Pengampunan

179 36 6
                                    


***

Putri melambaikan tangannya pada Geni yang sudah berbelok pergi setelah mengantarnya pulang sampai depan gerbang. Gadis itu tersenyum seraya mengecek arlojinya yang menunjukan pukul 8 malam.

Hari ini, pertama kalinya Putri bersikeras merengek pada Geni untuk membawanya mengelilingi kota lebih lama. Melihat senja berubah menjadi malam dengan Geni yang membuatnya tenang. Sebetulnya hari ini Putri tidak ingin pulang.

Rumah tidak pernah jadi tempatnya untuk pulang. Rumahnya semakin menyesakkan hingga membuatnya ingin hilang.

Mendesah pelan, Putri akhirnya berbalik membuka pagar besi yang dingin, dia lalu melangkah memasuki rumah mewah itu tanpa salam atau ucapan apa-apa.

Putri menghentikan langkahnya saat tiga orang yang tidak ingin dia lihat sudah berkumpul duduk seolah memang menunggu dirinya.

"Kamu darimana saja Put?" Ayahnya yang pertama kali membuka suara, pria tinggi itu mengangkat cangkir kopinya sembari menatap Putri lurus.

"Ada urusan." Putri menjawab acuh, dia membuang wajahnya lalu kembali berjalan.

"Duduk dulu Put, Ayah mau ngomong." 

Putri kembali berhenti. "Aku capek."

"Duduk Put!" Ayahnya kembali bersuara, kali ini lebih menekan kalimatnya.

Menghembuskan napas kasar, Putri akhirnya menurut. Gadis itu berjalan mengambil posisi kosong di antara mereka. Bibirnya terkunci diam dan wajahnya menyamping tidak mau menatap satupun orang di depan.

"Put, Ayah mau kamu cerita kalau ada orang yang ganggu kamu lagi."

Perkataan itu terdengar halus di telinga Putri, ada rasa sakit dibalut rindu yang terasa berdenyut di hatinya. Kendati begitu, Putri menolak untuk percaya. Alih-alih luluh, Putri justru semakin keras.

"Semua yang terjadi sama aku, bukan urusan kalian."

"Kita ini keluarga Put, kamu ga bisa tanggung semuanya sendirian." Kali ini wanita di samping ayahnya ikut bicara, perempuan dengan status ibu tiri itu menatap Putri lembut.

Putri tersenyum kecut, gadis itu menarik napas panjang menatap perempuan itu tajam. "Aku tidak pernah jadi bagian dari keluarga ini."

"Putri, Jangan kelewatan!!"

Suara keras itu sukses membuat Putri tersentak, gadis itu menahan napas tatkala pria tinggi di hadapannya mulai menatapnya marah. Dia menggeleng pelan saat pertahanannya roboh. Satu tetes air mata akhirnya jatuh.

Putri berdiri cepat, tangannya terkepal dan napasnya memburu. Dia menelan saliva nya sembari menatap mata hitam yang mirip sekali dengan matanya. "Jangan berteriak padaku!" Putri bersuara, gadis itu menutup matanya merasakan rasa perih yang menusuk tepat di jantung. "Bahkan Bunda saja tidak pernah berteriak padaku."

"Putri.." kembali, Pria itu bersuara. Dia menatap putrinya dengan pedih. "Tapi tidak ada Bunda disini."

Kalimat rendah itu langsung membuat Putri hancur, dia menggeleng kuat kemudian berlari kencang keluar rumah, tidak peduli dengan teriakan ayahnya yang menyuruh dia kembali, Putri tetap berlari. Dia menghapus air matanya kasar sembari mengeluarkan Vespanya dari bagasi.

Dengan cepat Putri mengendarai Vespanya pergi dari tempat yang paling dia benci.

Berkali-kali Putri mengusap air matanya sambil terus menambah kecepatan Vespanya. Perjalanannya diisi dengan amarah dan luka.

Setelah mengebut seperti orang kesetanan, Putri akhirnya membelokan motornya pada salah satu perumahan di kawasan kota. Gadis bermata hitam itu lalu menghentikan motornya tepat di depan pagar putih yang sederhana.

Jangan Ada Vespa Di Antara KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang