"Ahhh, akhirnya gue kenyang juga," ucap Alin sambil memegang perutnya karena berhasil menghabiskan 3 mangkuk bakso sekaligus.
"Gimana nggak mau kenyang orang lo makan 3 mangkok! Bayangin Lin, cewek seukuran lo makan segitu banyaknya." Fania menggeleng-geleng tak percaya pada temannya.
"Gue kan laper."
"Itu mah bukan laper, tapi lebih ke rakus." Alin tertawa mendengar ucapan Fania itu.
Setelah dari kantin, mereka kembali ke kelas melewati ruang guru. Tapi saat di perjalanan, sekumpulan siswa/i sedang berdiri menatap mading membuat mereka penasaran.
"Itu mereka ngapain?" tanya Fania.
"Nggak tahu. Kesana yuk, gue penasaran." Mereka kemudian berjalan mendekat ke arah Mading. Dengan sedikit bantuan dari Fania, Alin pun berhasil lolos menerobos barisan paling depan.
"Eh, ini sih hasil ulangan bulan lalu. Gila baru di bagiin" ujar Fania.
"Kalo bulan lalu, berarti sebelum gue pindah kesini yah Fan?" Fania mengangguk. Ia mengecek namanya dan berteriak histeris karena namanya masuk ke dalam 30 besar.
"Lin!! Sumpah demi apa, gue masuk 30 besar." Alin tersenyum melihat tingkah temannya itu.
"Emang biasa berapa besar?"
"Kadang 70, kadang 80 bahkan sampe 120."
"Ya allah Fan, lo serius? Pasti nih nggak belajar." Fania hanya cengengesan mendengar ucapan Alin yang memang benar. Karena berhubung di sekolahnya nilai ulangan di urutankan secara merata pada masing-masing angkatan, makanya tak jarang ada dari siswa yang malu dan menjadikan ini sebagai pacuan untuk belajar.
"Eh gila! Si Dimas urutan paling terakhir," sahut salah satu siswi di samping Alin. Alin yang mendengar itu segera mencari nama yang di sebutkan tadi. Dan benar saja, Dimas berada di urutan paling bawah dari 247 murid kelas 12. Pantas saja ibu Novi menyuruhnya untuk membantu Dimas belajar, ternyata ini alasannya. Tak ingin berlama-lama Alin pun mengajak Fania ke kelas.
"Yaudah Fan kita balik ke kelas yuk,"
"Yuk."
👑👑👑
"Woi! Yang merasa jantan keluar sana, ini udah jam 12. Mau pada di sholatin lo semua?!" Anji berteriak saat melihat sekumpulan siswa yang sedang duduk di depan kelas.
"Udah sana sholat!" suruh Dimas sambil membawa sarung yang habis ia gulung menjadi senjata untuk memukul siswa yang masih berkeliaran.
"Gue hitung sampe 10, lo nggak gerak gue sambit nih yah," ancam Dimas sudah bersiap-siap.
"Eh, kenapa sampe sepuluh?"
"Emang kenapa?"
"Kelamaan."
"Trus berapa?"
"100." Dimas segera memukul kepala Anji karena ketololannya.
"Udah ke musollah yuk!" ajak Dimas yang langsung dianggukan oleh Anji. Tapi baru saja mereka hendak melangkah, tiba-tiba perhatian Dimas langsung beralih ke arah cewek yang baru saja keluar dari dalam kelas. Ia sempat terpaku sebentar sebelum akhirnya Anji menyadarkannya.
"Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan," ucap Dimas sambil tersenyum dan berkacak pinggang melihat ciptaan tuhan yang tiada tanding di hadapannya saat ini. Sedangkan orang yang di tatap memasang wajah datar seperti biasanya.
"Mas sadar! Ini udah mau sholat lo malah zina mata," tegur Anji membuat Dimas langsung menjauhkan pandangannya.
"Nji, tuntun gue ke musollah. Soalnya gue pengen tutup mata, kalo nggak nanti zinanya sampe kemana-mana, " ujar Dimas yang langsung dianggukan oleh Anji.
"Permisi Lin," ucap Dimas dan Anji bersamaan.
"Tuh orang kenapa sih?" tanya Fania pada Alin saat kedua cowok itu sudah menjauh.
"Nggak tahu, nggak usah di pikirin."
👑👑👑
Setelah selesai sholat, Alin pun langsung bergegas ke dalam kelas dan mengambil baju olahraga Dewi yang di pinjamkan lewat Dimas kemarin. Ia menatap baju di tangannya itu dengan ragu. Sebenarnya ia malas untuk mengembalikan baju itu, karena otamatis ia akan bertemu dengan Dimas, tapi mau bagaimana lagi, ia harus tahu diri kalau meminjam barang seseorang.
Alin menghembuskan nafas dalam dan keluar dari kelas untuk menemui Dewi.
Tokkk...tokkk...tokkk...
Suara ketukan pintu membuat seisi kelas menengok ke arahnya. Mulai dari tatapan penasaran, bingung sampai tatapan sinis yang ia dapatkan.
Alin mencoba tak menghiraukan tatapan seisi kelas Dewi.
"Wi ini, makasih yah." Alin menyodorkan baju olahraga yang ia pinjam.
"Ini baju siapa?" tanya Dewi kebingungan.
"Yah baju lo lah,"
"Perasaan gue nggak minjemin lo deh kemarin,"
"Loh, kemarin si Dimas ngasih tahu gue kalo ini baju lo." Alin semakin bingung dibuatnya.
"Ngaco, si Dimas lo percaya. Udah balikin aja sama dia," suruh Dewi yang kini kembali ke tempat duduknya.
Alin sempat berpikr sejenak, sebenarnya baju siapa yang Dimas berikan padanya kemarin.
"Atau jangan-jangan ini baju---"
"Eh, Alin." Kalimat Alin terpotong saat suara berat yang begitu familiar ditelinganya tiba-tiba terdengar.
"Nungguin gue yah?" tanya cowok yang diketahui adalah Dimas dengan pede.
"Nggak lah, si Alin tuh nungguin gue," sahut Ronal yang langsung di bungkam oleh Anji. Ia tidak mau mood Dimas hancur karena bocah tengil itu.
"Dimas,"
"Ya?? Dengan siapa dimana... passwordnya?" canda Dimas karena kegirangan saat Alin memanggil namanya dengan nada yang cukup pelan dari biasanya.
"Ini baju lo yah?" tanya Alin memastikan. Ia tidak mau terlihat bodo dan seolah tidak tahu apa-apa.
Bukannya menjawab pertanyaan Alin, Dimas malah tiba-tiba diam dan berkata, "Sorry yah Lin, gue nggak bermaksud bohongin elo. Cuma kalo gue bilang yang sebenarnya, lo pasti marah dan nggak bakal terima bantuan gue."
Hening...
Tak ada suara yang menyahut dari dalam kelas Dimas. Sepertinya semua murid tengah memperhatikan mereka sejak tadi.
"Makasih yah," ucap Alin pelan membuat mata Dimas membulat tak percaya.
"Ha?! Lo barusan bilang apa?" tanya Dimas memastikan. Tapi sayangnya Alin sudah pergi dan tidak ingin menggubrisnya terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRINCE LOKAL
Teen FictionKetika seorang cowok yang paling famous di sekolah, dikenal dengan kenakalan dan juga kealimannya, menyukai gadis cuek sepertimu. Apa jadinya? Sering dikejar tapi bukan layangan, sering dipantau tapi bukan artis dialah Alin Fauziah, gadis cuek yang...