2. Api Cinta

54 17 2
                                    

(Februari 2006)

"Api itu bagai cinta. Bisa menghidupkan, juga bisa mematikan. Tergantung bagaimana cinta itu bertuan."

Lantunan merdu mengumandang di panggung terbuka. Gadis mungil bergaun pink pastel tengah duduk tenang, menunggu nomor undian dia disebut. Wajah putihnya bersinar dipancari cahaya bulan serta bintang-gemintang dilangit malam.

Sesekali dia tersenyum simpul karena pujian para temannya, menampakkan lesung di pipi cubby yang memerah. Tanpa sadar ada seseorang yang memerhatikan gerak-gerik gadis itu, ikut tersenyum saat Maira tersenyum.

Tak lama kemudian tibalah gilirannya menaiki panggung, beberapa teman menyemangati. "Se-semangka, semangat Kakak!" Yel-yel itu sontak disorakkan para teman sekolahnya.

Gadis itu tambah semangat, meskipun rasa gugup menyelimuti. Beberapa kali mengikuti lomba nampaknya rasa deg-degan saat menjelang tampil masih menyerang. Dia menatap teman-teman dan gurunya serta teringat orang tua di rumah, ia tak ingin mengecewakan.

Dia menarik napas dan memulai bacaan, "... Bismillahir-rahmanir-rahim ..." Dia membacakan surah Al-Baqarah ayat 21 sampai 24. Pada ayat kedua puluh dua dikutip:

"(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 22)

Maira telah beberapa kali memenangkan lomba MTQ dari waktu sekolah dasar dahulu, piala berjejer rapi di kamarnya, mulai dari piala tingkat kecematan sampai tingkat provinsi. Walau begitu ia tetap rendah hati, dia tahu kelebihan itu hanyalah titipan. Seperti halnya harta, titipan dari Sang Maha Kaya. Bisa direnggut kapan saja, tak ada yang patut disombongkan di dunia ini. Pada akhirnya hanya kain kafan dan amal yang menemani.

Suara syahdu Maira membius setiap orang yang mendengar, ada yang bahkan terisak karena terlalu meresapi. Maa syaa Allah. Kata itu sesekali diucapkan penonton. Tanpa sadar waktu mengaji berakhir.

"Wahh, keren Mai! Aku sampai nangis tahu," puji Raina saat Maira telah berada disampingnya.

"Cengeng," balas Maira cuek.

"Dipuji malah nyebelin. Inginku cubit pipi tembemmu itu." Raina selalu gemas melihat pipi Maira yang mengembung sewaktu-waktu. Dia telah bersiap meluncurkan jarinya ke pipi Maira, tetapi sahabatnya itu menepis.

"Apa sih, Rain. Aku laporin nih ke polisi atas tindakan kekerasan," ancam Maira.

"Sadis amat kau ini Mai, sahabat sendiri dikira penjahat," cetus Raina.

"Sudah-sudah," lerai gurunya. "Ayo, kembali ke kemah. Kita tinggal tunggu pengumuman hasil lomba esok lusa. Tetap semangat dan terus berjuang!" Mereka pun sontak bersorak sorai dengan yel-yelnya.

"Se-semangka, semangat Kakak!" teriak mereka berbarengan.

***

Malam terakhir di bumi perkemahan, api unggun dinyalakan sebagai simbol semangat juang para peserta perkemahan. Selain sebagai simbol, api unggun juga bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan. Semua peserta dari berbagai sekolah melingkari api unggun.

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang