22. Sarjana

6 0 0
                                    

"SARanku, JAngan langsung berputus asa ketika jalanmu buntu. NAmun, berusahalah mencari jalan lain yang  mampu kau tempuh."

Malam sudah menua, bulan menggelantung indah dengan pancaran yang menggantikan sang surya menyinari jagat raya. Lentera rumah-rumah penduduk bumi seakan ingin menandingi cahaya rembulan.

Gadis itu masih sibuk berkutat dengan tugas skripsi, jemarinya dengan lincah mengetik di atas keyboard. Benda bersegi empat berukuran 15 inci itu baru dimilikinya semester lalu, setelah tabungannya cukup.

Penelitian yang dilakukan Maira untuk pemenuhan tugas akhirnya berjudul; "Pengaruh Urin Sapi Terhadap Tanaman Terong". Bisa dibayangkan betapa sulitnya mendapatkan urin sapi. Butuh perjuangan extra, mesti menunggu si sapi buang air kecil dulu, itu pun kalau tidak lari atau menendang. Dia harus tinggal di rumah neneknya selama beberapa hari, untung tetangga nenek Maira–pemilik ternak sapi– berbaik hati membantu segala proses pengambilan urin itu.

"Huft ... sedikit lagi." Maira merenggangkan tangannya yang telah pegal.

Dia melirik ke jam dinding, gadis itu baru tersadar ternyata sudah pukul 00:00 dini hari-jam Cinderella –kata
Mimy– dan dia masih saja terjaga.
Tinggal dentuman jam terdengar, hiruk-pikuk kota kecil itu telah berkurang, walau sesekali kendaraan masih ada yang berseliweran. Maira berusaha menahan kantuk, namun lagi-lagi matanya sudah sangat letih menatap layar laptop mini di depannya. Tubuh mungil gadis itu memutuskan merebah sejenak, tanpa sadar matanya tertutup kemudian terlelap.

Jam beralunan menemani tidurnya, entah angin dari mana dia terbangun pada menit ke dua puluh. Matanya
mengerjap-ngerjap. "Astagfirullah, saya tertidur." Maira mengusap wajah, mengembalikan kesadaran.

Dia mematikan laptop yang sedari tadi menyala, tatapannya tak sengaja mengarah pada boneka pink di depan. Beberapa bulan terakhir boneka itulah yang menemani Maira di indeksonya, mendengarkan segala keluh kesah, sedih ataupun gembira gadis itu. Dia teringat akan seseorang.

"Si Misterius." Bibir merahnya menampakkan tarikan tipis. "Apakah benar isi pesan dia, Pingky?" tanyanya kepada boneka itu.

Seusai membereskan laptop mini beserta buku-buku yang berserakan, dia melangkah menuju toilet umum indekosnya. Ingin membasahi muka dengan air wudu agar kantuk tak lagi menyerang, rasanya juga sia-sia tak menghabiskan waktu malam untuk bersua dengan-Nya.

Seberes wudu dia kembali ke kamar lalu menggelar sajadah hitam polos, lalu memakai mukena.Maira kemudian melaksanakan salat malam ditambah witir tiga rakaat. Dia menutup malam dengan zikir dan bacaan Al-Qur'an, lalu berdoa dengan khidmat. Memohon semoga tak ada lagi air mata penderitaan, hanya ada kebahagiaan.

"Aamiin, Yarabbal'aalamin." Setelah berdoa Maira bangkit lantas kembali beristirahat.

***

Gadis itu tampak anggun dengan balutan hijab yang menutupi surai indahnya. Tambah berwibawa lagi tatkala mengenakan jubah hitam yang biasa disebut toga serta topi bersegi lima, berjalan beriringan bersama para peserta wisuda lain menuju aula kampus. Sekitar seribu peserta memasuki aula, disertai para pendamping. Adapun pendamping dipisah tempatnya, mereka menduduki kursi belakang.

Tepat Mei 2016 angkatan Maira akhirnya di wisuda setelah menunggu selama setahun, demi kebersamaan. Upacara khidmat ini merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu, peristiwa bersejarah bagi para pejuang pendidikan. Tidak mudah bagi mereka sampai kepada titik ini, terutama gadis berpipi tembam itu. Mengingat betapa sulit perjuanganya dahulu, dia harus melalui berbagai rintangan kehidupan, hingga kini dia mampu meraih gelar sarjana. Kata orang; perjuangan tak pernah mengkhianati hasil.

Satu per satu dengan bangga wisudawan dan wisudawati menaiki panggung. Di sana telah ada dosen yang telah berjejer menyambut mereka, memberikan tanda kelulusan bagi para mahasiswa. Di belakang para orang tua atau kerabat yang mendampingi bertajuk bangga, tanpa terkecuali Naima, dia tak kuasa membendung air matanya menyaksikan keberhasilan sang anak.

Zanuar juga terlihat di atas panggung berdampingan dengan para dosen, dia sempat tersenyum dan mengucapkan selamat pada Maira tatkala giliran gadis itu yang menaiki panggung. Namun, gadis berlesung hanya tersenyum tawar, setahun belakangan setelah kejadian memalukan itu Maira selalu menghindar darinya. Begitu pun dengan Raina, masih saja menyimpan rasa tak suka akan pria itu.

"Mai, alhamdulillah kita sarjana," ujar Raina kegirangan lantas memeluk Maira dengan erat tatkala kedua gadis itu turun dari panggung. Maira membalas pelukan itu lebih erat. "Iya, Rain.

Alhamdulillah." Keduanya saling dekap dengan rasa syukur dan bahagia tak terhingga. Orang tua mereka menghampiri putri-putrinya.

"Selamat, Sayang," ucapnya, Maira kemudian beralih memeluk mamanya. Begitu pun dengan Raina dia menghampiri sang ibunda.

"Terima kasih, Ma."

Setelah acara selesai Naima menelepon keluarga yang menunggu di indekos, agar segera menyusul ke kampus. Momen spesial ini tentunya harus diabadikan. Sembari menunggu, Maira menyempatkan berfoto bersama teman kampus dan sahabatnya terlebih dahulu di sebuah studio mini yang telah disediakan pihak kampus.

Ayah tiri Maira tak sempat hadir sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikan, selain itu mungkin juga dia tak enak bertemu langsung dengan Rudin yang menyempatkan hadir di acara spesial sang anak. Kakak dan adik Maira juga hadir kecuali Luthfi beserta keluarga kecilnya, mereka masih berada di Kupang.

Semuanya telah tiba di sana, mereka pun menyuruh fotografer agar segera mengabadikan gambarnya. Tanpa sengaja pandangan Suhir tertuju pada seorang perempuan yang juga memakai toga, gadis itu terseyum simpul padanya.

Senyum yang begitu familier, bagaimana tidak? Dari masa kanak-kanak dia sudah menjadi teman main adiknya. Seusai berofoto Suhir menghampiri. "Selamat, Raina."

Ucapan singkat yang mampu membuat jantung gadis itu berdetak lebih cepat dari biasanya. "Iya, Kak. Terima kasih." Raina tertunduk malu-malu.

Entah kapan perasaan itu timbul, mereka pun tak tahu. "Ciyee, yang dapat ucapan dari Kak Suhir. Saya saja belum dapat," singgung Maira yang tak sengaja melintas. Raina
hanya tersenyum malu. "Semangat Kak." Dia menepuk pundak
kakaknya kemudian berlalu.

Lama keduanya berbincang sampai pengabadian momen telah usai, semua orang kembali ke indekos yang tak jauh dari kampus, cukup dengan berjalan kaki. Kecuali Suhir yang masih terpaku di tempat. Sampai akhirnya Maira memanggil.

"Kak, semua orang sudah balik! Kalau Kakak masih mau di situ juga tidak apa-apa! teriak Maira dari posisi yang sedikit jauh.

"Iya, iya! Tunggu!" balas Suhir. "Saya pamit dulu yah, Raina soalnya nanti Bu Bakpao itu mengomel lagi," pamit Suhir yang sedikit meninggikan suara.

"Saya dengar lho, Kak dari sini." Maira memanyunkan bibir.
Raina terkekeh melihat tingkah kakak-beradik itu, baru kali ini dia melihat sisi lain dari pria itu. Ternyata tidak seperti dugaannya, bahwa Suhir adalah pria dingin, sedingin kutub syamali.

"Ya, sudah Kak saya juga mau pulang," kata Raina.

"Baiklah, kamu duluan."

"Kakak saja."

"Perempuan harus diutamakan." Suhir tersenyum.

Untuk pertama kalinya Raina melihat rekahan di bibir kaku itu. "Baiklah." Raina membalikkan badan.

"Dahh! Rain!" teriak Maira seraya melambai.

"Dahh! Mai!" Raina membalas lambaian.

Perempuan itu perlahan menjauh, Suhir pun melangkah menuju adiknya. Mereka berjalan beriringan menuju indekos. Maira berdehem.
"Ciyee, yang lagi kasmaran, ternyata Kakaku bisa jatuh cinta juga."

"Saya normal. Bilang saja kalau kamu iri." Suhir tetap melanjutkan langkah.

"Ih, mana ada Maira iri."

"Oiya, selamat Bu Bakpao atas gelar sarjananya." Suhir meletakkan tangannya di pundak Maira.

"Iya, Kak iya."

"Ternyata kamu sudah lumayan tinggi yah."

"Memang tinggi kok."

"Tinggi atau berpikir tinggi?"

"Tinggi, tanpa berpikir lagi."

"Berapa tingginya?"

"145 cm."

Suhir menahan tawa.

"Kenapa, Kak?"

"Tidak-tidak."

Tampak dari kejauhan adik mereka melambai menyuruh kedua orang itu mempercepat langkah. Karena penasaran mereka berlari kecil menghampiri gadis itu.

"Kak Ra, ada pria yang menunggu Kakak di depan indekos," tutur Mimy.

"Siapa?" Maira penasaran.

"Entah. Dia dari tadi cari Kakak. Orangnya ganteng lho, Kak." Mimy menarik lengan Maira buru-buru menghampiri orang yang ia maksud.

"Ish! Mentang-mentang sudah beranjak remaja, sudah tahu rupanya kau menilai lelaki," ketus Maira.

"Yah, kalau menilai begitu mah, saya tahu kali, Kak," seloroh Mimy.

Suhir yang ada di belakang geleng-geleng menyaksikan kedua adik perempuannya.

"Itu, Kak orangnya." Mimy menunjuk seorang pria yang tengah menunggu
di ambang pintu indekos.

***

TAHAJJUD CINTA

Kala malam menua
pekat, di ngkasa raya
rembulan purnama
memancarkan cahaya
gemintang ikut menyapa

Gegap-gempita lenyap
bumi membisu, senyap
meski lengang kuriuhkan doa
di atas sajadah kupinta;
agar semesta menjawab tanya
tentang siapa sang Jingga

Sejuta lara t'lah hadir
beribu kata ikrar merinai
namun, serpihan hati
belum kutemui

Walau begitu tetap kunanti
sampai pada titik terakhir
Lantas kapan senja menyapa?
lalu lembayung merobek tirai
Mengubah gulana menjadi gulali
menikmati gulali di atas bianglala
pada penghujung senja bersamanya

Tuhan ...
kepada siapa hati ini 'kan bertuan?
di mana rusuk ini 'kan temukan teman?
bagaimana raga ini 'kan jumpai serpihan?
kapan Sang Jingga memberi kepastian?

Dentuman jam berjalan
lantunan doa kulangitkan
untuk nama yang kusemogakan
Terukir indah pada kitab Lauhulmahfuz,
engkau yang masih dirahasiakan

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang