7. NTT

28 8 0
                                    

(Akhir Desember 2007)

"Selamat tinggal, Bumi Sawerigading. Selamat datang Kupang."

Kota Angin Mamiri. Selama enam jam setengah menempuh perjalanan dari Luwu hingga Makassar, akhirnya kakak-beradik itu tiba di tempat tujuan. Mereka harus menginap di rumah teman abangnya selama dua hari. Menunggu keberangkatan kapal yang akan ia tumpangi menuju Nusa Tenggara Timur. Lutfhi, sang kakak sulung telah mengirimkan uang kepada adik-adiknya sebagai ongkos perjalanan mereka menuju Kupang.

Pada akhir Desember 2007, senja di Pantai Losari membuat Maira terkagum-kagum menyaksikan pemandangan indah itu. Cakrawala jingga membiasi pipi tembamnya. Walau sudah pernah ke kota ini, tetapi dia baru sempat merasakan keelokan kota itu. Hari pertama berada di sana, tuan rumah mengajak mereka berjalan-jalan menyusuri Pantai Losari. Di tengah hiruk-pikuk kota, dengan penduduk bumi yang padat, Maira berucap syukur tiada tara kepada Sang Kuasa.

"Alhamdulillah ...."

Di belahan bumi lain orang-orang sibuk mencari keberadaan gadis itu. Perempuan yang membantu Maira kala itu tutup mulut saat dimintai keterangan. Dia hanya berkata, "Selama aku berada di rumah hari ini, aku tak pernah bertemu Maira." Inna, wanita yang biasa Maira sebut tante itu tidaklah berbohong sebab selama seharian di rumah, dia memang tak menemui Maira. Dia membantu ponakannya tanpa pernah bertemu, dia berkomunikasi lewat telepon dengan Suhir. Syukurlah teknologi saat itu mengalami kemajuan pesat jadi tak perlu lagi repot berkirim surat.

Mama Maira angkat bicara, "Tapi, katamu dia akan bermalam di sini, 'kan?"

"Iya, tapi ... sampai sekarang dia tak datang-datang."

"Lalu Maira ke mana?" Naima tersedu-sedan mengetahui bahwa putrinya tak ditemukan di mana pun. Suhir juga hilang kontak, dia telah mengganti nomor teleponnya.

Semua keluarga sudah dikerahkan untuk mencari Maira. Namun, nihil usaha itu sia-sia. Teman sekolah yang mengetahui keberadaan Maira juga bungkam, mereka tak ingin ikut andil dalam masalah rumit itu. Mereka mengerti situasi kawannya, jika mereka yang berada disituasi sulit seperti itu pasti juga akan melakukan apa pun demi memperjuangkan pendidikan.

Pencarian terus dilakukan, entah mengapa mereka tak melapor ke pihak kepolisian untuk membantu pencarian Maira. Mungkin karena takut ketahuan akan menikahkan anak dibawah umur, sedangkan usia perempuan yang boleh berumah tangga maksimum tujuh belas tahun ke atas, dan usia Maira belum mencapai. Orang tua Maira terpukul atas kejadian itu, tetapi ambisi mereka belum padam untuk berencana menikahkan sang putri.

Pihak lelaki juga ikut membantu pencarian Maira. Kedua keluarga akan sangat malu jika pernikahan itu dibatalkan, yang benar saja semua persiapan telah dilakukan dan mempelai perempuan melarikan diri? Siapa yang tak malu. Maira tahu itu semua, tetapi itulah jalan satu-satunya untuk menghentikan pernikahkan itu. Ia tak henti-henti berdoa agar keluarga di kampung diberikan kesabaran menghadapi aksinya yang nekat.

"Maira ... di mana kau. Nak?" Mama serta nenek Maira cemas berlebihan. Tujuh hari telah berlalu, dan Maira tak kujung diketahui keberadaannya.

Semua pihak telah berusaha keras mencari, siang-malam tanpa kenal lelah. Mereka pernah mencari ke tempat persembunyian Maira sebelum berangkat ke Makassar, akan tetapi tetap tak berhasil. Gadis itu cukup cerdas bermain petak umpet, siapa sangka dia pernah memenangkan lomba petak umpet ditingkat kelas kakap. Tak ada yang mengira gadis mungil seperti Maira akan senekat dan seberani itu.

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang