Cemas

170 33 5
                                    

***

Putri menarik napas panjang sembari menunduk memperhatikan ujung sepatunya. Setelah pergi begitu saja meninggalkan mama tirinya, Putri tidak kembali ke kelas. Gadis itu hanya duduk di bangku lapangan merasakan hatinya yang berkecamuk tidak karuan.

Selama belasan tahun dia hidup, Putri tidak pernah mengerti dengan dirinya sendiri. Dia mencoba lari, mencoba membenci segala hal. Kendati begitu, tidak pernah sekalipun Putri merasa semuanya berakhir. Perasaannya tetap sama. Tetap sakit, tetap kecewa.

Menghembuskan napas berat, Putri mendongak saat suara bel pulang terdengar nyaring. Semua murid bersorak sembari berlari keluar. Disini Putri bisa melihat jelas bagaimana semua orang punya kehidupan yang berbeda. Ada yang sedang tertawa keras, ada yang berjalan sendiri, dan ada juga yang sedang berdebat panjang.

Semua terlihat biasa saja di mata Putri hingga sosok tinggi dengan Hoodie abu-abu membuat senyumnya mengembang.

Di sana, di lantai dua kelasnya. Terlihat jelas Geni sedang berdiri menatapnya dengan senyum tipis. Bagi Putri, pria itu sudah seperti matahari. Paling terang sampai bisa dilihat walau dalam keramaian sepadat apapun. Juga senyumnya yang selalu tulus walau tidak selebar orang lainnya.

Sekali lagi Putri tersenyum saat langkah Geni yang berlari cepat menembus keramaian. Menghampirinya, dan menemukannya.

Dengan napas ngos-ngosan dan tubuh yang membungkuk lelah, Geni menghapus keringatnya sembari menatap Putri cemas. "Kamu baik-baik aja kan?"

Putri tergelak, semua orang bisa lihat kalau Putri sedang duduk santai tanpa keringat dan tanpa napas berat. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan keadaan Geni sekarang. "Sini duduk dulu, ngapain lari-lari sih?" Putri masih tertawa sembari menepuk ruang kosong disebelahnya.

"Saya ga sabar mau ketemu kamu."

Kali ini Putri tertawa keras, terlebih saat pria yang sudah duduk disampingnya masih menatap wajahnya lekat-lekat. "Kita ini masih satu kota, satu sekolah, satu hati pula Gen, kaya baru pisah bertahun-tahun aja."

Jawaban Putri sontak membuat Geni tersadar, pria itu membuang wajahnya sembari menggosok telinganya yang terasa panas. Ada senyum kecil yang dia sembunyikan. Sejujurnya, Geni tidak terbiasa dengan hatinya yang berdebar menyenangkan seperti ini. "Bukan gitu maksud saya Put."

Putri tersenyum, dia memiringkan kepalanya mencoba menatap Geni yang masih berdehem membuang wajah. "Makasih udah khawatir, aku baik-baik aja selama ada kamu."

Jawaban lembut itu membuat Geni menoleh, pria itu ikut tersenyum lega. Selama di kelas, dia tidak bisa fokus lantaran khawatir dengan keadaan Putri di ruang BK. Jujur saja, Geni tidak familiar dengan ruangan dingin dan tegang itu.

Geni tersenyum, pria itu lalu berdiri menaikkan tasnya ke bahu sembari menatap Putri. "Saya harus bersihin toilet sekarang, kamu ga apa-apa kalau nunggu saya?"

"Aku juga ada latihan basket kok. Jadi bisa sekalian nunggu kamu."

Geni mengangguk, tangannya terangkat mengusap ujung kepala Putri lembut. "Semangat latihannya."

Tanpa mendengar jawaban Putri, Geni langsung berbalik pergi. Telinganya kembali panas dan jantungnya berdebar, selama belasan tahun dia hidup. Belum pernah dia merasa bersemangat seperti ini. Putri benar-benar membawa pengaruh segar untuknya. Bersama Putri, Geni merasa lebih berwarna. Hidupnya yang selama ini hanya seputar putih dan hitam, sekarang jadi lebih ceria. Dia lebih mudah tersenyum dan berdebar. Itu hal paling baik yang pernah dia rasakan selama ini.

Menarik napas panjang, Geni menaiki tangga menuju kamar mandi pria di lantai atas. Langkahnya terhenti saat tatapannya menangkap sosok tinggi dengan pakaian rapi dan logo OSIS yang terjahit di lengan kanan.

Jangan Ada Vespa Di Antara KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang