21. Maira Marah?

2 0 0
                                    

"Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam."

[HR. Bukhari, no. 6077 dan Muslim, no. 2560]

Hari esok pun tiba, sudah berkali-kali gadis itu menelepon sahabatnya. Tampak kekesalan pada wajah sang gadis, sebab orang yang ditelepon tak kunjung menjawab panggilan. Pada jam istirahat, Raina datang ke kelas Maira, tetapi gadis itu tak ada di sana. Kata salah seorang teman sekelasnya, Maira baru saja keluar entah menuju ke mana.

Gadis bertubuh lampai mulai beralih ke kantin, mungkin Maira ada di sana, benaknya. Dia mempercepat langkah, pikirannya sekarang ke mana-mana, takut jika terjadi sesuatu pada Maira atau akan membeci dia selamanya. Raina sampai di kantin, memperhatikan dengan detail orang orang yang mengisi tempat duduk. Dia berlari ke sana-kemari mencari sahabat tercinta. Nihil.

Gadis itu tetap tak ada. Ke mana Maira sebenarnya? Karena lelah berlarian Raina terpaksa menghentikan sejenak pencarian. Dia duduk, lalu memesan es kepal cokelat untuk melepas dahaga. Cokelat kental pada es itu melumer di mulut, rasa manisnya membuat orang lupa dunia saat meminumnya. Kerongkongan yang tadi kering menjadi segar.
Kebiasaan gadis ini saat bertemu makanan atau minuman, pasti
lupa kenyang, lupa sahabat pula.

Seusai menghabiskan es kepal, dia baru teringat akan tempat favorit Maira. "Perpustakaan!" serunya.

Perpustakaan kampus memang salah satu tempat paling Maira sukai setelah musala, suasana yang tidak bising membuat tentram di hati. Di sanalah dia bisa tenggelam dalam setiap bait-bait tulisan mengesankan, menambah pengetahuan dan memperluas wawasan. Lebih baik tenggelam dalam bacaan daripada tenggelam dalam kenestapaan, bukan?

Dengan semanagat empat lima Raina pun bangkit lalu menuju perpustakan, kali ini dia harus menemukan keberadaan gadis itu. Dia berjalan seraya celingak-celinguk, kanan-kiri, samping-belakang saat melewati beberapa kelas, barangkali orang yang dicari ada di sana bersembunyi.

Di perpustakaan, dia mulai mencari disetiap sudut dalam ruangan. Karena ini perpustakaan, maka sebisa mungkin tak menimbulkan keributan. Raina berjalan gontai mengelilingi rak-rak buku, tetapi wujud gadis yang ia cari belum tampak juga. Dia tak menyerah, sudah hampir lima kali berkeliling, namun tetap saja tak ada hasil.

"Maira ke mana sih?" cetusnya yang mulai letih mencari.

Dia menyerah. Betisnya pegal-pegal, kepalanya pening memutari ruangan. Raina memutuskan kembali ke kelas, sebab mata kuliah selanjutnya akan dimulai. Kembalilah dia dengan batin bertanya-tanya. Ke manakah Maira? Apakah dia semarah itu sampai tidak mengabari di mana keberadaannya?

***

Dua hari berselang, setelah Raina sibuk mencari sahabatnya. Sengaja dia juga mendiami, agar Maira yang
berbalik mencari, tetapipemikirannya salah. Maira tak kunjung jua datang menemui Raina, atau bahkan mengirim pesan singkat.

Mungkin sibuk mempersiapkan tugas skripsi, dalih Raina. Apalagi waktu masuk perkuliahan mereka kadang tak berbarengan, itulah yang menyulitkannya bertemu. Sepulang dari kampus, gadis itu mendatangi indekos sahabatnya. Dia mulai cemas sendiri. "Ah, andai saya tidak bertindak sekonyol itu, pasti ini tak akan terjadi." Raina menabok dirinya sendiri, mengutuki perbuatan yang membuat dia tambah susah.
Seusai memarkirkan motor di halaman depan indekos, dia melangkah masuk. Ditemuinya ibu kos yang menyambut kedatangannya. Ibu kos membantu membujuk agar Maira ingin membuka pintu untuknya.

Terdengar suara dari dalam kamar, "Tunggu sebentar."

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka menampakkan seorang gadis berpipi tembam.

"Apa kabar, Mai?" sapa gadis betubuh lampai.

Maira tak menjawab pertanyaan Raina. Hanya mengisyaratkan untuk masuk.

"Baik, terima kasih." Raina dengan senang hati melangkah ke dalam kamar.Keadaan menjadi canggung, lengang. Raina hanya duduk menatap Maira yang sibuk berkutat dengan gawainya.

Dia tak suka situasi seperti ini.
"Mai ...," Gadis itu memecah keheningan.

"Hmm."

"Kamu masih marah?"

"Menurutmu?"

"Menurutku, iya."

Maira hanya diam.

"Mai ...."

"Hmm."

"Bukannya seseorang tidak boleh saling diam melebihi tiga hari yah? Besok hari keempat lho."

"Iya."

"Lalu kenapa kamu masih cuek? Kalau seperti ini terus saya jadi tidak enak hati, Mai. Tolong maafkan kesalahanku, saya khilaf. Please, Mai." Raina menyatukan kedua telapak tangan, memohon lagi. Maira masih tak acuh.

"Mai, tolonglah. Baikan yuk, janganlah marah-marah begini, nanti cepat tua lho kamu, please," pelas Raina dengan nada yang dilogat-logatkan.

Maira masih gigih dengan pendirian.
"Ayolah, maafkan sahabatmu comelmu ini." Raina memasang wajah yang sengaja dibuat lucu.

Maira hanya melirik sebentar.

"Yahh ... tidak berhasil." Raina menunduk lesu. Maira memperhatikan gadis di sampingnya yang sedang menunduk sembari terus memohon. Ada sesuatu sedari
tadi ditahannya, ingin meledak. Duar!

"Wahahah, lucu sekali mukamu, Rain." Gelak tawa. Maira tertawa geli melihat ekspresi Raina.

Gadis itu mendongak memastiakan sumber tawa. "K-kamu ketawa, Mai?"

"Tidak, saya menangis! Iyalah, ketawa, kamu pikir orang tidak akan ketawa menyaksikan ekspresimu itu?"

"T-tapi tadi ... kamu ...."

"Apa?"

"Tapi, tadi kamu, kan marah."

"Kejutan! Haha, akhirnya dendam kesumatku terbalaskan. Makanya jangan suka jail." Maira tertawa puas, ternyata dia hanya berpura-pura marah selama ini.

Tak tega dia melihat sahabat paling ia cintai dan sayangi merasa bersalah hanya karena perkara itu, Maira juga tahu bahwa Raina melakukan hal tersebut hanya karena ingin yang terbaik untuk dirinya.

"B-benar kamu sudah tidak marah lagi, Mai?"

"Memang dari dulu cuma pura-pura, hehe. Sudahlah Rain tidak usah pusingkan masalah itu. Saya malah berterima kasih, karena kamu sudah membuat mataku terbuka bahwa
berharap pada seseorang yang tak lagi mengharapkan kita memang harus dihentikan. Pokoknya kamu the best-lah, Rain. Thank's, yah."

"Kembali kasih, Mai ..." Dia memeluk erat tubuh mungil Maira, perasaan senangnya tak bisa tergambarkan.

"Kalau buat rencana tuh dipikir dulu, kamu kira saya tak tahu apa. Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengabadikan momen itu? Secara di toko buku, hanya ada tiga pelanggan yaitu kita berdua dan Kak Zanuar. Mana mungkin petugas kasir pelakunya." Maira terkekeh, dia sudah jauh lebih baik saat
ini.

Raina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, juga yah."

"Iyalah. Karena kamu sudah jujur, berani mengakui kesalahan dan dengan tulus meminta maaf, maka dari itu saya maafkan."

Raina terisak sekaligus lega mendengar perkataan Maira, kedua gadis itu saling dekap. Tak pernah ada benci di hati mereka, kesalapahaman memang kadang terjadi. Namun, mereka tak pernah menjadikan hal itu sebagai perenggang hubungan, melainkan ujian persahabatan.

"Mai ...."

"Hmm?"

"Si Misterius bilang apa di pesannya?"

"Rahasia."

"Ish!"

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang