SATU

309 12 8
                                    

*******

"Mas Vio, ya?" tanya seorang cewek. "Iya, Mbak. Saya sendiri," jawab seorang ojol. "Oh, oke. Ke Jalan Yos Sudarso ya, Mas," minta si cewek.  "Siap, Mbak!" balas si ojol.  "Maaf, Mbak. Ini helmnya," lanjutnya.

Cewek itu memakai helm yang bersih dan wangi yang dibawa oleh si ojol. Lalu duduk dengan aman di kursi belakang motor matic milik si ojol. "Sudah, Mbak?" suara si ojol terdengar lewat interkom dalam helm yang dipakai cewek itu. "Udah, Mas," jawabnya. Ojol itu memulai perjalanan dari daerah Amban menuju jalan Yos Sudarso.

"Masnya sudah lama jadi ojol?" tanya si penumpang.  "Baru 3 bulan, Mbak," jawab si ojol. "Sudah lama itu, Mas," balas si penumpang.  "Oh hehehe," jawab si ojol. "Masnya orang Manokwari, kan?" tanya si penumpang.  "Iya, Mbak. Saya lahir besar di sini," jawab si ojol.

"Oh gitu. Kok ngomongnya halus ya, mas?" tanya si penumpang.  "Saya menyesuaikan sama penumpang, Mbak. Kalo penumpang ngomong logat Papua, saya pake logat Papua, Mbak," si ojol menerangkan. "Hmmmmm iya iya," balas si penumpang.

Setelah perjalanan 10 menit, mereka tiba di tempat tujuan penumpang. "Harganya sesuai aplikasi ya, Mbak," kata si ojol. "Yah! Mas, uangku kurang nih!" kata si penumpang. "Kurang berapa, Mbak?" tanya si ojol. "5 ribu, Mas," jawab si penumpang.

"Oh nggak papa, Mbak. Yang ada aja," jawab si ojol. Si penumpang memberikan dua lembar uang 5 ribu pada si ojol, kemudian helm ojolnya. "Makasih ya, Mas," kata si penumpang. "Sama-sama, Mbak. Mari, Mbak." Pamit si ojol lalu melanjutkan perjalanan.

***

Stelvio Evora. Sarjana teknik sipil lulusan salah satu universitas terkemuka di Jerman. Setelah menyelesaikan kuliahnya, dia kembali ke kampung halamannya. Awalnya, bercita-cita membangun bandara terbaik di kota tempat tinggalnya. Tapi, cita-cita itu diurungkan karena minim dukungan pemerintah daerah bagi proyek pembangunan bandara baru yang diikutinya.

Setelah itu, dia banting setir menjadi seorang ojek online. Bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Bukan juga untuk memperkaya diri sendiri. 'Entahlah...' Itulah jawaban yang selalu keluar dari mulutnya setiap ditanya alasan menjadi ojek online.

TING! Satu notifikasi order makanan diterimanya. Dia buru-buru menuju warung yang dimaksud untuk membeli orderan sore itu. "Tunggu ya?" balasnya pada pelanggan lewat pesan singkat. Setelah tiba, Stelvio langsung memesan sesuai orderan. Dalam 10 menit, makanan sudah siap. Stelvio mengantarkan orderan itu pada pelanggan.

Karena matahari sudah terbenam, dia melepaskan masker yang dipakai. Kini, wajah tampan seorang Stelvio nampak jelas. Walaupun tertutup kaca helmnya saat berkendara.

***

Tiba di rumah pelanggan, Vio langsung menelepon, "Saya sudah di depan rumah, Mbak." Seorang cewek keluar dari rumah itu, "Eh! Vio!" seru si pelanggan. Vio kehabisan kata-kata. Pelanggannya kali ini adalah mantan pacarnya sewaktu masih SMA.

Vio melempar senyum ramah, seperti yang selalu dilakukan. "Kamu sudah selesai kuliah dari Jerman?" tanya si mantan. "Iya. Sudah 8 bulan lalu," katanya. "Sekarang jadi ojol?" tanya si mantan. Vio hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Ini pesanannya," lanjut Vio sambil memberikan orderan pada cewek itu. "Aku bayarnya pake OJ-Cash, ya?" kata si mantan. Vio mengangguk dan tersenyum.

"O iya, kamu tinggal dimana sekarang?" tanya si mantan. "Masih di rumah lama," jawab Vio. "Oh ya udah. Salam untuk tante, yah! Sama kak Margareth juga. Daaaaah," balas si mantan. Vio tersenyum dan mengangguk lalu segera meninggalkan tempat itu.

"Oh Tuhan. Kenapa hari ini ketemu dia kah? Astaga eee! Ini akibat malam mimpi dikejar naga ini. Hii..." ucap Vio sambil bergidik saat di pom bensin. Handphone dengan aplikasi ojol dipadamkan. Helm ojol dan penumpang disimpan dalam bagasi. Diganti dengan helm 'fullface' dan 'riding hoodie' berwarna biru. Dia menggeber mesin 150cc menuju rumah setelah memberi minum 'sahabatnya' itu.

***

"Malam..." sapa Vio di depan pintu rumah lantai dua dengan halaman luas yang ditata dengan cantik. "Sudah pulang, Mas?" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan tersenyum ramah pada Vio. "Sudah, Bi. Capek," katanya sambil membawa perlengkapan kerjanya masuk ke dalam rumah.

"Su pulang? Bagaimana penumpang hari ini? Banyak kah?" seru seorang wanita dari lantai dua. Vio hanya menaikkan jempolnya dan menuju kamar. Vio langsung masuk ke kamar mandi dalam kamarnya. Melepaskan lelah seharian itu di bawah pancuran air dingin yang menyegarkan.

Setelah memakai pakaian kesukaannya. Celana pendek boxer dan kaus katun, dia menuju ke ruang makan. "Eh, sudah pulang, Nak?" tanya seorang wanita berumur 40-an lebih. "Sudah, Ma," kata Vio sambil memeluk dan mencium wanita itu.

"Neh. Ko loyo sampe? Kenapa?" Suara keras kakak ceweknya terdengar dari arah tangga. "Sa ketemu Pricill tadi," balasnya dengan malas. "Eh, Pricill sudah pulang?" tanya Mamanya. "Su. Da su tinggal di rumah baru. Mungkin sama suaminya kah apa?" jawab Vio dengan malas.

"Cieeee. Ada yang masih sakit hati kah ini... Hahaha!" Margareth tertawa keras sambil menggoda adiknya. "Diam sudah! Perawan expire, " balas Vio. "Ooo, dasar siput aspal!" balas Margareth.

"Margareth! Stelvio! Tidak boleh bicara begitu di depan makanan." Mamanya menghentikan ejekan keduanya. "Iyo Ma, maaf," kata Vio dan Margareth. "Bi Ina, ayo makan." Ajak mamanya Vio. Wanita yang tadi membuka pintu untuk Vio, datang bergabung dan makan bersama mereka.

***

Setelah makan, Vio langsung kembali ke kamarnya. Mempersiapkan peralatan ojol untuk bertugas esok hari. Handphone ojol dicas, baterai interkom dicas, helm ojolnya dibersihkan, helm penumpang dibersihkan dan disemprot pewangi. Jaket ojolnya digantung dengan rapi. Setelah itu, Vio merebahkan diri di atas kasur.

Smartphone pribadi diliriknya. Smartphone itu sangat sepi. Tidak ada notifikasi apapun. Rasa lelah yang tadi sempat hilang, 'mengetuk pintu' kembali dan memaksa Vio untuk tidur malam itu.

*******

Sesuai aplikasi ya? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang