merasakan bajuku mulai basah oleh air matanya.

"Aku kehilangan aku. Aku kehilangan kamu. Aku kehilangan our baby. Aku kehilangan kita. Kita saling kehilangan satu sama lain."

Aku menggigit bagian bawah bibirku. Jantungku berdebar-debar sangat cepat. Aku mulai gelisah. Tidak tenang.

"Aku pikir dulu kehilangan Adekku menjadi satu-satunya hal yang paling menyakitkan, ternyata ada lagi kehilangan lain yang lebih parah dari itu."

"Tenang aja. Kamu 'kan masih punya Rara. Sekarang, kamu bebas buat jagain dia selama 24 jam. Kalau perlu, kamu bisa cepet-cepet nikahin dia, Rel."

Aku udah nggak sesakit hati waktu pertama kali menyebut nama 'Rara' di hadapan Farrel. Sekarang aku sudah bisa sedikit ikhlas. Aku nggak mau memaksakan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untukku. Takut jikalau memang bukan takdirnya. Melawan takdir Tuhan tuh bikin sakit dan capek doang. Nggak dapet apa-apa sama sekali.

"Kamu nggak akan pernah tahu apa yang aku pikirkan, Re. Bagaimana cara pandangku tentang Rara dan kamu. Kenapa aku lebih milih memprioritaskan dia, daripada kamu. Bahkan aku menomor tigakan diriku sendiri."

"Aku nggak akan pernah tahu karena selamanya aku, ya, aku, Rel. Aku bukan kamu," ujarku sebisa mungkin bersikap tenang. "Kamu juga bukan aku. Kamu nggak akan tahu sesakit apa aku selama ini."

Hening. Nggak ada suara. Namun, Farrel tetap pada posisinya, memeluk perutku dengan erat dan menangis di sana. Aku tidak berkutik sama sekali. Aku bergeming dan hanya bisa menunggu.

Aku sama sekali nggak merasa terganggu kok sama kepalanya Farrel yang ada di perutku. Nggak berat sama sekali kok.

"Waktu itu hari Kamis di bulan Januari. Gue tahu kalau Cindy nge-chat gue puluhan kali, tapi seperti biasa. Gue selalu mengabaikan dia," kejadian masa lalu itu kembali Farrel ceritakan padaku.

Aku takut saat Farrel cerita begini. Aku takut bisa luluh karena cerita sedihnya.

"Gue anggap dia norak. Anak kecil yang lebay. Caper. Dia selalu bilang takut. Dia selalu bilang dia kesepian. Dia selalu bilang, 'Kak Farrel, ajak Cindy ya kalau main.' Tapi, gue nggak pernah mau ajak dia."

SepasangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang