Pasangan

342 47 64
                                    


***

Untuk kesepuluh kalinya, Putri kembali menguap. Tuhan tahu bagaimana usaha Putri untuk tetap terjaga tidak peduli matanya sudah seberat apa.

Dalam hidupnya, ada dua hal yang Putri tidak suka. Yang pertama matematika, dan yang kedua angka.
Gadis itu bahkan mulai berpikir untuk memasukkan Pak Trisno dalam daftar ketidaksukaannya.

Pria berkumis lebat itu merupakan ancaman bagi kenyamanan Putri di sekolah. Jika hari ini dia bisa menyeret Putri ke dalam kelas, mungkin besok. Dia akan menyeret Putri ke kandang macan.

"Sudah mengerti semua?" Seperti biasa, setelah lelah menjelaskan 'hal yang sebenernya tidak diperhatikan' banyak murid, Pak Trisno akan bertanya kepahaman muridnya.

Dan seperti biasa pula, murid-murid yang sebetulnya tidak tahu arah pembicaraan ini akan menjawab "mengerti pak!"

Pak Trisno mengangguk, entah merasa lega karena muridnya sudah paham. Atau merasa prihatin karena lagi-lagi menjadi korban penipuan.

Jika sebelumnya dia langsung pergi setelah bertanya, kali ini guru berkumis itu justru kembali menulis di papan tulis, wajah garangnya melirik Putri sekejap sebelum akhirnya kembali sibuk dengan urusan tulis menulisnya.

"Ini pasangan Matematika yang saya tentukan, pahami halaman 102. Minggu depan, setiap pasang akan saya tes satu persatu, jika ada satu yang tidak bisa menjawab. Maka keduanya dianggap gagal! Mengerti?"

Diberi tugas mendadak seperti itu, lantas membuat banyak anak di kelas terkejut, kendati begitu. Tidak ada yang berani protes karena tahu kalau itu tidak berguna.

Pak Trisno tersenyum puas, mungkin baginya. Ini adalah balas dendam paling sukses untuk menyadarkan dosa anak muridnya. Dia lalu pergi begitu saja tanpa mau dengar keluhan apapun.

Putri adalah satu-satunya orang yang paling terkena dampaknya. Pasalnya, belasan tahun dia sekolah, gadis berkulit sawo matang itu hanya tahu cara menghitung tambah, kurang, dan kali. Bahkan menghitung pembagian menurun pun, dia tidak mahir.

"Put, yang semangat ya!" Sonia, sahabatnya yang paling dekat pun hanya mampu menepuk pundak Putri yang lesu. Dia tidak bisa melakukan apapun karena namanya tida dipasangkan dengan Putri.

Putri cemberut, dia menoleh menatap Sonia yang sudah berdiri pergi menghampiri pasangan matematikanya.

Mendengus kesal, Putri menenggelamkan wajahnya di atas meja. Ia tidak berminat sedikitpun untuk mencari tahu dengan siapa dia dipasangkan. persetan! dia tidak peduli.

"Kita satu kelompok kan?"

Putri tersentak saat suara datar menusuk telinganya. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak, tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa Wisanggeni ada di dekatnya. Laki-laki yang jarang bicara itu masih berdiri dengan wajah datar menahan sabar karena harus berurusan dengan gadis yang berlangganan absen seperti Putri.

Wisanggeni Dirgantara, laki-laki yang sering dipanggil Geni itu merupakan anak emas para guru di sekolah, hal itu terjadi lantaran Geni punya kemampuan berpikir di atas rata-rata. Dia peraih juara nasional matematika berturut-turut, sekaligus yang paling tampan seantero sekolah.

Julukannya sebagai pangeran es tidak main-main, dia tidak tersentuh dan tidak bisa didekati, cara bicaranya menusuk hati. Juga sangat ambisi untuk mendapat nilai paling tinggi.

Singkatnya, Geni adalah hukuman mati bagi Putri. Karena jika sampai Minggu depan Putri gagal dalam tesnya, laki-laki ini mungkin akan mencabik Putri hidup-hidup.

"Kita.. satu.. kelompok?" Hanya itu hal pertama yang keluar dari mulut Putri. Dia masih tidak percaya bahwa guru kumisan itu tega membiarkan nyawanya dalam bahaya.

Jangan Ada Vespa Di Antara KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang