Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

(5) Dokter atau Wara?

52.7K 5.8K 1K
                                    

Pagi ini, ruang serbaguna milik Skadron Udara 71 penuh sesak oleh puluhan prajurit yang akan mengikuti pemeriksaan kesehatan rutin. Pemeriksaan kesehatan kali ini berada di bawah tanggung jawab salah satu rumah sakit besar Jakarta.

"Pemeriksaan apa, nih?" Elen si wanita yang mengaku tidak ada duanya itu berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu hendak mengantre bersama yang lainnya.

"Kesehatan. Ya kali kejiwaan." Mona berdiri di belakangnya. Ia menjadikan kartu peserta antrean kesehatannya sebagai kipas untuk menghalau hawa panas. Berdiri berdekatan dengan ahli neraka, ya, seperti inilah hawanya.

"Enggak periksa, ah. Males." Elen beranjak dari barisannya dan berjalan ke arah deretan meja yang di atasnya tersedia makanan pencuci mulut. Brownies, puding susu, potongan buah-buahan, susu beruang, teh hangat, dan lain-lainnya. Melihat sesuatu yang enak dan gratis, mata wanita itu jelalatan. Tangannya lantas mengambil ini dan itu. Tak ada rasa malu.

"Lagian yang ikut periksa tuh karena dokternya masih seger-seger, kan? Halah, Bang Panca dan sekongkolannya mah udah kebaca." Elen memperhatikan lima orang seniornya yang sudah berada di barisan paling depan itu. Kelimanya tampak bersemangat.

Suasana sekitar makin ramai. Dokter-dokter wanita yang masih muda dan pipinya kemerah-merahan itu yang paling panjang antreannya. Isi antreannya tentu saja senior-senior bujang. Mereka bahkan sudah berbaris duluan sejak pintu ruang serbaguna ini dibuka.

"Komandan diem aja tuh. Enggak ikut periksa?" Elen melirik Mona di sampingnya. Bertanya soal sosok komandannya yang sedang mengambil kartu antrean.

"Periksa, tapi sama dokter yang cowok. Enggak ada nyali antre ke dokter cewe selama gue berdiri di sini," kekeh Mona. Ia tertawa dengan puas saat memperhatikan wajah suaminya yang terlihat sangat tertekan di sebelah sana.

"Ya, iyalah ... di mana-mana, komandan sama istrinya, ya, tinggi pangkat istrinya," celetuk Elen. Wanita itu merapatkan bibirnya agar tidak tertawa lebih keras.

"Ngakak lo. Nih, masih bisa ngakak enggak habis lihat yang satu ini?" Ibu komandan yang terkenal beringas itu merogoh saku celana lorengnya dan mengambil ponselnya. "Nih, masih bisa melet-melet enggak lo?" Saat itu juga, Mona menunjukkan Elen foto seseorang dari ponselnya.

"Editan!"

"Nangis aja sana, enggak perlu denial." Kini, Mona yang menertawainya. Puas sekali saat melihat raut wajah Elen tampak tersiksa dengan fakta menyakitkan yang baru saja dibeberkannya. Di foto yang ditunjukkannya itu, ada Aska dan seorang wanita. Mereka yang berdiri bersampingan dan tersenyum semringah ke arah kamera tentu menjadi bukti kedekatannya.

Tunggu ... Elen merasa seperti pernah melihat sosok perempuan yang sialnya tengah dirangkul Aska di foto itu. Benar saja, saat bola matanya tertuju ke salah satu meja pemeriksaan tensi darah, pandangannya langsung terfokus ke seorang dokter wanita yang sedang melakukan pemeriksaan di sana. Itu benar si wanita. Itu benar dia.

Dengan rasa cemburu yang sudah memuncak di kepala, Elen meremas gelas plastik di tangannya hingga tak berbentuk. Mata yang sipit itu menatap nyalang ke arah dokter wanita yang diduganya sebagai wanita yang sama seperti di foto. Seperti banteng hitam yang ikonik di salah satu partai, Elen maju meringsak menuju salah satu meja pemeriksaan di mana sosok dokter wanita itu berada.

Sebelum benar-benar jauh, Mona sempat menahan lengan seragam sahabatnya itu. "Mau ke mana?"

"Periksa." Elen menjawab dengan nada yang mendatar, melepaskan cengkraman tangan Mona pada bajunya, lalu kembali berjalan. Cara jalannya saja seperti bocah sekolah dasar yang gagal disunat. Makin mendekat dan makin mendekat. Elen mulai menerobos antrean abang-abang seniornya yang sudah antre sejak pagi buta.

Elang Muda KencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang