Renjun masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di kantin sekolah. Kini dia dan Mark berada di dalam mobil pemuda itu dan saling diam.
Renjun hanya tidak sengaja menabrak meja senior dan menjatuhkan minumannya ke baju pemuda yang lebih tua. Dia sudah berusaha meminta maaf, tapi senior itu malah lancang meminta Renjun mengganti minuman dengan tubuhnya. Renjun mengerti itu hanya sebuah candaan, tapi Mark tiba-tiba datang dan memukul senior mereka. Hingga terjadilah perkelahian singkat yang disaksikan oleh banyak pasang mata.
Renjun masih terlalu terkejut dengan apa yang dilihatnya, dan tidak menolak ketika Mark menarik tangannya hingga berakhir di dalam mobil pemuda itu. Kini, disinilah mereka sekarang. Masih berusaha menguasai diri.
"Kau tidak apa-apa?" suara Mark bertanya memecah keheningan.
Renjun mengerutkan kening. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu."
"Kurasa ada beberapa gigiku yang patah karena pukulan darinya," kata Mark.
Mata Renjun melebar sempurna, lalu segera menoleh untuk melihat wajah Mark. Mulut pemuda itu berdarah. Baru Renjun ingin memeriksanya, Mark tiba-tiba tertawa. Kening Renjun semakin mengerut dalam.
"Aku hanya bercanda," ujar Mark. "Malah kurasa aku yang sudah mematahkan rahang senior itu karena memukulnya terlalu kuat."
Renjun terdiam. Dia tidak suka Mark bercanda disaat seperti ini.
Mark menoleh dan menyadari raut kesal Renjun. Dia sadar tidak seharusnya bercanda disaat seperti ini. Tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua terjadi diluar dugaannya.
Saat mendengar kalimat melecehkan dari mulut senior itu, darah Mark langsung naik ke kepala. Dia sudah dilatih sejak kecil untuk mengontrol emosi, tapi tadi bisa sampai lepas kendali. Siapapun yang bisa memberi jawaban, Mark sungguh berterima kasih.
Suasana kembali hening sesaat, sampai akhirnya Mark membuka suara lebih dulu. "Maaf," katanya. Tidak jelas untuk kesalahan yang mana.
Renjun masih terdiam. Tidak tahu harus membalas apa. Seharusnya dia juga berkata hal serupa. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk berucap.
Terdengar helaan nafas kuat dari Mark. "Kita perlu bicara."
Renjun mengangguk. "Tapi kau harus mengobati lukamu dulu."
Mark menghidupkan mesin mobilnya, lalu meninggalkan area parkir. Satu-satunya tempat yang dia pikirkan saat ini adalah restoran Ten hyung. Jadi dia membawa Renjun kesana tanpa bertanya.
...
...
...
Reaksi Ten sudah bisa ditebak. Pemuda Thailand itu melotot dan berkacak pinggang. Dia baru saja mendengar ceritanya dari Renjun, dan geleng-geleng kepala tak habis pikir.
"Lalu untuk apa kau datang kesini? Kau harusnya pergi ke rumah sakit untuk mengobati lukamu," geram Ten.
"Hyung, ini hanya luka kecil. Pinjami saja aku P3K milikmu," balas Mark. "Tolong siapkan makanan juga, aku dan Renjun belum makan siang."
Ten memijit pangkal hidungnya, merasa agak pusing. Dia melirik Renjun yang hanya diam menunduk disamping Mark. "Tunggu sebentar," katanya. Ten mengalah kali ini. Diambilnya P3K dari ruang kerja, lalu meminta pegawainya untuk menyiapkan makanan.
Renjun tanpa disuruh mengambil alih kotak P3K yang dibawa Ten, lalu mulai mengobati luka Mark. Sementara Ten memperhatikan mereka.
"Seingatku kau tidak suka kekerasan untuk menyelesaikan masalah." Ten kembali buka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another
FanfictionMereka adalah segiempat yang terbentuk karena dilema yang sama. . . BoyxBoy!