Hari terakhir.
"Alamak petir. Mana jemuran belum diangkat. Ah, biarin. Allah bersama orang-orang yang pasrah." Mendongakkan kepalanya ke luar jendela, Elen sadar jika hujan deras mulai melanda Kota Jakarta. "Kok, anak-anak enggak ada suaranya, ya?" Elen yang sedang sibuk mengiris bumbu untuk oseng-oseng cumi yang dibuatnya pun heran ketika suasana rumah terasa sepi. Tawa Adimas dan Zeva tidak terdengar sama sekali.
"Enggak beres, nih." Setelah mencuci tangannya, Elen memutuskan untuk melihat sendiri ke ruang televisi. "Nah, kan." Tidak ada siapa-siapa di ruang televisi yang luas itu. Layar televisi itu menyala dan ditinggal penontonnya.
"Abang ... Adek ..."
Tidak ada jawaban. Hanya suara atap yang dihantam derasnya rintik hujan yang menyahuti panggilan Elen. Mencari ke seluruh penjuru rumah, ke kamar mandi, ruang keluarga, kamar-kamar, dua abang-adik itu tidak di sana. Namun, ketika akhirnya kakinya melangkah ke halaman rumah, matanya menangkap sosok-sosok yang sedang berjoget asyik di bawah derasnya hujan. Saat membuka pintu utama, benar saja, itu mereka. Elen dihadiahi pemandangan tiga orang laki-laki sedang tenggelam di antara rintik hujan.
"Mandi hujan apa simulasi dugem tuh," decihnya pelan. "Udahan, enggak lo semua. Badai nih badai!"
Teriakan Elen tampaknya tak berarti apa-apa bagi ketiganya. Aska, Adimas, dan Zeva hanya melihat Elen sekilas, lalu dengan santainya kembali meneruskan kegiatan mereka. Mereka berlari-lari dengan suka cita di atas rerumputan yang basah. Entah sudah berapa kali Zeva—reinkarnasi ikan buntal—itu terjatuh dan ditolong Aska.
Elen tak habis pikir. Sepertinya orang dewasa yang tersisa di rumah ini hanyalah dirinya. Sosok pria yang katanya sudah matang luar-dalam itu malah asyik tertawa-tawa di bawah air hujan. Ketampanannya tampak berlipat ganda karena rambutnya yang basah. Ah, apalagi saat dirinya tertawa lepas. Terasa runtuh semua.
"Ayo, Mami! Kita mandi hujan bareng!" Adimas memanggilnya. Tak jauh berbeda dari abangnya, Zeva terlihat tak bisa berhenti tertawa. Mereka tampaknya bersenang-senang dan mengabaikan himbauannya.
"Papi! Abang mau juga!" Ketika melihat adiknya digendong dan diputar oleh Aska, Adimas menjadi tak mau kalah. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah Aska. Ingin diputar-putar juga seperti adiknya. Dengan kekuatan seorang kapten, Aska dapat mengangkat kedua bocah laki-laki itu dengan mudah. Pria itu memutar-mutar mereka di udara.
"Laju lagi, Papi!" Adimas terbakar api semangat. Menginginkan putaran yang lebih cepat lagi. Sedangkan, Zeva yang belum terlalu pandai bicara hanya bisa tertawa-tawa.
Sorak-sorai tawa antara Adimas dan Zeva mengembara dengan lepas di antara bisingnya hujan. Elen memperhatikan raut wajah anak-anak itu. Tampaknya senang sekali berada dalam gendongan Aska. Tangan-tangan kecil mereka terus memeluk leher dan mencengkram erat kaus pria itu agar tidak terjatuh.
"Kalau terus-terusan di sini, lama-lama gue bisa minta diputar juga, nih." Elen membuang pandangannya dan memilih kembali ke dapur.
***
19:42 WIB
"Ya Allah ...." Elen berdiri mematung di depan kamar Aska. Saat sedang salat Isya rakaat kedua, fokusnya membuyar ketika mendengar suara riuh batuk-batuk yang saling bersahutan. Suara batuk itu berasal dari tiga suara yang berbeda. Benar saja, kini ia malah mendapati tiga orang laki-laki sedang sekarat menghadapi rasa sakitnya masing-masing. Aska terdampar di atas sajadahnya, sedangkan Adimas dan Zeva yang menangis sama sekali tidak bergerak di ranjang.
"Alamat jadi babu semalaman." Elen menggaruk kepalanya. Orang sakit tidak mungkin mengurusi dirinya sendiri, kan? Kalau sudah seperti ini, pasti yang sehat yang akan repot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elang Muda Kencana
RomanceElen, perempuan angkatan udara, tidak pernah menyerah untuk mencuri perhatian Aska, kapten yang juga merupakan atasannya. Meski penolakan kerap kali dia dapatkan. **** Bertemu saat sama-sama menjadi tentara di kesatuan berlambang Kereta Kencana, Ele...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir