Perih.
Lagi-lagi pipinya terkena musibah. Namun apa daya, dia tahu kali ini memang dirinya yang salah. Dia pun sudah tabah.
Wanita bernama Orochimaru itu memukulnya tiba-tiba. Padahal ia baru saja tiba di depan sebuah rumah yang Naruto simpulkan sebagai tempat menetap Hinata saat di sini.
"Chima-nee!" Jelas Hinata terkejut melihat apa yang dilakukan wanita itu.
"Kenapa kau membawanya ke mari Hinata?" Menyebalkan memang, tetapi Naruto sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
"Dia hanya ingin mengantarku pulang, dan sekarang aku berkewajiban untuk mengobatinya." Hinata yang membimbingnya ke dalam pintu itu membuat sensasi perih pada pipi Naruto sedikit menghilang, tergantikan debaran menyenangkan.
Hinata membimbingnya sampai ke sebuah sofa panjang, "Tunggulah, aku akan ambil kompres—"
"—tidak usah, Hinata. Aku pantas menerima ini." Dengan menahan perih, Naruto mengusahakan senyum.
"Tunggulah sebentar," Hinata sepertinya tidak peduli akan penolakan itu, dan si pemilik manik kecubung pucat tetap menuju ke dalam sebuah ruangan lagi untuk mengambil sesuatu.
"Kau memang pantas mendapatkannya." Orochimaru masuk dan bergumam, kemudian dia memasuki ruangan yang tadi dimasuki oleh Hinata.
Hening. Naruto merasa kehadirannya di sini memang tidak diharapkan, tetapi dia merasa harus.
"Siapa?"
Sumpah, Naruto sangat terkejut ketika telinganya menangkap sebuah suara. Dan jantungnya lebih berpacu kencang ketika mendapati sesosok pria tua bermata kecubung pucat serupa dengan Hinata mendekatinya.
Naruto mungkin bodoh, tetapi dia juga pasti akan tahu siapa pria tua ini.
Tentu saja ayahnya Hinata.
Astaga, Naruto merasa ini adalah hari terakhir melihat matahari. Mungkin dia bakalan mati. Namun itu semua terjadi karena bebodohannya selama ini yang hakiki.
"S-saya—"
"—ayahnya cucuku?" Hiashi mendudukkan diri di sofa single seat di hadapannya. Dan pertanyaannya tadi membuat Naruto membeku seketika.
"Kau mirip sekali dengan cucuku. Kau terlalu serakah menurunkan rupa."
Naruto menelan ludah takut-takut. Pria kuning itu merasa bahwa memar di wajahnya bakal bertambah banyak. Dan juga pernyataan Hiashi tadi membuat Naruto makin penasaran juga, bagaimana rupa putranya?
"C-chichiue?"
Hinata kembali ke ruang tamu gaya barat itu dengan membawa alat-alat kompres. Naruto tercekat ketika Hinata melihatnya dengan pandangan agak sendu. "A-ano, aku ingin—"
"—laki-laki bisa menahan rasa perih dari memar, Hinata. Lagi pula, Tou-san hanya ingin berbicara sebentar dengannya. Urusan antar laki-laki,"
Si Uzumaki tahu maksud dari ucapan ayah Hinata. "Uhm, tidak usah dikompres juga tidak apa-apa, Hinata."
Pasti Hiashi ingin membicarakan sesuatu yang penting dan tidak ingin Hinata mengetahuinya. Atau bisa saja ingin menghajarnya habis-habisan di sini. Dan tentu saja pria tidak ingin apa yang akan dilakukannya diketahui oleh putrinya.
Naruto mulai mempersiapkan hati, fisik, dan kejiwaannya. Karena bagaimanapun juga, peristiwa ini memang gila. Belum ada dua jam setelah sebuah fakta besar terungkap dari bibir Hinata —yang baru saja ditemuinya setelah bertahun-tahun tak bersua, si Uzumaki dihadapkan pada ayah dari gadis yang dihamilinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Years Later
FanfictionHinata memang tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan si Uzumaki. Hanya saja mereka pernah sedekat nadi, walau kini sejauh matahari. Ketika pemuda itu hanya bisa memandang pada gadis musim semi, yang bisa dilakukan Hinata hanya melapangkan hati...