DUA

174 10 21
                                    

*******

Vio kembali berkendara dengan 'sahabatnya'. Sebuah motor matic premium lansiran pabrikan garputala, ber-cc 155. Pagi-pagi benar, dia sudah menerima order mengantar penumpang.

"Pagi, Pak." sapa Vio. Lelaki berumur 30-an itu hanya mengangguk dan buru-buru naik ke motor. "Kantor Bupati e. Sa buru-buru," kata lelaki berseragam 'khaki' . Vio memberikan helm dan dipakainya. Dengan sigap, Vio menarik gas dan memainkan rem. Membelah jalanan pagi itu, dari daerah Wosi menuju daerah Sowi Gunung. Kompleks perkantoran Kabupaten Manokwari.

Jalan itu sudah mulai padat dan macet. Seperti biasa. Karena didominasi arus kendaraan para ASN yang berangkat menuju kantor. Vio masuk setiap celah dengan hati-hati. "Keselamatan penumpang sangat penting". Kira-kira begitu semboyan aplikasi ojek online yang digunakan Vio.

"Pak, maaf. Macet jadi," kata Vio. "Mas, bisa selip di celah-celah mobil saja kah? Sa harus su di kantor sebelum jam 8," jawab si penumpang. 15 menit lagi waktu hampir jam 8 pagi. Vio segera menggeber 'sahabatnya' setiap ada jalur kosong. Terpaksa harus bersaing dan berdesakan dengan pengguna jalan lain.

Vio tiba tepat 5 menit sebelum jam 8. Bapak itu melepaskan helm dan memberikan selembar uang 50 ribu. "Pak, ini kembalian... nya..." Bapak tadi sudah hilang dari pandangan. Vio melihat uang kembali sebesar 30 ribu. "Ya sudah. Nanti siang sa datang lagi lah," kata Vio. Uang 30 ribu itu dipisahkannya.

***

Setelah itu, seorang ibu-ibu memberhentikannya. "Mas, ojek Mas!" teriaknya. Vio menepi dan si ibu langsung menaiki motor. "Mas! Ke RSAL cepat! Sa pu anak kecelakaan!" serunya.

Vio tidak pikir panjang. Ibu itu diberikan helm dan Vio langsung menggeber 'sahabatnya' menuju RSAL di daerah Sanggeng. Kalau di tarifkan, sekitar 20 ribu rupiah sekali jalan.

Jalan menuju daerah pusat kota memang lebih lengang. Jadi Vio bisa melaju lebih cepat. Hanya bertemu kemacetan di lampu merah Toyota dan Ruko Haji Bauw. Yang mana, lampu merah terakhir disebut, biasanya paling padat dengan waktu tunggu cukup lama.

Si ibu nampak panik. "Mas bisa cepat kah mas?" tanya si ibu. "Iya ibu. Sabar e," jawab Vio. Mereka tertahan cukup lama di lampu merah Ruko Haji Bauw. Setelah lampu hijau menyala, 'sahabat' Vio melaju melintasi lampu merah.

Kondisi jalan Wosi yang lebar dan arus kendaraan yang lebih sedikit membuat Vio membuka gas lebih dalam. Jarum speedometer menunjukkan angka 50....60....70....80...km/jam', kecepatan matic itu terus bertambah seiring Vio melibas jalan kosong itu.

Setibanya di RSAL, si ibu itu melepaskan helm dan langsung berlari ke ruang UGD. "Bu, belum bayar bu..." Vio sedikit berteriak tapi si ibu tadi sudah masuk ke dalam ruang UGD. "Panik tapi tra begitu juga. Dasar emak-emak. Cape deehh!" Vio meletakkan punggung tangan di dahinya.

***

"KRUUUUUK... KRUUUK..." perut Vio berbunyi. "Penduduk Kampung Tengah su demo sembako," kata Vio. "Aaah... Sudahlah!" Vio memuntir gas, meninggalkan UGD RSAL dan menuju warung nasi langganannya.

"Mas, berapa tadi...?" Ternyata si ibu penumpang tadi baru sadar belum membayar, dan begitu sudah di depan UGD Vio sudah lenyap. Si ibu bertanya pada orang di sekitar situ. Mereka memberi tahu kalau 'mas ojol jaket kuning' sudah pergi. "Ya astaga! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu, Mas," kata si ibu tadi.

*******

"Bu, nasi kuning ikan saos, satu. Pake sayur nangka," kata Vio. "Woo iya Mas. Sabar yo," balas si ibu pemilik warung. Setelah beberapa menit, sepiring nasi kuning sudah mendarat di depan hidungnya dengan segelas air. Vio makan dengan lahap. Penduduk Kampung Tengah yang sedang demo sembako harus segera ditenangkan.


"Pagi, Bu. Saya bungkus nasi pecel satu, ya?" suara seorang cewek yang memesan makan. Vio melirik cewek yang berdiri memunggunginya itu. Dengan seragam karyawan bank yang menurut Vio, 'seksi'. Cewek itu membuat Vio tidak berkedip untuk sementara waktu.

Rambut panjang hitamnya yang digulung rapi, rok pendek biru dan atasan blazer biru dengan sepatu hak tinggi. Vio kewalahan menjaga matanya yang 'berkeliaran'. Memindai tiap jengkal tubuh karyawan bank yang mempesona itu.

"Vio!" seru si cewek itu. Vio memindahkan pandangan menuju wajah cewek itu. "Aduh!" gumamnya. Ekspresi malu campur canggung muncul di wajah tampannya. Nasi kunyahan yang ditelan, berhenti tepat di kerongkongan. Tidak turun lagi.

"Oh My God!" gumam Vio. Dia tunduk perlahan dan menutup wajah dan matanya dengan tangan kiri. Tangan kanan meraba meja, mencari gelas minumnya yang ada di sebelah kiri sejak tadi. Nasi kunyahan tadi mulai terasa menyumbat jalan napas.

UHUK! GLEK! GLEK GLEK! UHUK! UHUK! Vio berhasil meminum air untuk melonggarkan tenggorokannya. Itu bukan air minum, tapi air di mangkok cuci tangannya barusan. "Kok rasanya aneh? Macam rasa sarung tangan," pikir Vio.

"Vio, nggak papa?" tanya si cewek itu. "Iya, tra papa. Makasih," jawab Vio. "Ini minumnya." cewek itu memberikan gelas minum Vio. Mata Vio terbuka, menyadari gelas yang disodorkan si cewek adalah gelas minumnya.

"Baru yang sa minum tadi?" tanyanya dalam hati, lalu melihat air di mangkok cuci tangan yang hampir habis. "Makasih banyak," ucap Vio sambil tunduk. Kemudian lanjut minum dari gelas minumnya.

Si cewek tertawa kecil. "Kamu belum berubah, Vio. Masih seperti dulu. Malu-malu dan suka salting," kata si cewek. "Iya, maaf ya. Sekali lagi makasih," balas Vio.

"Mbak, pecelnya sudah!" Ibu pemilik warung memanggil. "Oh iya, bu. Ini ya? " kata si cewek sambil membayar. "Daaah Vio," lanjutnya. Vio senyum kecut karena malu dengan tingkahnya barusan.

"Sialan! Kemarin malam ketemu. Sekarang ketemu lagi. Ya Tuhan, apa yang terjadi nanti? Hujan meteor?" ucap Vio dalam hati. "Mas, tadi itu siapanya?" tanya ibu pemilik warung. "Mantan pacar saya," ucap Vio dengan ekspresi berat mengakui.

*******


Sesuai aplikasi ya? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang