PART 7 - BODY SHAMING

48 4 0
                                    

Dimas merebahkan dirinya di sofa bersama ketiga sahabatnya. Ia baru saja menyelesaikan spanduk persiapan besok untuk mendapat maaf dari Alin. Senyumnya melebar saat melihat spanduk besar itu ternyata bagus.

"Capek juga bantu lo ngeperjuangin Alin." Yadi duduk di samping Dimas sambil mengunyah permen karet.

"Gue harap besok dia maafin gue." ucap Dimas sambil tersenyum meski matanya tertutup.

"Ntar malam lo tahajud deh, biar besok semuanya lancar."

"Iya"

Setelah mengiyakan perkataan Yadi, Dimas pun tidur bersama ketiga sahabatnya karena mengantuk. Tapi yang namanya tidur, pasti terasa cepat. Seperti sekarang, mereka bahkan sudah bangun saat mendengar suara anak kecil tertawa.

"ASTAGFIRULLAH MAS! BANGUN! ITU ADEK LO NGERUSAKIN SPANDUK LO!" seketika Dimas terbangun saat mendengar suara teriakan Ronal. Matanya terbelalak saat melihat Dila, adik kecilnya sedang melukis dan menumpahkan cat di spanduk berharganya.

"YA ALLAH DILA! ITU SPANDUK ABANG KENAPA DI RUSAKIN!!!." Dimas panik dan berusaha menghilangkan cat yang mengotori spanduknya.

Dila menatap Dimas dan Ronal secara bergantian kemudian tertawa melihat reaksi mereka. "Mamaaa!"

Seorang wanita keluar dari arah dapur. "Apa Dim?" (Dim adalah nama panggilan dari orang tuanya untuk Dimas)

"Itu Dila kenapa nggak di jagain ma."

"Mama kan masak"

"Ma cepet ambil Dila!" Mamanya pun langsung mengambil Dila dan membawanya pergi.

Dimas terduduk lesu melihat hasil kerja kerasnya sudah rusak. "Trus besok gimana?"

"Udah bawa aja, lagian tulisannya masih ada kok." Dimas memukul kesal bantal di sebelahnya. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya sekarang juga pada siapa pun yang ada di sekitarnya.

"Dasar ade laknat!"

👑👑👑

Kring!!!

Untuk kesekian kalinya alarm Alin berbunyi, tapi ia belum juga bangun dan masih bergelung dalam selimutnya. Entahlah, pagi ini rasanya ia sangat mengantuk, mungkin efek menangis kemarin masih terbawa sampai sekarang.

"Alin, bangun ini udah jam setengah 7!" Alin mengerjap beberapa kali saat suara bunda Aya terdengar. Ia melirik ke arah jam dan terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.33 pagi.

Alin segera mandi dan memakai seragamnya lalu turun ke ruang makan. "Alin kenapa nggak di bangunin?"

"Dari tadi mama udah ngebanunin kamu, tapi kamunya belum bangun-bangun." Alin mengambil sepotong roti dan menyalami tangan bunda Aya dan Ayah Arul lalu berangkat sekolah.

Alin berlari menuju halte dan berteriak saat melihat angkot dari kejauhan. "Pak tungguuu!!!"

"Cepet duduk neng," ucap sang sopir. Alin segera duduk dan mulai mengatur nafasnya. Untung saja sang sopi mendengar teriakannya dan berhenti menunggunya masuk.

Alin melihat jalan sambil mengecek arloji di tangannya, 7 menit lagi sekolahnya masuk dan ia masih di jalan. Mudah-mudahan ia tidak terlambat, harapnya.

Setelah menunggu dengan kepanikan yang luar biasa, Alin sampai di depan gerbang. Matanya melebar saat gerbang sudah di tutup. "Pak izinin saya masuk yah."

"Nggak bisa de, ntar saya di marahin guru."

"Yaelah pak saya kan murid terkahir, please pak sekali ini aja."

