Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

(4) Warung Kopi Mucikari

54.2K 6K 612
                                    

16:57 WIB

Mobil dinas tim Edelweis berhenti sejauh beberapa ratus meter dari lokasi target. Tentu saja mereka tidak diturunkan dekat dengan lokasi. Bunuh diri di kandang lawan itu namanya. Mobil menurunkan mereka di gang kecil yang sepi dan pelosok sekali. Tidak ada orang. Hanya ada kotoran ayam kate yang bertebaran.

"Kalau selesai, saya jemput lagi. Selamat bertugas, semoga berhasil."

"Siap. Terima kasih, Bang."

Pintu sebelah kanan dan kiri mobil dibuka. Satu per satu wanita yang harum tubuhnya menyengat bagai lebah itu turun dari mobil. Membawa serta ketegangannya masing-masing. Wajah-wajah yang dibubuhi berlapis-lapis bedak padat itu meringis ketika mobil mulai berjalan makin jauh meninggalkan mereka.

Tanpa briefing lagi, mereka langsung bergerak. Berjalan menyusuri gang-gang sempit yang di kanan dan kirinya terdapat beberapa rumah warga. Sesekali, mereka berpapasan dengan orang-orang yang terlihat sedikit cengo. Bukan cengo karena melihat wanita-wanita seksi, tetapi mungkin mereka bertanya-tanya mengapa ada PSK yang bahkan saat berjalan saja kaku seperti robot anak SD.

"Argh! Keinjek, Mbak!"

Perjalanan tidak berjalan mulus. Mereka harus berjalan cukup jauh ke dalam. Dalam perjalanan itu, ada saja cobaannya. Terkadang, seorang dari mereka ada yang sepatu haknya tidak sengaja menginjak padatnya lumpur hitam atau bahkan kotoran sapi seperti barusan. Tak hanya itu, lirikan nakal dan suit-suitan pemuda-pemudi musuh Allah yang berpapasan dengan mereka juga cukup mengganggu. Rasa-rasanya ingin saja Elen mengeluarkan senjata yang ada di dalam bra.

Cukup lama berjalan menantang teriknya mentari sore hari, warung kopi itu tak kunjung terlihat. Mereka telah melewati rumah-rumah warga, tempat sabung ayam—yang merangkap sebagai tempat judi, hingga deretan gerobak sayur yang saling kebut-kebutan mengejar setoran, lokasi target tak juga tampak. Setelah hampir menyerah dengan runcingnya hak di kaki, akhirnya mereka menjumpai sebuah bangunan kayu berwarna biru yang berukuran cukup besar berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Ah, ini dia markasnya.

Di depan warung itu, terdapat banyak jejeran meja panjang berjejer yang sudah lengkap dengan kursi kayunya. Ya, seperti warung kopi pada umumnya. Bedanya, yang satu ini, sedikit melenceng dari namanya. Ketika melangkah mendekat, semua pengunjung yang asyik bermain catur langsung menyadari kedatangan tim Edelweis. Dari sekian ramainya pengunjung, anggota tim tidak tahu yang mana sosok anggota yang tengah melakukan penyamaran juga.

"Buset dah, Bang ... ngebayangin tampang-tampang tamunya model begini aja langsung remuk mental saya." Cuitan Elen itu mengundang cekikian tertahan dari yang lainnya. Belum apa-apa saja, Elen sudah tamu shaming.

Dari daun pintu warung, seorang wanita separuh baya lebih—dengan rambut keriting berantakan—berdiri menjulang. Matanya yang memerah itu tengah menatap kelima orang wanita muda yang kesemua perawakannya merujuk pada calon pekerja malam yang putus asa bertarung dengan ganasnya taring ibu kota. Boneka baru, pikirnya. Semua anggota tim tahu bahwa wanita itu adalah salah satu dalangnya. Tanpa tanda tanya, mereka semua langsung digiring masuk ke dalam warung kopi. Gotcha!

"Duduk."

Kursi tamu peyot dan berdebu yang letaknya berada di dalam warung telah mereka duduki. Kalau hasil dari menjadi mucikari sebegitu besarnya, warung kopi ini setidaknya harus punya kursi tamu baru. Tidak, tidak. Mereka juga seharusnya membuat lebih banyak ventilasi. Lihat itu. Udara yang pengap dan berdebu sungguh melumpuhkan indera penciuman. Sarang laba-laba yang menggelayuti plafon itu juga sangat mengganggu pandangan. Sisi dinding-dinding kayu yang mulai digerogoti rayap itu pun tidak ada indah-indahnya sama sekali. Semoga anggota tim yang terbiasa hidup di dalam lingkungan yang rapi dan bersih tentu saja menahan jijik. Tempat ini sangat buruk bagi bisnis esek-esek sekalipun. Tidak pernah ada yang tahu kapan atap yang memiliki banyak bercak cokelat itu roboh, kan?

Elang Muda KencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang