Begitu berat badanku telah berpindah secara sempurna dari lantai ubin ke dalam portal, sensasi mendebarkan langsung menyambutku dengan penuh suka cita.
Tubuhku merosot dengan cepat kedalam jurang, menimbulkan efek buruk pada kinerja jantung yang mulai berpacu. Suaraku tercekat di kerongkongan serta tangan seakan mati rasa seiring dengan rasa dingin yang mulai menjalar dan membekukan semua persendian.
Menarik nafas pelan di tengah adrenalin yang berpacu. Aku berusaha menguasai diri, meraih apapun yang sekiranya bisa kujadikan pegangan. Setidaknya sampai seseorang datang menyelamatkanku. Namun karena tempat ini terlalu gelap, membuat tanganku gagal menemukan pegangan yang pas.
Sekitar dua menit berlalu, akhirnya sensasi jatuh dari ketinggianpun berakhir dengan bokongku yang mendarat kurang mulus pada benda keras, yang sukses membuatku meringis kesakitan.
"Shshsh."
Dokter Ronan bilang baju zirah ini akan melindungi tubuh kami dari luka, tapi sepertinya aku mulai mempertanyakan kebenaran dari ucapan Dokter. Karena nyatanya jatuh dari ketinggian masih bisa membuat bokongku terasa kebas aku juga tidak yakin, apakah baju ini mampu melindungi kami dari gesekan pedang mengkilap yang bisa saja kami hadapi.
Menyeramkan, itu adalah kesan pertama yang aku tangkap dari tempat ini. Selain karena bau tanah yang begitu menyengat, di sini juga begitu lembap dan gelap. Bahkan, seberkas cahaya pun sepertinya juga enggan menjamah tempat ini.
Stiv mengeluarkan senter otomatis dari ransel, membuat kegelapan berangsur-angsur menghilang walaupun tidak sepenuhnya, setidaknya kami sudah bisa melihat keadaan sekeliling.
Jantung yang masih bertingkah abnormal kali ini semakin menjadi, begitu netraku berhasil menangkap sebuah penampakan tulang-belulang manusia yang berserakan. Namun keterkejutanku tidak hanya sampai disitu, karena tiba-tiba tulang yang tadinya berserakan kini perlahan bergerak dan menyatu dengan anggota tulang lainnya hingga membentuk sebuah kerangka, dan itu bukan cuman satu tapi berpuluh-puluh tengkorak memenuhi sekeliling membuat kami terpojok pada dinding jurang.
"Stiv, Vi ... Vierre," panggilku terbata, air mataku sudah mendesak keluar. Aku takut. Tubuhku berguncang hebat hingga menimbulkan suara gesekan besi dari baju zirah yang ku kenakan. Bahkan Stiv dan Vierre yang sedari tadi nampak tenang, kali ini keduanya juga terlihat sama paniknya denganku.
"Oke, tenangkan diri kalian." Stiv mencoba mengusir ketegangan dengan kalimatnya, namun itu sepertinya tidak berguna melihat ancaman di hadapan kami jauh lebihnya nyata dibanding kalimat penenang yang justru hanya seperti angin lalu.
Meskipun dalam keadaan genting seperti ini, untung saja insting mempertahankan diriku masih bisa bekerja dengan baik, tanganku dengan sigap memegang gagang pedang yang tersampir dipinggang siap dihunus, jika sewaktu-waktu bahaya menyerang.
GUARDDD ....
Terdengar raungan memekakkan telinga, bahkan membuat tanah tempat kami berpijak bergetar yang hampir saja membuatku kehilangan keseimbangan jika aku tidak dengan sigap berpegangan pada tebing, yang justru membuatku nyaris tertimpa runtuhan bebatuan. Sialan.
Raungan itu seolah menjadi sebuah kode etik, karena beberapa detik setelah raungan itu mereda tengkorak-tengkorak yang jumlahnya tidak terhitung langsung menyerang kami secara membabi buta, aku yang memang sudah siap lantas segera melompat menghindar.
Jantungku memompa semakin cepat, aliran listrik dalam tubuhku terasa berdesir aneh, perasaan takut yang semula membuat tubuhku bergetar berangsur berganti menjadi sebuah spektrum yang seolah memberi asupan semangat untukku. Baiklah jika kalian ingin bermain.
Tanganku teracung, menghalau serangan dari_ ah disebut tengkorak saja tidak cukup untuk menggambarkan mereka, baiklah aku akan menyebutnya idiot. Ya ... itu terdengar sangat cocok.
"Idiot ... bolehkah aku menyebut kalian dengan sebutan itu, sepertinya itu terdengar begitu cocok untuk kalian pecundang," ungkapku sambil terus mengayunkan Tamara dengan tidak kalah brutalnya kepada para idiot itu. Jika mereka memiliki wajah, dapat dipastikan wajah mereka sudah memerah menahan amarah saat ini.
Meski seranganku terlihat asal-asalan menebas kesembarang arah, tapi diam-diam aku sedang membaca bagaimana sepak terjang lawanku saat ini, bagaimana kecepatan, serta teknik apa yang dia gunakan. Salah-satu modal penting dalam bertarung adalah mengetahui pergerakan lawan dan temukan titik lemahnya, begitulah yang diajarkan Dokter Ronan dan saat ini aku sedang berusaha untuk menerapkannya.
Aku tidak boleh terlihat ketakutan, itu sama halnya dengan memamerkan kelemahan di depan lawan. Air mata yang sedari tadi mendesak keluar, entah sejak kapan mulai mengering padahal tadinya untuk berdiri saja kakiku terasa lemas. Mungkin ini adalah salah-satu abbilityku, semakin terdesak maka aku akan semakin kuat.
Tamara beradu dengan pedang para idiot yang berusaha aku tahan, sepuluh banding satu bukan lawan yang sepadan. Tubuhku terdorong mundur, sampai menempel di dinding tebing yang mulai retak akibat tekanan kuat yang diterimanya.
"Keparat!"
Dengan gerakan secepat kilat, aku melompati kepala para idiot itu dan mendarat tepat di belakang mereka, sebelum menyadari posisiku tamara sudah lebih dulu terayun menebas satu persatu leher meraka yang langsung mendarat dengan ganas di tanah.
Awalnya kufikir akan sangat sulit untuk melumpuhkan mereka, tapi ternyata untuk mematikan mereka saja sama mudahnya dengan memakan kacang.
Aku berbalik hendak membantu yang lain, sebelum sesuatu menghantam belakang kepalaku dengan sangat cepat, membuat tubuhku seketika limbung ke tanah. Namun sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, bola mataku berhasil menangkap sebuah figura wanita bertudung yang menghalau serangan para idiot itu agar tidak lagi melukaiku, hanya itu yang kutangkap sampai kegelapan menguasai alam sadarku.
Bersambung ....
#penulis amatir
#jangan lupa tinggalkan jejak
#jadilah pembaca yang budimanHalo reader ... sorry ya cerita wonderland dah lama vakum, soalnya Didip juga lagi cari inspirasi untuk kelanjutan cerita ini. Karena ini adalah kali pertamanya Didip buat cerita Fantasi jadi maaf aja kalo penggambaran ketegangannya masih amat kurang ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland (Hiatus)
FanfictionAsh adalah seorang gadis tanpa darah, yang memiliki 2 jantung yang berfungsi menghasilkan energi kedalam tubuhnya. Dan semua itu tidaklah lepas dari seorang profesor yang biasa dipanggil Bang Ronan. Namun, semua itu bukanlah tanpa alasan. Ash adalah...