Empat

106K 7.1K 95
                                    

Hingga makan malam tiba, rasa dongkol ku pada Arjuna masih saja belum hilang. Sering absen? Apa nya yang sering?! Aku bahkan hanya izin sekali karena waktu itu aku kesakitan akibat tamu bulanan. Dan hal itu saja sudah membebaskan dia untuk berceloteh pada Ibu seenak nya.

Aku menatap menu makan malam kali ini dengan gusar. Lezat nya ayam semur favoritku seolah tak mempan mengenyahkan kedongkolanku akibat ucapan Ibu mengenai Arjuna.

"Kak, makanan itu di makan, bukan di mainin gitu. Pamali. Itu rezeki, sayang."

Teguran lembut dari Ayah setidak nya bisa sedikit memadamkan kobar kejengkelan di hatiku. Berbanding terbalik dengan Ibu, Ayah ku merupakan sosok paling sabar, kalem dan lembut yang pernah kutemui di muka bumi.

Beliau bahkan tak marah ketika aku menghilangkan berkas penting sekolah tempat nya mengajar kala itu. Justru Ibu yang ngomel nya tak berhenti bahkan sampai tiga hari berikut nya.

"Maaf, Yah." sesalku lantas menyuap sesendok nasi, ayam beserta wortel yang turut di jadikan pelengkap semur.

"Anakmu itu Mas. Mau kabur dari kampus. Pasti lagi ada masalah."

Aku tersedak nasi yang sedang ku kunyah karena ucapan Ibu. Ya ampun Buuuu, tega banget sama anak. Lagi makan iniiii!!!

Alis Ayah bertaut bingung. "Kakak lagi ada masalah? Kok nggak cerita sama Ayah hm?"

"Nggak kok Yah. Kakak nggak ada masalah. Ibu ngawur tuh." elakku setelah berhasil meneguk segelas sirup jeruk.

"Kabur itu nggak akan menyelesaikan masalah, Kak."

Lagi, Ibu justru menambah kedongkolanku dengan kata-kata nya.

"Kakak ngg...."

Ucapanku terhenti karena interupsi ketukan pintu yang terdengar malam ini. Aku berdecak. Siapa sih orang yang bertamu malam-malam begini?! Dasar tidak tahu waktu!

Dengan membawa kejengkelan, aku pun beringsut menuju ruang tamu. Sumpah, siapapun yang akan jadi tamu nanti, kusumpah serapahi dia!

"Sia..." bentakanku lagi-lagi diinterupsi. Bukan oleh suara ketukan, melainkan karena seraut wajah datar yang kini menatapku sambil menaikkan sebelah alisnya. Dasar ganteng! Ini jelas sekali ganteng, bukan sok ganteng lagi. Sudah kubilang kan kalau wajah si Arjuna Wiwaha yang kini berdiri menjulang di hadapanku itu nyaris menyentuh kata sempurna?

"Pak Arjun."

Kudengar desisannya ketika lagi-lagi aku lupa untuk memanggilnya dengan panggilan 'Mas'.

"Jangan mancing emosiku, Andrea."

Aku mencebik kesal. "Mas ngapain malam-malam bertamu? Ini tuh masih jam makan, tauk!"

Arjuna tersenyum tipis, amat tipis. Sial! Tipis banget aja ganteng nya bikin dewa yunani malu, apalagi kalo senyum nya tebel(?)

"Mas kesini justru mau makan malam bareng sama kamu, Ayah dan Ibu." tutur nya tanpa dosa.

Aku terperanjat kaget. "Eh, nggak ada! Udah selesai..."

"Siapa Kak?" aku memejamkan mata. Ya ampun, kenapa kondisiku kejepit gini sih?!

"Ya ampun nak Arjun."

Bisa kalian tebak kan bagaimana sumringah dan heboh nya nyonya Ester kalau sudah berhubungan dengan si Arjuna? Lihat, bahkan Ibu saja sudah memeluk Arjuna seperti seorang Ibu yang sudah bertahun-tahun tak bersua dengan anak kesayangan.

"Ibu sehat?"

Tuh tuh tuh! Sejak kapan pula suara Arjuna jadi selembut beledu gitu? Kalau sama aku, jangan ditanya. Yang ada cuma sinis, ketus, ngamuk, modus.

"Ck, gangguin rumah orang aja sih!"

Sebuah jitakan mampir cantik di ubun-ubunku. Dengan kejam nya, Ibu justru menyayangiku dengan sapaan lembut jemari nya.

Aku pengen nangis rasanya ketika melihat raut galak Ibu dan juga senyum penuh ejekan dari bibir Arjuna.

"Sopan dikit, Kak! Ibu nggak pernah ajarin kamu begitu."

Aku yang sudah kepalang malu dan kesal memilih berlari menuju kamar dan mengunci diri di sana. Bahkan Tabi, boneka anjingku jadi sasaran samsak kekesalanku.

"Dasar om-om tua! Muka dua! Caperan!" aku yakin sih kalau sekarang aku mirip banget sama orang gila karena ngomel-ngomel sambil nangis sendirian. Terus terang, hal apapun yang berhubungan sama Arjuna itu bikin aku naik tensi. Belum lagi Ibu, yang harus nya bela aku, justru malah pindah haluan hanya karena sebuah sapa lembut dan juga cium tangan takzim dari si laki-laki muka dua yang aku yakini sedang memakan masakan Ibu dengan Ibu yang tak berhenti menyodorkan semua lauk yang ada di meja makan, serta dapur. Bahkan kalau pantas pun, semua isi kulkas juga bakal Ibu berikan secara ikhlas dan eksklusif hanya untuk Arjuna.

"Mati aja lo. Kecebur sana di empang. Kepleset di kamar mandi. Arjuna begoooo." jeritku teredam karena menelungkupkan wajah pada bantal berbentuk hati kesayanganku.

Kenapa sih semua orang bisa dengan gampang nya jatuh hati sama sosok Arjuna? Kenapa cuma aku yang selalu naik tensi kalau dekat-dekat dia? Dan kenapa juga Arjuna itu cuma menyebalkan dan diktator kalau dengan ku?

Aku tersedu di atas bantal. Memikirkan kapan  waktu nya aku bisa terlepas dari jerat om-om tua itu. Tapi kalau dihitung peluang nya, kecil harapan ku untuk terbebas dari belitan Arjuna. Belum lagi Ibu yang sangat mendewakan si Arjuna.

Aku lagi-lagi hanya bisa memukuli Tabi sebagai penyalur emosi. Ya Tuhan, bisa nggak sih kalau si Arjuna ditukar tambah saja dengan pangeran Brunei yang tampan itu?

🍁🍁🍁🍁

Maaf up nya malem dears. UTS online bener2 menyita waktu😭 nggak enak banget apa2 online. Bikin mata minus😂
Buat yang minta aku up TDOL, sabar sebentar ya sayang. Lucy sama daddy Damian lagi dalam proses ketik😘

22 April 2020

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang