Cinta itu adalah panter hitam. Panter yang bersembunyi di balik semak-semak yang tinggi. Menahan napas, dan menatap tajam buruannya. Menunggu waktu yang tepat untuk menangkap seekor rusa.
Kalau ditanya siapakah kumpulan rusa itu, maka jawabannya ialah kita. Anak-anak manusia yang tak sadar akan kehadiran si hewan buas. Mengira bahwa semuanya tampak tenang-tenang saja. Makan rumput dan bercengkrama dengan kawan dengan santainya.
Maka, ketika panter hitam itu menerkam, barulah si rusa yang tertangkap menyadari semuanya. Badai gejolak yang datang tiba-tiba.
Mungkin perumpamaan terdengar konyol. Perjumpaan ini juga terinspirasi dari sebuah lagu grup idola perempuan. Namun, Naruto sangat mempercayai ini. Karena semua perumpamaan itu terjadi padanya dengan apik.
Rusa yang tertangkap itu adalah dirinya. Terjebak, tercengkram, dan tergigit oleh sang panter. Ingin lepas, tetapi malah berakhir di dalam perut hewan buas.
Dan lucunya, panter itu merupakan hantu. Panter hitam dari masa lalu penuh aibnya. Entah harus apa sang pemuda sekarang, tetapi sudah terjebak dalam sesuatu yang buas bernama cinta. Kembali terjebak cinta lama.
"Astaga," Si pria mengeluh. Ketika tiba-tiba saja dia berkelana lagi menuju seorang Hyuuga Hinata. "Aku pasti sudah gila."
"Dari awal kau memang sudah gila."
Sasuke dan seluruh komentar menyebalkannya itu memang membuat emosi. Namun si Uzumaki terlanjur telah mengabaikan perkatan-perkataan yang bakal dilontarkan si Uchiha. Singkatnya, Naruto memilih mengabaikan dan menaruh kepalanya di salah satu meja di rumah Uchiha Sasuke, dengan tangan yang dijadikan bantal. Memejamkan mata.
Namun malah seorang wanita manis berambut nila dan bermanik kecubung pucat yang kini memandangnya dengan senyum.
"Gahhhhh!"
"Kurasa apartemenku bukan Rumah Sakit Jiwa. Kau salah tempat," Dan sebuah pulpen melayang dan mendarat tepat di atas kepala Naruto. Pasalnya, si Uchiha tengah sibuk menyelesaikan ratusan masalah matematika yang diberikan dosennya. Tentu saja itu memerlukan sebuah fokus penuh. Namun Naruto malah membuat fokusnya terpecah melihat tingkahnya yang lebih bodoh daripada yang biasanya. "Pergi kau dari apartemenku."
Naruto diam, bergeming sejenak, lalu melontarkan sesuatu nan kontroversial.
"Sasuke, menikung seseorang yang sudah bertunangan itu tidak apa-apa 'kan?"
***
Hinata terlalu takut untuk bersuara. Orochimaru yang duduk di dekatnya menggenggam tangannya untuk menguatkan dan Toneri dengan senyum ramah menyapa Hiashi.
"Selamat siang, Tou-san."
"Siang," Singkat dan datar. Namun, Hinata harus akui dirinya rindu akan suara itu. Walau sedikit juga masih ada rasa dendam.
"Maaf, ya, kami baru sempat untuk mampir kemari. Bagaimana kabar, Tou-san?" Toneri memang dianugerahi suara yang dapat menenangkan dan ramah. Pantas saja pria itu memilih menjadi seorang psikolog berbakat dengan segudang prestasi dan pasien yang mencintai.
"Baik, kalian?" Tentu, itu sebuah bualan. Karena Hinata pun dapat menangkap wajah pucat ayahnya. Ayahnya yang makin baya itu jelas sedang tidak dalam kondisi yang baik. Apalagi, Hinata juga menemukan bahwa tubuh ayahnya makin mengecil saja. Dan kerutan-kerutan di wajah dan tangan itu makin jelas. Mata yang sewarna dengannya itu juga beberapa kali tertangkap basah memandangnya dengan sendu. Terkadang pula tidak fokus menatap lawan bicara.
Ada apa?
"Syukurlah," Hinata tahu kalau Toneri juga mengetahui kebohongan ayahnya. Namun kelihatannya pria itu memilih untuk diam, apalagi sang ayah memang ingin menyembunyikan hal itu. Biarlah sebentar kebohongan itu menjadi pemanis percakapan mereka sementara saja. "Kami baik-baik saja, kok. Hinata juga sekarang telah berkuliah. Iya 'kan Hinata?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Years Later
FanfictionHinata memang tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan si Uzumaki. Hanya saja mereka pernah sedekat nadi, walau kini sejauh matahari. Ketika pemuda itu hanya bisa memandang pada gadis musim semi, yang bisa dilakukan Hinata hanya melapangkan hati...