Bab 5

40 11 2
                                    


Yuhu ... abwang Vierre di sini

OoO

Sudah dua hari ini Ash tidak masuk sekolah, katanya dia sedang sakit. Mungkin gara gara Syok mengetahui fakta, bahwa dirinya adalah seorang pemilik kekuatan besar, keturunan putra dan putri ketujuh.
Bukankah itu luar biasa, gue justru sangat bersemangat mengetahui bahwa gue juga adalah salah seorang manusia terpilih yang diberikan keistimewaan berupa kekuatan besar.

Gue memanaskan mesin Vespa terlebih dahulu si motor metic yang sengaja gue beri nama Vespa biar terlihat beda dari yanga lain.
Motor ini benar benar berarti bagi gue, sudah banyak prestasi yang dia ukir, seperti tahun lalu dia juga berhasil memenangkan balapan yang diadakan oleh anak anak Katulistiwa, meskipun bukan gue yang mengendarainya, tapi gue tetep bangga.

Setelah dirasa cukup, gue akhirnya melaju bersama Vespa menuju rumah Ash yang berjarak beberapa blok saja dari rumah gue yang super duper mewah ini.

Gue menarik nafas dalam dalam udara pagi ini terasa sejuk menyentuh kulit, orang orang mulai bersiap untuk bekerja serta tak mau ketinggal para anak anak ataupun remaja mereka sudah bersiap untuk ke sekolah.

Terkadang gue iri pada mereka yang memiliki orang tua yang selalu siap memberikan kasih sayang untuk anak anaknya, saling berbagi cerita, serta selalu memiliki waktu bersama.

Berbeda dengan gue, yang memiliki orang tua gila kerja, yang bahkan untuk pulang ke rumahpun mereka enggan sampai lupa kalau sebenarnya mereka masih punya anak yang membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagi sosok orang tua.

Gue emang terkadang bersikap absurd dan rada gila, namun semua itu cukup membuat kesedihan gue teralihkan, dan setidaknya dengan cara itu gue bisa bahagia.

Oke lupakan sisi kemelankolisan gue, karena kita udah sampai di depan rumahnya Ash, gue nggak mau sampai kebablasan curhat kekalian, karena itu bukan tabiat gue.

Seorang satpam sedang duduk di posko penjaga sambil menikmati segelas kopi yang masih mengepul. Dia juga terlihat asyik dengan radio jadul yang berada di samping kakinya yang di naikkan ke meja, bahkan kehadiran gue yang tampan ini sama sekali tidak disadarinya.

"Permisi pak." Sapa gue sopan, tanpa disangka Satpam itu terlonjak, untuk saja dia tidak sedang minum karena jika demikian dapat dipastikan dia akan tsrsedak.

"Eh iyya." Buru buru dia menurunkan kaki dari meja dan duduk dengan tegak, dadanya terbusung dengan netra yang menatap lurus kedepan, tak lupa tangan kanan yang bertengger dikening.

Lucu. Gue mati matian menahan diri untuk tidak cekikikan, gue ngga mau dicap sebagai anak yang kurang ajar, padahal bisa dikatakan gue udah capek diajar apalagi oleh guru sinden yang spesisnya sebelas dua belas dengan Ibu Rahma.

"Pak, Ashnya ada?"

"Es? Maaf den saya tidak menjual es."

Mampus, gue menepuk jidat. Bukan itu yang gue maksud.

"Pak saya bukan cari es, tapi saya cari Ash A-S-H," terangku, semoga saja dia mengerti. Lagian Ash kenapa sih penyebutan namanya harus es, emang dia es balok apa, atau jangan jangan dia adalah saudaranya Olav si boneka salju di Film Frozen yang keluar ke Dunia nyata.

"Ooo ... enneng Ash."

Emang dari tadi gue juga bilang cari Ash bukan es balok, dia aja yang salah kaprah. Pemirsa tahan gue lama lama gue gemes buat congkel tu bola mata dari tempatnya. Untung hari ini kesabaran gue sedang ekstra, kalo kaga udah gue gedeg ni orang.

"Iyya Pak." Gue mengangguk berusaha mempertahankan mode sopan, sebagai pencitraan agar tidak dicap buruk.

"Itu dia ennengnya." Gue mengikuti arah yang ditunjuk oleh pak Satpam, dan benar saja disana sudah ada Ash yang berjalan kemari, rambutnya terurai meliuk tertiup angin, ini seperti adegan yang dislow metion, cantik. Satu kata itu tiba tiba saja keluar dari persembunyiannya.

"Siapa yang cantik?" Ash menatap gue tajam, tajam banget malah udah kaya silet aja. Tapi untungnya tubuh gue terbuat dari bahan baja yang diimpor dari luar negeri, jadi nggak perlu takut ama silet.

"Budeg."

"Apa, lo bilang gue budeg?" Ash makin tajam menatap gue. Aduh pipi gue, ya Allah tolonglah hambamu yang imut ini.

"Enggak, gue bilang Bu de tadi, lo aja yang budeg." Gue menepuk jidat dalam hati berdecak, Vierre kenapa harus budeg lagi sih.
Oke mulai hari ini gue bersumpah demi ketampanan gue, budeg itu adalah pembawa petaka.

Ash menarik nafas dalam kemudian memundurkan mukanya yang berjarak hanya beberapa meter dari muka gue. Dan hal itu membuat gue bisa bernafas dengan normal kembali, setelah beberapa saat tertahan.

"Lupain, lo ke sini ngapain?"

"Jenguk lo, katanya lo sakit. Tapi karena sekarang udah sehat, jadi anggap aja gue kesini buat jemput lo."

Ash mengangguk, kemudian melangkah mendahului gue. Kebiasaan.

"Pak saya berangkat dulu ya pak." Setelah berpamitan, gue akhirnya mengikuti Ash yang sudah berdiri di samping Vespa.

"Ini motor lo?"

"Namanya Vespa, jangan tanya lagi keburu telat." balas gue sembari memasang helm semua umat.

Ayo Vespa tunjukin kemampuan lo, jangan malu maluin gue kita lagi PDKT ni.

"Lo udah siap?"

"Siap."

Oke Vespa kita berangkat.

...

Gue menumpuk tangan di atas meja kemudian menidurkan kepala disana, meski tidak senyaman dengan kasur empuk di rumah, tapi ini cukup menggoda mata gue untuk terpejam, dari pada harus memperhatikan Bu Rahma menjelaskan di depan sana dengan gaya sindennya.

Rasanya baru beberapa detik gue mengistirahatkan mata, namun sudah ada saja massa yang meninindih punggung gue secara ilegal, yang gue prediksi itu adalah sebuah buku dengan jumlah halaman tidak kurang dari tiga ratus, dan pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Sinden.

"Vierre, kenapa kamu tidak memperhatikan Ibu menjelaskan?!"

"Saya memang tidak memperhatikan Bu, tapi telinga saya masih mendengarkan." Gue beralibi. Tapi gue nggak yakin kalo Bu Rahma akan percaya gitu aja.

"Alassan."

Gue maralat perasangka gue yang mengaggap Bu Rahma sebagai guru sinden yang penuh dengan kelemah lembutan. Karena nyatanya jika sudah marah begini, dia terlihat begitu menyeramkan dan lebih mirip dengan guru killer kelas kakap. Horor.

"Ibu punya pertanyaan, jika kamu berhasil menjawabnya dengan benar Ibu akan membebaskanmu dari hukuman. Tapi kalo salah, WC menunggumu," tantang Ibu Rahma sembari memukul mukul telapak tangannya pelan dengan buku.

Dengan kepercayaan diri serta keyakinan di hati, gue percaya sekaligus yakin kalo gue bisa menjawab pertanyaan Ibu Rahma dengan benar, semoga aja.

Otak gue serahin tugas ini ke ello, lo pasti bisa Tak. Semangat.

Gue menyemangati diri sendiri. Ini udah kayak mau lomba maraton aja.

"Untuk bisa bertahan hidup manusia mempunyai beberapa komponen yang dibutuhkan, sebutkan salah satunya!"

Ha!!! Pemirsa Gue kaget, pertanyaannya cuman itu?
Ini mah anak baru lahir juga bisa jawab dengan mudah, seandainya dia bisa bicara.

"Nyawa," jawab gue cepat tanpa pikir pendek.

Gue menunggu interaksi apa yang akan dilakukan oleh Bu Raham.

Satu detik, semua nampak tenang, dua detik, semua masih diam, tiga detik ....

Bersambung ....

#typo bertebaran
#author pemula

Kira kira apa yang akan terjadi dengan Vierre didetik ketiga?


Wonderland (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang