Lembaran Baru

443 52 20
                                    

Sepuluh bulan kemudian

Kenzo menutup pintu bagasi mobilnya setelah memasukkan semua barang. Lantas menjemput Ellan yang masih dalam gendongan Asti.

"Saatnya kita pergi, Sayang," dendang Kenzo sembari memindahkan Ellan ke gendongannya.

Asti hanya bisa memberengut sekarang, begitu juga dengan Kunti yang dengan berat hati menyambut jabatan tangan Keyta dan Kaliandra yang memohon pamit.

"Sering-sering ajak anak-anak pulang ke sini ya, Nak?" Kunti mengusap sayang kepala Ellan yang sudah menyandarkan kepala manja ke dada Kenzo. 

Sulit sekali baginya untuk merelakan menantu dan para cucunya itu pindah meninggalkan rumah yang selama ini menjadi istana kebahagian mereka, terlebih sudah sepuluh bulan ia menemani Ellan tumbuh. 

Bayi itu kini sudah mulai belajar berjalan dan bicara. Tingkah polosnya yang lucu dan menggemaskan tak jarang menimbulkan gelak tawa, dan sudah tentu mampu menjadi hiburan tersendiri selama ini—yang pasti akan sangat dirindukan para kakek dan neneknya bila akhirnya ia harus diajak pergi.

"Insyaallah, Ma. Kami akan datang saat senggang." Kenzo menyalami mertua dan orang tuanya bergantian.

Saat tiba gilirannya menyalami Ardi, Kenzo bisa merasakan cengkeraman tangan pria itu lebih kuat ketimbang biasanya, bahkan menepuk bahunya dengan tatapan serius.

"Semoga Papa tidak terlalu cepat mengatakan ini. Tetapi, kalau kamu sudah siap membuka hati untuk calon ibu baru bagi anak-anak, Papa ikhlas kamu menikah lagi."

Kenzo mengulum senyum. Berusaha menahan tangan Keyta dan Kaliandra yang sudah menyeretnya tidak sabar untuk pergi. "Kenzo tidak berniat untuk menikah lagi, Pa."

"Jangan gitu, kamu masih muda. Anak-anakmu pastinya juga membutuhkan ibu."

"Kenzo akan jadi ayah sekaligus ibu bagi mereka. Kenzo pamit, Pa." Kenzo menukas final diiring senyum tulus yang membuat Ardi terpaksa ikut tersenyum walau getir meremas hatinya. Bagaimana ia tidak menyayangi Kenzo setengah mati kalau menantunya itu ternyata memiliki cinta sebegitu dalam pada Tania, yang ia sendiri sebagai ayahnya, kini bahkan sudah merelakan kepergiannya?

"Kalau Mama sama Papa butuh apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya." Kenzo menambahkan bertepatan dengan pukulan keras Keyta mendarat tepat di pantatnya.

"Pa, ayooo! Tadi katanya suruh cepetan. Kenapa sekarang malah Papa yang lambat banget? Aku udah pegel nih dari tadi nungguin Papa ngomong nggak selesai-selesai."

Keyta tetaplah Keyta, yang kalau sudah bicara tak ada titik koma. Kendati pada akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah bertepatan kenaikannya ke kelas dua—lantaran semua guru mengaku tak sanggup lagi menghadapinya, Kenzo tetap bersyukur, putri cantiknya adalah gadis kecil yang ceria.

Bisa dikatakan, Keyta adalah sumber penyemangat terbesar bagi Kenzo saat dia berada pada titik terendah kehidupannya. Alih-alih terlarut dalam kesedihan sebagaimana dirinya saat harus menerima kenyataan bahwa Tania telah dinyatakan pergi selamanya, Keyta justru hanya menangis sebentar dan mengatakan kepada Kenzo bahwa mereka semua harus banyak tersenyum.

"Papa jangan sedih terus, 'kan Papa masih punya Keyta, Kaliandra, Ellan, kakek, sama nenek. Kalau Papa sedih terus, nanti mama ikutan sedih di sana. Papa nggak kasihan sama mama? Kalau di sana mama sedih, nggak akan ada yang menghibur."

Kamu Surgaku (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang