"Naruto-kun."
"Hinata."
Hinata merasa pipinya memanas ketika Naruto juga memanggil namanya.
"A-ada apa Naruto-kun?" Pelukan pada Boruto yang tertidur makin si wanita bermanik ametis pucat eratkan.
"Kau duluan, tadi kau memanggilku 'kan?" Naruto tersenyum. Membuat Hinata kembali bernostalgia tentang bagaimana reaksi dirinya yang masih setia dengan sebuah debaran.
"T-tidak, Naruto-kun saja dahulu."
"Astaga, Hinata. Kau saja dulu,"
Bahkan kini langkah mereka berdua sampai terhenti.
Memang, kini mereka berdua hanya sekadar berjalan-jalan menyusuri pulau ini lagi sembari menunggu kapal yang baru akan membawa mereka kembali sekitar setengah jam lagi.
Makan siang telah mereka lakukan di pulau ini, begitu pula dengan Boruto yang mengantuk karena kelelahan bermain dengan para kucing dan berlarian ke sana-sini.
"Kutebak, pasti tentang apa yang dikatakan Toneri 'kan?" Naruto kembali bersuara. Membuat Hinata sedikit tercekat.
Wanita itu mengangguk pelan, kemudian sedikit menunduk. "M-maafkan keputusanku yang egois kemarin,"
"Hinata," Naruto mulai benar-benar berhenti berjalan. Pemuda itu bahkan kini mulai duduk di sebuah bangkai kapal yang mengapung di laut dekat mereka. "Duduk di sini, yuk!"
"Uhm," Hinata mulai duduk di sana dengan hati-hati, mengusahakan agar Boruto tetap merasa nyaman dalam pelukannya.
Senyuman lagi-lagi hadir di bibir si kepala keluarga Uzumaki, "Maafkan aku juga, ya. Marah padamu malam itu."
Hinata menatap manik biru yang menduhkan itu, dan menggeleng pelan. "T-tidak apa-apa, Naruto-kun. Memang aku yang egois di sini."
"Hei," Naruto merangkul sang istri. Membuat Hinata merasakan lagi debaran-debaran itu, tapi kali ini makin kuat. "Kau sama sekali tidak egois, Hinata."
"T-tapi—"
"—sssttt, boleh kusela sebentar?" Naruto mengecup pelipis Hinata, yang lagi-lagi membuat gadis itu terdiam dengan wajah memanas.
"Maafkan aku, untuk segalanya yang terjadi."
"Naruto-kun—"
"—Haaa, aku bahkan bodoh sekali. Baru mengatakan itu sekarang," Si Uzumaki kini menaruh kepalanya di bahu sang istri. "Aku mencintaimu."
Hinata terdiam sejenak. Kemudian dengan sangat pelan gadis itu berbisik. "Aku juga."
"Di Waseda, cowoknya ganteng-ganteng nggak?"
Jujur, Hinata tak mengira setelah pernyataan cinta itu Naruto bakal melanjutkannya dengan pertanyaan yang menurutnya aneh.
"M-memangnya kenapa?"
"Ayo, jawab saja~" Kini si kuning mulai memainkan rambut nilanya.
"A-aku tidak terlalu mempermasalahkan tampan atau tidaknya rupa," ujar Hinata pelan.
"Kalau aku? Menurutmu ganteng tidak?"
Kecubung pucat bertemu safir. "Kenapa Naruto-kun jadi aneh begini?"
"Jahatnya~ jadi aku tidak tampan?"
"B-bukan begitu,"
"Oke, jadi aku tampan menurut Hinata."
Hinata sedikit mendelik. "Toneri-nii lebih tampan."
Naruto tertawa. Kali ini pria mengecup pipi gembil gadisnya. "Kau manis, pipimu suka sekali memerah kayak permen apel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Years Later
FanfictionHinata memang tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan si Uzumaki. Hanya saja mereka pernah sedekat nadi, walau kini sejauh matahari. Ketika pemuda itu hanya bisa memandang pada gadis musim semi, yang bisa dilakukan Hinata hanya melapangkan hati...