13. Peri Buku

17 4 0
                                    

"Membacalah. Maka kau akan tahu rasanya kecanduan membaca."

Wanita paruh baya itu menutup telepon. Dia lega mendengar putrinya yang tengah berbahagia, lantaran mendapatkan hape baru. Terbentang jarak jauh menjadi dinding pembatas rindu mereka. Mendengar suara gadis mungil itu menjadi pengobat rasa rindu baginya.

Setahun lebih dia terpisah dari anaknya. Terkadang dia datang menjenguk Maira tanpa ingin diketahui oleh sang mantan suami, dia datang ketika pspa Maira pergi bekerja. Walau mereka pisah secara baik-baik, tetapi tetap saja Naima merasa tak enak hati berjumpa langsung dengannya sekarang. Tak tega ia melepas anak gadisnya sendiri di sana. Namun, situasi selalu saja memaksakan kehendak. Untung dia membawa Mimy sang anak bungsu bersamanya, sehingga ada yang menjadi penyemangat tatkala letih merintih.

"Mama ...!" Mimy datang entah dari mana. Dari luar angkasa mungkin?

"Kenapa, Nak?" Naima membalikkan badan.

"Mau beli Barbie," rengek gadis kecil itu.

"Barbie apa, Sayang?

"Itu, tuh yang di televisi tetangga, cantik banget, Ma."

"Kamu dari nonton lagi?"

"Iya, kemarin sore, Ma." Mimy menyengir memamerkan gigi ompongnya yang baru saja di cabut kemarin lusa.

"Besok Mama mau pergi bekerja, tapi Mimy jangan nakal. Kalau Mama udah gajian nanti Mama beliin boneka yang Mimy mau."

"Kerja apa, Ma?"

"Seperti biasa, Sayang. Menuai padi."

"Di mana, Ma?"

"Jauh Sayang. Pekerjaan Mama di sini sudah selesai jadi harus ke tempat lain lagi. Nah, mungkin Mama pulangnya pekan depan, kamu tinggal sama Nenek dulu, jangan nyusahin dia, yah."

"Siap, Ma!" Mimy menempelkan tangan di pelipis.

Semenjak kata pisah itu terucap di bibir suaminya dan dia pergi tanpa pamit, Naima harus bersusah payah mencari nafkah. Bekerja apa pun itu asalkan ia mampu dan juga halal.

"Belajar yang baik. Oiya, Gimana sekolahnya?"

"Keren dan seru, Ma!"

"Yaudah yang giat belajarnya."

"Siap, Ma!"

"Jangan lupa sarapan pagi lho?"

"Iya, Ma!"

"Mau tinggal berdiri di situ atau mau berangkat sekolah?"

"Mau berangkat ke sekolah, Ma." Dengan sigap dia meraih tas bermotif boneka barbie, lalu pamit dan mencium takzim tangan mamanya.

Gadis kecil hitam manis itu beberapa bulan lalu masuk sekolah dasar. Dia semringah saat diantar sang ibunda ke sekolah tempat di mana dia akan menghabiskan setengah hari di sana. Namun, Sebagaimana murid baru biasanya, dia tetap malu-malu kucing ketika di suruh memperkenalkan diri di depan teman sebaya.

Mimy kecil kadang di klaim beda sendiri dari mama dan kakak perempuannya yang berparas jelita nan putih berseri. Menggemaskan? Jauh dari diri gadis itu. Kulit kecokelatan, jidat lebar macam lapangan bola menjadi ciri khasnya. Pantas saja Maira sering meledek adiknya, meski selalu ditegur oleh sang mama bahwa; rupa bukan tolak ukur sifat seseorang, serta jangan menilai hanya dari tampilan semata. Namun, kendati muka pas-pasan, Mimy selalu saja punya daya tarik tertentu yang membuat orang menyukainya. Paras memang tak menggemaskan, tetapi sikap bisa jadi pilihan utama mendekatkan insan.

"Hai, Filda." Gadis itu menyapa temannya yang sedang duduk tertunduk membaca buku. Dia tak dihiraukan. "Filda!" Mimy sedikit meninggikan suara.

Suara Mimy sukses membuat temannya menoleh. "Ada apa?"

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang