SEMBILAN

34 4 0
                                    

"Kak Brian?!" Rafael yang sedang berada diruang Osis terperanjat saat melihat Brian datang. Dengan sigap Rafael menarikkan sebuah kursi, dan mempersilahkan Brian duduk.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo." Ujar Brian seraya melepas ranselnya dan meletakkannya diatas meja.

"Iya, kak. Tanya aja." Jawab Rafael gugup.

"Apa hubungan Dean sama Raina?" Pertanyaan yang dilontarkan Brian sukses membuat Rafael mematung. Bagaimana mungkin seniornya itu tau tentang Raina? Sambil beringsut duduk, Rafael membuka laptop sekolah dan membuka biodata Raina, lalu menyodorkannya pada Brian.

"Namanya Raina Hadynata. Dia kelas 3 SMP Adinata. Kita awalnya nggak tau apa-apa. Tapi Dean sering mergokin Raina ngerjain tugas hukuman. Karena Dean terlalu sering liat, dia akhirnya curiga dan mencari tahu lebih lanjut. Benar aja, Raina ternyata di pake oleh beberapa murid kelas 1 SMA Adinata, sebagai joki buat nuntasin hukuman yang mereka males ngerjain. Sejauh ini tebakan kita yang ngelakuin itu pertama kali adalah murid bernama-"

"Jane." Tebak Brian sebelum Rafael sempat menyebutkan nama itu. Rafael terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa atas ketelitian seniornya itu.

Rafael lalu mengangguk menanggapi jawaban Brian. "Dan ini identitasnya." Ujar Rafael seraya membuka biodata Jane dilaptopnya. "Dia punya 5% saham di Adinata."

"Dia?" Ujar Brian dengan alis terangkat. "Bukan orang tuanya?"

Rafael meneguk salivanya gugup. Padahal dia hanya salah bicara sedikit. "Maaf kak. Maksudnya orang tuanya."

Brian lalu menganggukkan kepalanya dan menjauhkan laptop dari hadapannya. Dia lalu menyedekapkan kedua tangannya didada dan menghembuskan napas pelan.

"Punya saham segitu aja belagu." Dengus Brian. "Terus? Dean nggak ngambil langkah apa-apa buat nanganin masalah ini?" Tanya Brian seraya menatap Rafael dengan penuh intimidasi.

Mendengar itu Rafael menggeleng. "Bukannya dia nggak ngelakuin apa-apa. Dean cuman nunggu waktu yang tepat aja. Lagipula dia belum punya bukti. Kalo pun dia makai Raina buat bersaksi atas kelakuan mereka, ada kemungkinan orang-orang itu tambah ngeganggu Raina sampai ke level yang nggak wajar. Jadi alih-alih ngelaporin, Dean lebih milih jalan ngelindungin Raina dari belakang. Makanya sejak beberapa hari lalu mereka mulai dekat. Soalnya itu salah satu rencana Dean buat mastiin Raina aman."

Brian tersenyum puas saat mendengar penjelasan dari Rafael. "Gue nggak salah ngasih posisi gue ke Dean." Ujar Brian bangga. "Lo tau, kenapa gue milih dia kemaren? Karena gue lihat tujuan gue dan dia itu sama... Sama-sama pengen ngerubah sekolah ini jadi lebih baik, luar dalam."

Brian lalu berdiri dan mengambil ranselnya. "Makasih udah ngeluangin waktu lo, Rafael. Gue bakal ikut andil sama masalah ini."

"Nggak usah kak!" Protes Rafael cepat. "Kakak mau ujian kelulusan. Kakak fokus aja. Biar kita yang urus."

Brian menatap Rafael lalu menggeleng, tidak menyetujui pendapat adik kelasnya itu. "Adek kelas gue lagi kesulitan, masa gue nggak bantu?" Ujar Brian seraya menaikkan sebelah alisnya. "Lagian supaya masalah ini selesai, gue harus ikut campur. Kita harus nyelesain ini secepatnya supaya enggak ganggu Raina yang juga mau ujian. Kasian dia. Gue sih yakinnya meski udah dilaporin, pengganggu, ya, bakal tetap ganggu kalo dia nggak dibikin kapok. Paling Raina berada dalam posisi aman sampe ujian selesai aja. Seterusnya, nggak ada yang jamin dia nggak bakal digangguin lagi, kan?"

Benar juga... Ini aja adalah gangguan kedua yang Raina alami selama sekolah disini. Buat menghentikan gangguan itu, mungkin Brian memang harus turun tangan...

"Lo udah mastiin nggak ada anak lain selain Raina, yang di gangguin?" Tanya Brian.

"Menurut informan terpercaya gue, enggak ada kak." Ujar Rafael sambil tersenyum.

Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang