"Mas yang sabar, gue turut berduka cita." Dimas menatap tajam ke arah Ronal seolah ingin membunuhnya sekarang juga.
"Nal, lo diem dong. Si Dimas nih masih galau," sahut Anji.
"Iya-iya"
Setelah permintaan maafnya tadi pagi, Dimas mendapat kenyataan pahit kalau Alin tidak mau memaafkannya. Bahkan tidak menghargai perjuangannya. Ia bingung kenapa Alin tidak ingin memaafkannya.
"Sepertinya gue tahu alasan Alin nggak mau maafin lo." Yadi tampak beropini seolah ia adalah peramal.
"Apaan?!" Dimas tampak antusias saat mendengar opini Yadi.
"Ingetkan kemarin ade lo rusakin spanduk lo?"
"Iya inget, trus apa hubungannya sama Alin nggak mau maafin gue?"
"Yaelah lo tadi baca nggak? Tulisan spanduk lo berubah jadi JANGAN MAAFIN GUE."
"Ha? Serius?!" Dimas tampak terkejut saat mendengar perkataan Yadi.
"Gue juga lihat sih," celetuk Anji.
"Sialan kenapa nggak ngomong dari awal?"
"Gue pikir lo nggak masalah soal itu."
"Pantesan si Alin masih marah gitu, terntya gara-gara spanduk." Pikir Dimas sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu.
"Kalo gitu lo harus berusaha lagi minta maaf sama Alin pake cara yang le---"
"Udah! Nggak usah ngelakuin sesuatu yang bikin dia nanti tambah risih sama lo. Mending deketin dia pake cara tulus, yang benar-benar bikin hati dia lulus dengan tingkah lo." ucap Anji.
"Contohnya?"
"Deketin dia pake hati, bantu dia kalo lagi butuh sesuatu. Gue yakin lama kelamaan dia bakal luluh sama lo. Dan yang paling penting, cari tahu alasan kenapa dia marah. Secara kan waktu pertama kali kita ketemu di tempat bowling tuh anak baik, masih senyum."
"Gue setuju sama Anji." sahut Ronal.
"Bener juga yah, sebenarnya apa alasan dia marah sama gue."
"Lakuin apa pun yang lo mau dan bisa, kita bakalan dukung lo dari kejauhan, seperti jauhnya bumi dan mars."
"SEMANGAT MAS!" Dimas tersenyum dan bertekad akan kembali berusaha mendapatkan maaf dari Alin.
👑👑👑
Kring!!!
Bel sekolah bunyi pertanda pelajaran selanjutnya segera di mulai. Feli masuk ke dalam kelas dan memeriksa tas nya. Ia terkejut saat tak mendapati baju olahraganya di dalam tas.
"Kenapa Lin?" tanya Fania yang sekarang sudah ada di sampingnya berdiri menatap Alin yang sibuk.
"Baju olahraga gue di mana yah? Perasaan tadi gue taruh di dalam tas deh."
"Coba cari lagi, mungkin nyempil kali." Alin kemudian mengeluarkan semua buku dan pulpennya berharap bajunya berada di bagian paling bawah. Tapi hasilnya nihil, baju itu tetap tidak ada.
"Untuk pelajaran penjas, bapak tunggu kalian di lapangan." Pak Zikri keluar dalam kelas setelah menyampaikan informasi.
"Fan ini gimana gue lupa bawa baju penjas!" Alin tampak panik sebab ia tahu pak Zikri termasuk guru bermulut pedas. Ia takut jika nantinya ia di permalukan di lapangan.
"Gue juga nggak tahu Lin."
"Duh, malah minggu lalu gue nggak masuk pelajaran dia lagi. Pasti kali ini dia bikin gue mampus."
"Lin, Fania, bapak manggil lo berdua. Yang lain udah pada nunggu." panggil Gina, ketua kelas mereka.
"Iya Gin, habis kita nyusul," sahut Fania.
"Yaudah lo deluan aja ke lapangan, ntar yang ada lo di hukum."
"Trus lo gimana?"
"Gue bakalan coba minjem baju di kelas lain, siapa tahu ada yang bawa."
"Yaudah gue deluan yah."
"Iya"
Setelah kepergian Fania, Alin langsung mengunjungi setiap kelas berharap ada yang akan meminjamkannya baju olahraga. Tapi sepertinya semua murid juga memerlukannya hingga ia tidak berhasil mendapat pinjaman. Matanya menatap kelas di ujung dengan ragu. Itu adalah kelas Dimas, cowok yang tadi pagi bermasalah dengannya.
"Apa gue pasrah aja kali yah, biarin deh di hukum." ucap Alin hendak pergi.
"Tapi yang ada nama gue bakal di coret!" Ia kemudian berjalan tanpa ragu saat mengingat nasib nilainya.
"Permisi." sapa Alin sambil mengetuk pintu. Semua mata tertuju padanya membuat ia meremas kuat roknya karena merasa terintimidasi.
"Wi, gue boleh ngomong bentar nggak sama lo?" Dewi yang tadi menulis kini berhenti dan beranjak dari kursinya.
"Lo bawa baju olahraga nggak? Gue boleh pinjem? Soalnya gue lupa bawa."
"Sorry Lin, tapi hari ini kelas gue nggak ada pelajaran penjas, jadinya nggak bawa baju olahraga."
"Gitu yah, yaudah makasih." Dewi kembali duduk di kursinya dan melanjutkan aktifitas menulisnya. Tapi seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya seolah menyuruhnya untuk berbalik.
"Apaan?"
"Itu si Alin ngapain manggil lo?" tanya Dimas penasaran.
"Bukan hal penting," jawab Dewi cuek. Seketika itu juga Ronal, Yadi dan Anji berdiri di hadapannya sambil memegang kemocengan dan botol semprot kaca.
"Di, kayaknya ada yang minta di bersihin nih," ucap Ronal sambil menyemprotkan isi botol itu ke udara.
"Gue bagian kepalanya." balas Yadi sambil menggoyang-goyang kemoceng di hadapan Dewi. Mata cewek itu melebar melihat tingkah ketiga temannya itu.
"Si Alin mau minjem baju olahraga gue, soalnya di nggak bawa baju." jawab Dewi jujur.
"Trus lo bilang apa?" tanya Dimas.
"Trus gue bilang hari ini kita nggak ada pelajaran penjas. Soalnya kalo gue kasih pinjam, yang ada bau keringat." Dimas menatap tajam ke arah Dewi.
"Beresin nih anak." suruh Dimas kemudian mengambil tasnya dan menemui Alin.
"Alin!" panggilnya saat mendapati Alin di koridor. Alin memutar matanya malas saat melihat kehadiran Dimas.
"Nih." Dimas menyodorkan Alin sepasang baju olahraga.
"Tenang aja, ini baju Dewi. Dia suruh gue ngasih lo soalnya dia ngira ini tuh hari rabu, padahal kan hari kamis." ujar Dimas saat Alin tak kunjung mengambilnya.
"Lo serius ini baju Dewi?" tanya Alin ragu.
"Serius lah, ngapain gue bohong."
"ALIN! KAMU KENAPA NGGAK GANTI BAJU?!" teriak pak zikri saat melihat Alin masih berdiri di koridor.
"I...iya pak ini mau ganti!" Alin kemudian mengambil baju itu dan pergi tanpa mengatakan apa-apa.
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PRINCE LOKAL
Teen FictionKetika seorang cowok yang paling famous di sekolah, dikenal dengan kenakalan dan juga kealimannya, menyukai gadis cuek sepertimu. Apa jadinya? Sering dikejar tapi bukan layangan, sering dipantau tapi bukan artis dialah Alin Fauziah, gadis cuek yang...