"Maaf de nggak bisa." Bertepatan dengan itu Ronal datang dan membisikkan sesuatu pada pak Didit. Alin mengamati Ronal yang tampak memberikan rokok pada pak satpam itu. Sedetik kemudian pak Didit sudah membuka gerbang. "Lain kali jangan lambat, kalo masih lambat saya nggak bakal bukain lagi."

"Iya pak, makasih banget."

"Lo bisikkin apa sama pak satpam?"

"Ada deh." Ronal kemudian pergi mendahuluinya sambil berlari. Meski begitu Alin tetap berterimah kasih pada Ronal, karena berkatnya ia tidak jadi di hukum.

Langkah Alin terhenti saat sebuah suara teriakan menggema memanggilnya. "ALIN!!!" Ia mencari sumber suara itu dan menemukan Dimas di lantai dua.

Srakkk!

Sebuah spanduk terbuka lebar bertuliskan 'ALIN JANGAN MAAFIN GUE' yang sebenarnya adalah 'ALIN JANGAN MARAH LAGI, MAAFIN GUE'. Keningnya mengerut saat membaca tulisan tersebut.

"Lin." Dimas berlari ke arahnya dan tersenyum.

"Gimana?"

"Gue nggak mau terlibat masalah sama lo lagi." ucap Alin dingin. Ia hendak pergi tapi suara teriakan Dimas menghentikan langkahnya.

"HARI INI, KAMIS TANGGAL 5 SEPTEMBER, DIMAS ADI SAPUTRA MENGEMUKAKAN PERMINTAAN MAAF SEBESAR-BESARNYA PADA ALIN FAUZIAH!" Alin menoleh dan melihat cowok itu masih tersenyum lebar sambil memegang boneka upin.

"INI BUKAN LEBARAN, TAPI GUE PENGEN MINTA MAAF SAMA LO, UDAH BIKIN LO NANGIS KAYAK KEMARIN. GUE HARAP LO MAU MAAFIN GUE."

Hening, Alin menatap Dimas sebentar lalu berkata, "Lo nggak perlu ngelakuin ini, karena gue nggak bakalan maafin lo."

Seketika sorakan yang tadi berasal dari siswa/i yang mendukung Dimas hilang dari pendengarannya. Tak ada lagi senyum di sana di ganti tatapan datar yang sulit diartikan. Alin memutar badannya dan masuk ke dalam kelas. Ia mengeluarkan buku dari dalam tas dan membacanya sebagai bentuk pengalihan pikiran dari kejadian tadi.

"Lin," suara panggilan menghentikan akifitas Alin. Ia melihat Fania berjalan ke arahnya.

"Ada apa Fan?"

"Jangan kayak gini."

"Maksud lo? Gue nggak ngerti?"

"Gue emang benci sama Dimas, karena dia udah bikin lo nangis, tapi gue nggak tega kalo liat perjuangan dia."

"Fan, gue nggak mau bahas dia."

"Dimas bukan tipe cowok agresif kayak gini. Setahu gue, dia nggak pernah deket sama cewek lain, dan ngelihat perjuangan dia yang besar kayak gini, gue yakin dia bener-bener serius."

"Lo kok belain dia?!"

"Sekarang gue tanya, alasan lo benci sama Dimas apa?"

"Untuk apa lo tahu?"

"Udah jawab pertanyaan gue aja."

"Gue... gue benci sama dia karena dia pernah ngatain fisik orang lain."

"Trus cuma karena itu lo marah sampe kayak gini?"

"kayak gini?! Orang kayak lo nggak bakalan tahu gimana rasa sakitnya ketika orang lain ngehina sesuatu yang ada pada diri lo dan itu terlihat dengan jelas. Disaat semua orang lain ketawa, lo nggak bisa marah, karena yang dia bilang itu benar. Gue pernah di bully gara-gara fisik gue dan itu bikin gue hampir bunuh diri. Memang terlihat biasa, tapi lo nggak tahu gimana susah payahnya gue bisa bertahan hidup. Itu yang pernah gue rasain." Fania terdiam mendengar penjelasan Alin yang saat ini sudah menangis. Ternyata cewek tegar sepertinya punya masa lalu kelam tentang Body shaming.

"Maafin gue Lin."

PRINCE LOKALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang