Tiga hari sudah aku absen dari kegiatan kampus karena demam tinggi yang mendadak menyerangku. Sepulang dari restoran tempat terjadi nya permasalahan sore itu, hingga detik ini, aku mengabaikan seluruh panggilan serta chat dari Arjuna yang terus meramaikan gawai ku.
Aku bahkan berusaha keras membujuk Ibu untuk mengusir Arjuna secara halus dengan dalih kalau aku sedang ingin beristirahat total tanpa gangguan sedikitpun.
Dan hari ini, keadaanku sebenarnya sudah membaik, namun karena hari ini bertepatan dengan jadwal Arjuna mengajar statistika di kelasku, aku memilih untuk sekalian saja tidak hadir. Nggak munafik, aku masih sakit hati pada kata-kata nya tempo hari.
Sedang sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer, gawai ku yang sejak pagi tadi ramai sekali oleh notifikasi dari Arjuna, kini kembali ramai oleh bunyi nada dering setelah sebelumnya tenang selama beberapa jam.
Aku melirik jam waker di atas nakas. Pantas saja gawai ku ramai lagi, rupanya kelas Arjuna sudah selesai beberapa menit yang lalu.
Memilih acuh, aku lantas menuju ke dapur untuk sekedar membuat teh hangat dan mencari kudapan untuk acara santai sore ku. Kegiatan nongkrong sore ku memang sangat sederhana kalau boleh kubilang.
Aku cukup membawa teh dan jajanan, lalu aku bisa duduk manis di belakang rumah ku yang tepat berhadapan dengan areal persawahan milik warga sekitar.
Aku memang bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya raya, tapi bukan pula berasal dari keluarga yang amat kekurangan. Rumahku bahkan hanya sebuah warisan dari nenek dan kakekku yang kini ditempati oleh aku dan keluarga.
Tidak ada yang mahal, namun kegiatan melepas penat sore hariku terasa istimewa karena sejuknya angin sore dan indah nya bentangan padi yang tertanam rapi. Masa tanam kembali adalah masa yang paling aku sukai.
Selain karena areal sawah akan kembali hijau, suara traktor yang bersahutan untuk membajak sawah dapat dengan jelas terdengar oleh telingaku. Riuh suara petani yang bersenda gurau mampu membuatku betah sekali mendengar nya.
Aku meneguk teh vanila ku dan mencomot risoles mayonais yang Ibu buat siang tadi.
"Disini kamu ternyata Kak."
Aku menoleh ke arah pintu, dan menemukan Ibu yang sedang melangkah menuju kursi di sisi kananku yang masih kosong dan mendudukkan diri di sana.
"Nyeger, Bu. Lumayan buat ngilangin stres."
"Stres itu harus dikelola dengan baik, Kak. Kalo sampe keteteran, ya kasus nya jadi kaya Kakak gini. Drop sampe berhari-hari deh." tutur Ibu sambil mengambilkanku sebungkus nagasari yang kuterima dengan mata berbinar.
"Nama nya juga mahasiswa, Bu. Ada aja yang bikin stres. Telat ngumpulin tugas semenit aja, udah bisa beda cerita Bu."
Ibu terkekeh sambil meneguk teh yang juga beliau bawa dari dalam rumah. "Ya itu nama nya risiko, Kak. Kakak udah mantap hati dan niat buat jadi mahasiswa, ya harus siap dengan semua konsekuensi yang ada di depan mata."
"Mau jadi orang besar kok ya serumit ini ya Bu." keluhku pada Ibu yang justru tersenyum lembut menatap ku.
"Kak, inget kan kalau semakin tinggi pohon itu bakal semakin gede angin yang menerpa? Mau jadi sukses itu harus mau merasakan gimana suka duka nya, jatuh bangunnya dulu baru bisa ngerasain hasilnya."
Aku mengangguk sambil kembali melahap nagasari yang masih tersisa setengah. "Kadang Kakak nggak sabaran, Bu. Capek juga."
"Semua tergantung gimana cara Kakak nyikapi permasalahan yang ada. Mau sebesar apapun masalah yang ada, kalau Kakak berusaha, yakin dan optimis, masalah itu nggak akan kerasa besar nya. Dan berlaku juga sebaliknya. Mau sekecil apapun masalah, kalau Kakak menyikapi nya dengan cara yang salah, masalah itu nggak akan selesai sampai kapanpun. Hadapi dan juga cari solusi, Kak. Bukan malah kabur dan acuh."
Kunyahanku pada nagasari buatan Ibu terhenti. Kepalaku meneleng demi menatap Ibu yang sedang menyeruput santai teh di cangkir nya. "Kok....Kakak ngerasa Ibu lagi nyindir Kakak ya?" selidikku curiga. Ibu terbahak mendengar tuduhanku.
"Berarti Kakak paham dengan baik apa maksud Ibu."
Aku mencebik kesal. "Ibu pasti lagi nyindir Kakak, kan?"
Tawa Ibu bertahan untuk beberapa saat. Namun berikutnya, aku bisa melihat pancaran sayang dan lembut nya yang tertuju padaku.
"Pacaran beda usia itu memang nggak gampang, Kak. Banyak perbedaan yang akan dirasakan. Selain dari faktor umur, faktor jalan pikiran pun nggak akan sama."
Aku terpaku mendengar nasihat dari Ibu. Aku jadi curiga kalau Ibu pasti mengetahui sesuatu di balik ucapan-ucapan bijak nya.
"Ibu...tau sesuatu?"
Mata Ibu yang semula fokus menatap teh yang mengepul, lantas beralih menatapku lekat.
"Ibu memang nggak pernah jadi tempat Kakak curhat, tapi feeling seorang Ibu nggak bisa dibohongin. Jadi, ada masalah apa antara Kakak sama nak Arjun?"
🍁🍁🍁🍁
Happy weekend dears!
Aku penasaran deh, gimana sih cerita kalian yang lagi jadi peserta didik baru maupun jadi mahasiswa baru? Pandemi kali ini benar-benar bakal ngurangin keriuhan ospek deh. Believe me, ospek itu menyenangkan walaupun banyak nangis capek nya plus kesel sama kakak tingkat😆 belum lagi bahan² buat ospek yang kadang nggak masuk di logika😅 tetap semangat buat kalian lulusan 2020 ya. Yang penting jaga kesehatan dan juga jaga semangat.
20 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany
General FictionVERSI LENGKAP DALAM BENTUK PDF Sekelumit cerita tentang Andrea dan Arjuna, sepasang kekasih yang berbeda usia. "Tapi Pak, saya...." "Jangan mancing emosi Mas, Andrea! Pake aku-kamu!!"