KERETA KEDEWASAAN

3.2K 353 29
                                    

Hinata hanya bisa menahan tangis sekarang, bibir bagian bawahnya digigit kuat-kuat sampai berdarah. Tatapan biru itu membuatnya resah. Tiba-tiba saja juga dia teringat putranya, dan mulai gelisah.

"Jangan gigit bibirmu lagi, Hinata. Itu sudah berdarah."

Tercekat. Itu yang bisa Hinata lakukan ketika kecubung pucatnya menangkap visualisasi Naruto yang tengah mengusap bibirnya. Terasa perih, tetapi dia tidak bisa mengenyahkan debaran menyenangkan yang kini terjadi.

"Aku gila, Naruto-kun." Entah sudah yang keberapa kalinya, Hinata mengatakan hal itu lagi. Namun, sepertinya si Uzumaki sama sekali tidak punya rasa peduli tentang hal itu. Terlihat dari safirnya yang makin menuntut penjelasan. Hinata merasa kesal juga, tetapi semua orang jiga mengerti; rasa ingin tahu dapat membunuh seekor kucing. Dan Naruto adalah lelaki dengan beberapa bagian serupa kucing dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar.

"Kalau kau gila, aku apa? Lagi pula, kenapa kau menyebut dirimu sendiri gila? Sedari tadi kau selalu mengatakan itu tanpa pernah menjelaskan."

"Rasa ingin tahu dapat membunuh seekor kucing, dan kau pasti tahu maksudku."

"Tapi aku bukan kucing, dan rasa ingin tahu memang rasa yang manusiawi. Semua orang pasti pasti punya itu, apalagi aku. Pada kekasihnya sendiri."

"A-aku bukan," Suara Hinata sengaja mengecil ketika beberapa orang pelanggan memasuki kafe bagian dalam itu. "A-aku bukan kekasihmu."

Naruto tertawa kecil. "Kau jadi keras kepala sekarang, Hinata."

"Dan kau juga jadi sangat pemaksa," Hinata menghela napas, melirik jam tangan yang menunjukkan fakta bahwa dia telah tertahan di sini selama hampir dua jam. Minuman dan pastri mereka juga telah kandas sedari tadi. Bahkan ia juga sempat bertaruh pada Orochimaru bakalan pulang secepat mungkin dari sini, mungkin hanya satu jam. Semua itu karena kesombongan Hinata mengatakan bahwa menemui pria ini akan menjadi pertemuan singkat tak berarti seperti kemarin. "Aku ingin pulang."

Boruto pasti juga telah menunggunya, Hinata memang tidak bisa lama-lama jauh dari putranya. Waktu lah mengubah semuanya, Hinata yang tadinya sempat menginginkan Boruto luruh, menjadi cinta luar biasa.

"Ini sudah masuk jam makan siang," Naruto menggumam. "Di sini juga menyediakan pasta yang mengenyangkan. Kau mau?"

"Tidak." Dengan mantap dan tegas wanita itu menolak, bahkan kini dia tengah mempersiapkan diri untuk beranjak dari sana, dan membayar lebih dari harga yang mereka pesan karena dirinya tahu diri sudah menggunakan kafe itu untuk berdrama dan berkonflik.

"Ah, maaf. Kami ingin memesan lagi." Naruto seakan-akan tuli. Siapa sangka ternyata seorang pelayan yang baru saja menuliskan pesanan beberapa pelanggan yang baru datang tadi juga menuju ke tempat mereka berdua duduk.

Demi kesopanan dan menahan kejengkelan. Hinata tetap berada di kursinya, tetapi dia memilih diam.

Naruto memesan dua pasta dan dua jus jeruk tanpa persetujuan si Hyuuga.

"Makan siang dulu," Si Uzumaki melemparkan senyum penuh kemenangan. "Nah, sekarang kenapa kau gila?"

"Seperti yang kubilang tadi, aku akan menceritakan padamu nanti."

"Nanti itu kapan?"

"Entahlah," Hinata tahu dirinya jadi terdengar menyebalkan, sejujurnya dia sangat takut sekarang. Bagaimana kalau ia mengatakan salah satu rahasia dan dramanya selama ini?

Namun perasaan ini makin meledak-ledak saja di dalam dadanya. Ingin sekali dia mengungkapkan itu semua. Namun masih ada sedikit ragu.

Ragu? Karena apa?

Two Years LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang