12. Broken Home

33 4 2
                                    

(Agustus 2009)

"Tetaplah bersikap biasa-biasa saja. Walau semuanya tak baik-baik saja."

Setelah mamanya pergi, Maira yang bertanggung jawab mengurus rumah. Mau bagaimana lagi, hanya dia satu-satunya perempuan yang tertinggal di rumah itu. Banyak tetangga yang prihatin melihat keluarga Maira. Ada juga yang menyangka perceraian orang tua Maira disebabkan olehnya, mereka menyangkut pautkan masalah terdahulu.

Maira tak menghiraukan kata tetangga, juga tak peduli jika digosipi. Menurut dia, orang-orang selalu saja cepat menanggapi walau tak tahu masalah yang sebenarnya. Dan untuk menghadapi itu semua, cukup tutup telinga serta balas dengan senyuman.

Keseharian gadis itu selama ditinggal sang mama, selain sebagai pelajar dia juga merangkak jadi ibu rumah tangga. Bukan hanya itu, dia juga bekerja di luar rumah. Keahliannya melantunkan ayat suci dengan merdu, membuat dia selalu diundang di acara-acara tertentu untuk mengaji. Dari situlah Maira bisa membantu meringankan beban orang tua dalam membiayai pendidikannya.

Di masa putih abu-abu Maira tidak pernah lagi mengikuti organisasi Pramuka atau organisasi lainnya, dia sudah tak bisa meluangkan waktu hanya untuk sekadar pertemuan organisasi tiap minggu. Dia sadar bahwa keadaan tidak lagi sama seperti kemarin. Bersekolah saja dia sudah teramat bersyukur.

"Beras udah habis, Pa." Maira menghampiri papanya.

"Beli di warung saja."

"Tapi, uang yang kemarin Papa kasi sudah habis."

"Utang saja dulu."

"Kata Tante Inna utang kita sudah mencapai batas maskimum. Jadi, udah ngga boleh ngutang dulu sebelum utang yang lalu dibayar."

"Masak saja apa yang ada di dapur."

"Udah ngga ada apa-apa di dapur, Pa."

"Coba tanya Kakakmu, barangkali dia punya uang." Maira menuruti titah papanya.

Gadis itu menghampiri Suhir yang masih terbuai mimpi indah di ranjang. Maira hadir memutus mimpi itu, membangunkan sang kakak dengan menggoyangkan tubuh pria itu.

"Kakak, bangun!"

Suhir terperanjat. "Di mana? Malingnya di mana?"

"Apa sih, Kak? Ngga ada maling kok."

"Ah, ternyata hanya mimpi." Dia kembali merebah.

"Kakak punya uang ngga?"

"Ngga ada Maira, belum gajian. Kakak capek, kamu minta di Papa aja." Suhir malanjutkan tidur, meraih guling dan memeluknya.

Maira menggerutu. "Ke Papa di suruh ke Kak Suhir. Pergi ke Kak Suhir malah di suruh balik ke Papa."

Maira menghampiri Papanya. "Kak Suhir juga ngga ada uang, Pa."

"Kamu masih punya uang, kan? Pakai itu aja dulu nanti Papa ganti."

Maira mengalah. "Yaudah deh." Gadis itu lanjut menggerutu di dalam hati. "Tahu gitu aku ngga usah minta ke sana-kemari, kan. Untung aja masih ada uang hasil kerja kemarin." Maira harus merelakan uang tabungannya untuk membeli beras. Padahal uang itu ia simpan untuk membeli buku dan keperluan sekolah lainnya.

Kaluarga Maira benar-benar berada pada situasi sulit. Andai sang ibunda berada di sampingnya mungkin dia tak merasa sesulit ini, setidaknya ada orang yang mengerti perasaannya. Maira pun pergi ke warung Barokah milik tantenya.

DANDELION (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang