Temuan

477 63 29
                                    

Satu bulan kemudian

Arsyad meninggalkan rumah megahnya dengan perasaan riang dan penuh semangat. Sudah sejak satu bulan terakhir, kesibukan di rumah sakit sebagai dokter spesialis bedah anak membuatnya sama sekali tidak bisa menikmati kesegaran udara pagi dengan bersepeda melintasi jalanan beraspal yang membelah hijau dan luasnya perkebunan teh di sekitar tempat tinggalnya. 

Hari ini ketika akhirnya ia bisa libur, Arsyad hanya ingin menikmatinya dengan menghirup oksigen bersih yang tidak terkontaminasi bau-bauan obat selayaknya di rumah sakit. Serta menikmati pemandangan yang menyuguhkan sensasi relaksasi.

Malang memang kota terbaik. Sudah sejak setahun ia pindah, Arsyad semakin betah dengan tempat barunya yang menjanjikan iklim sejuk dan tenang ini. Tinggal di vila mewah yang jauh dari pemukiman warga seorang diri dan tak mengenal kebisingan yang lazim ia dapati di tempatnya dulu tinggal ... yah, Arsyad tidak memiliki sanggahan apa pun kalau ini memang surga yang tepat dan selama ini ia cari.

Tiga puluh menit mengayuh, Arsyad akhirnya tiba di salah satu ujung bukit. Dan di saat bersamaan itu pula, sepasang telinganya juga mendengar suara samar meminta tolong dari kejauhan. 

Arsyad mengerem sepedanya dan berhenti. 

Mengambil napas setengah tersengal lalu menyeka keringat yang turun ke pelipis menggunakan selembar handuk kecil yang ia bawa dari rumah, Arsyad berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Tolong...!"

Suara itu kembali terdengar dan semakin jelas. Tidak salah lagi, itu adalah suara seorang wanita. Namun Arsyad tidak mendapati siapa pun di sekitar sana, bahkan di seluas kejauhan matanya memandang, perkebunan itu sangat lengang dari keberadaan manusia seolah-olah ia adalah satu-satunya manusia yang tinggal di sana. 

Ke manakah para ibu-ibu pemetik teh itu pergi? Apa ini bukan hari memetik pucuk teh?

Apa suara hantu ya? Secepat pemikiran konyol itu melintas di benak Arsyad, secepat itu pula ia menggeleng dan menepiskannya. Apaan sih gue.

"Tolong ... siapa pun di sana ... tolong...!"

Dokter tampan itu menelan ludah dan akhirnya turun dari sepedanya setelah yakin dirinya menemukan asal sumber suara. 

Arsyad masuk ke perkebunan melewati jalan setapak di antara rapatnya pohon teh yang ditanam. Mengambil langkah sangat hati-hati dan teliti. Berharap sepatunya tidak menginjak binatang berbahaya atau terselip di tanah yang tidak bisa dilihatnya secara jelas karena tertutup rumput.

"Tolong...."

Semakin jauh Arsyad memasuki kebun, suara itu semakin jelas terdengar sebelum akhirnya benar-benar terlihat siapa pemilik sumbernya. Seorang wanita menelungkup di antara rimbunnya pohon-pohon teh, dengan luka memar dan lecet di beberapa bagian tubuhnya yang terekspose termasuk wajah. 

"Astagfirullah!" Arsyad terpekik spontas dan segera menyongsong wanita itu. "Mbak kenapa?"

"Tolong saya...." Suara itu merespons sangat lemah. Namun ketika melihat Arsyad mengeluarkan ponsel, ia masih sanggup mengulurkan tangan seakan-akan ingin merebut ponsel itu dari tangan pemiliknya.

"Saya akan menghubungi ambulans, Mbak."

"Jangan telepon ambulas atau polisi."

Kamu Surgaku (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang