21 April 2020MuslimahNews.com, EDITORIAL – Hari ini tak ada satu negara pun yang bisa berkutik menghadapi wabah corona. Bahkan negara selevel Amerika, Cina, dan Eropa, benar-benar dibuat tak berdaya.
Jutaan penduduk negara-negara adidaya tersebut satu demi satu melepas nyawa. Sementara jutaan lainnya antre dalam keadaan putus asa. Menunggu nasib: Akankah lolos dari screening kematian yang mengerikan?
Indonesia dan negeri muslim lain pun kondisinya sama saja. Corona, si makhluk super kecil nan perkasa ini, benar-benar telah membuat para penguasanya mati gaya. Sementara rakyatnya payah berjibaku dengan keadaan, di tengah negara yang kondisinya antara ada dan tiada.
Ya. Pandemi corona benar-benar telah membongkar cacat sistem sekuler dengan begitu sempurna. Menghancurkan semua sendi kehidupan manusia. Mulai dari aspek politik dan kekuasaan, ekonomi dan keuangan, sosial dan hankam, serta hukum dan yang lainnya.
Di saat sama, pandemi corona telah menguji loyalitas penguasa sistem sekuler ada pada siapa. Yang ndilalahnya, terbukti bahwa sistem ini hanya menjadi alat pemenuh kerakusan segelintir orang saja. Bukan hadir untuk menebar rahmat bagi seluruh umat manusia.
Wajar jika rakyat mulai banyak yang kecewa dan terbuka mata. Bahwa sistem ini hanya pandai menjanjikan angan-angan soal hidup bahagia dan sejahtera. Apalagi faktanya, negara sebesar dan sekuat apapun di dunia, ternyata tak mampu mengatasi serangan wabah yang tiba-tiba, berikut semua kerusakan global yang dimunculkannya.
Bahkan para penguasa negara-negara ini menampakkan ketidakpedulian pada nyawa rakyatnya. Dan malah sibuk memanfaatkan situasi untuk mempertajam persaingan internasional. Sekaligus mengukuhkan penjajahan melalui cengkeraman skema utang yang justru kian memperburuk krisis global. Dan semuanya, semata demi keuntungan para kapitalis, sponsor kekuasaan negara kapitalisme global.
Sungguh pandemi ini, juga telah gamblang membuktikan bahwa sistem ini benar-benar tak bisa dijadikan pegangan. Apalagi diharapkan menjadi tempat naungan yang bisa memberi manusia rasa nyaman, kebahagiaan dan penjagaan.
Asasnya yang rusak, nyata telah membuat kehidupan tak tentu arah. Membuat manusia –demi dan atas nama kebebasan– sibuk mengejar segala hal yang serba profan. Membangun peradaban materialistis yang menjauhkan manusia dari fitrah penciptaan: sebagai hamba Allah dan khalifah bagi alam dan kehidupan.
Asas ini pulalah yang membuat manusia bak makhluk tanpa jiwa dan akal. Terbiasa saling berebut, rela saling sikut. Bahkan meniscayakan si kuat menjadi serigala kejam bagi yang lainnya.
Maka tak perlu heran, jika di tengah situasi pandemi corona, watak rakus tak pernah padam. Tak orang biasa, tak pula negara dan penguasanya. Mereka lumrah mencuri-curi kesempatan dalam kesempitan. Mencari sebesar-besar keuntungan.
Halal-haram? Jangan ditanya. Nilai-nilai kebaikan? Entah bersembunyi di mana. Kalaupun ada, dipastikan hanya tersisa pada individu-individu yang terpelihara saja. Yang jumlahnya minoritas di antara miliaran jiwa manusia.
Paradigma kepemimpinan sekuler pun kian nyata kebusukannya. Selain nampak hanya sekadar nama, pada praktiknya kepemimpinan dalam sistem ini hanya bermakna penguasaan si kuat atas si lemah. Bukan pengurusan dan penjagaan pemimpin pada yang dipimpinnya.
Tak heran jika banyak kebijakan –termasuk di tengah situasi wabah– justru cuma sekadar artifisial dan propaganda. Alih-alih mampu memberi solusi dan meringankan beban rakyatnya, kebijakan negara sekuler justru seringkali melegitimasi kezaliman rezim penguasa hingga menjadi sumber malapetaka.
Lihatlah kebijakan negara +62. Saat sebagian dunia menyalakan alarm tentang bahaya corona, penguasa malah sibuk menggenjot pariwisata dan sibuk berpolemik soal ketidakmungkinan Indonesia dilanda wabah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAJIAN
SpiritualIni hanyalah coretan para aktivis dakwah Bukan milik saya, saya team copypaste