LIMA

34 5 2
                                    

"Ara?" Dean terperanjat saat membukakan pintu rumahnya. Dihadapannya seorang cewek dengan baju santai berdiri sambil membawa ransel yang disampirkan disebelah pundaknya. Rambut cewek itu berwarna hitam, dan panjangnya sepundak. Rambut itu terlihat cocok dengan air muka cewek itu yang terkesan cuek dan jutek.

"Hay, kak." Sapa cewek itu singkat.

"Ngapain lo kesini?" Tanya Dean heran.

Ara memutar bola matanya jengah dan mengeluarkan Flashdisk dari sakunya. "Lo nyari cewek yang namanya Raina, kan?" Ujar Ara. "Mumpung hari ini hari minggu, gue bawain nih." Dia lalu menyodorkan Flashdisk itu kehadapan Dean dan tersenyum nakal.

Mendengar nama Raina disebut, Spontan Dean hendak mengambil Flashdisk itu. Tapi belum sempat digapai olehnya, Ara sudah lebih dulu menarik kembali Flashdisk itu dari hadapan Dean.

"Nggak semudah itu." Ujar Ara dan tersenyum dengan penuh kemenangan. "Gue nggak ngasih informasi dengan gratis." Kekeh Ara.

Dean mendengus dan berpaling. "Mana abang lo?"

"Lagi beli camilan."

"Yaudah masuk dulu. Kita ngomong didalam." Ujar Dean dan melangkah pergi.

Ara tersenyum senang dan mengikuti Dean menuju kamarnya. Didalam sana Dean menyediakan dua kursi yang berada disisi meja belajarnya.

"Apa yang lo mau?" Tanya Dean sambil duduk dikursinya. Tanpa menunggu lebih lama, Ara ikut duduk dan melepas ranselnya. Ia mengetuk-negtuk meja belajar Dean dan tersenyum manis.

"Gue nggak minta yang susah-susah kok." Ujar Ara.

"Kalo lo minta yang susah juga paling nggak gue kasih. Informasi harus dibayar sama informasi, nggak lebih." Tegas Dean. Ara yang mendengar itu mendengus sebal.

Dean memang tidak perlu repot-repot memohon padanya hanya untuk sebuah informasi. Pengaruh Dean yang lumayan besar membuat apa yang Dean mau dengan mudah akan dia dapatkan. Sebenarnya Dean nggak perlu susah-susah minta tolong sama Ara hanya buat nyari tau cewek bernama Raina. Dean memilih Ara untuk dimintai tolong, hanya karena dia males minta tolong pada orang asing. Dan Ara sangat mengerti itu.

"Gue nggak minta hal lain selain informasi kok." Jawab Ara, "Gue mau tau tentang cowok bernama Brian." Ujarnya.

"Ngapain?" Tanya Dean heran. Pasalnya cowok itu adalah seniornya dan merupakan ketua klub basket SMA Adinata. Buat apa Ara nyari informasi tentang dia?

"Gue kemaren udah ngantri buat beli Diecast yang gue idam-idamkan. Pas sudah hampir nyampe ke gue antriannya, itu Diecast sisa dua. Ya gue seneng lah, soalnya gue kebagian. Gue pikir satu buat cowok depan gue, satu buat gue. Eh, ternyata itu cowok yang depan gue ngambil dua! Ya gue nggak mau lah. Gue ikutiin dia kemana-mana sambil ngerengek buat bagi-bagi Diecast yang dibeli sama dia. Tapi dia tetep nggak mau. Terjadilah perdebatan disitu. Gue nanyain buat apa dia beli dua, dia nggak mau jawab. Maksudnya tuh bilang gitu buat apa. Jadi kan ada kemungkinan gue ngalah. Tapi ini dia ngotot terus. Yaudah gue juga balik ngotot. Sampai akhirnya dia bisa jebak gue dan lolos dari jangkauan gue."

"Nah. Untungnya disitu dia make seragam anak SMA Adinata, dan gue sempet liat namanya. Gue minta tolong sama abang gue, tapi dia kagak mau ngebocorin sedikitpun tentang identitas orang itu." Ujar Ara tanpa jeda. Dean yang mendengarkan sambil mencari identitas Brian hanya menanggapi dengan anggukan-anggukan ringan.

"Kenapa Rafael nggak mau ngasih?"

"Dia bilang, dia nggak mau gue suka sama itu cowok." Dengus Ara. "Padahal kan niat gue bukan buat ngegebet dia. Gue cuman mau mintain Diecast gue yang limited edition itu! Karena itu gue butuh identitasnya!"

Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang