Mark bingung harus memulai dari mana. Tenggorokannya terasa kering. Renjun yang duduk disampingnya juga terlihat salah tingkah.
"Lain kali kalau senior itu mengganggumu lagi, langsung bilang padaku." Mark tidak mengerti. Bukan itu yang ingin dia ucapkan, tapi malah kalimat itu yang keluar mulus dari mulutnya.
Renjun hanya mengangguk kaku. "Tadi itu hanya bercanda," gumamnya.
Mark berdeham lagi. "Lagipula kenapa kau selalu seceroboh itu?" katanya. Serius? Kau akan melanjutkan pembahasan ini? Mark mengutuk dirinya sendiri didalam hati.
"Kenapa kau bilang 'selalu'? Aku tidak menjatuhkan minuman ketubuh orang lain setiap hari," protes Renjun.
"Tapi kau juga pernah melakukan itu padaku," kata Mark tak mau kalah.
"Waktu itu kau bilang tidak apa-apa. Sekarang kau jadi pendendam?" Renjun juga tak mau kalah.
Serius. Ten yang mencuri dengar tak jauh dari sana hanya merotasikan bola matanya jengah. Yang benar saja! Keluhnya. Dia yang awalnya sangat tertarik untuk menguping, sekarang jadi kehilangan selera.
Mark terdiam. Pembahasan ini tidak boleh diteruskan, atau dia dan Renjun akan terlibat baku hantam. Baiklah, itu tadi hanya sebagai pencair suasana. Sekarang mereka sudah bisa masuk ke pembahasan utamanya.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah tidak demam lagi?" tanya Mark. Terakhir kali, ketika bertemu di apartemen pemuda itu, Renjun sedang demam. Jadi, Mark tidak bisa membedakan apakah wajah merah Renjun hari itu karena demamnya masih tinggi, atau karena dia malu.
Renjun mengangguk. "Itu sudah lama. Sekarang aku sudah baik-baik saja," jawabnya.
Mark mengangguk kecil. "Kau bolos kelas Profesor Liu, apa karena aku?" tanyanya.
Renjun diam, sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab.
"Tidak perlu menghindariku. Karena mulai sekarang, aku akan terus mencari jalan untuk menemukanmu." Mark menatap Renjun lekat. Dapat dia lihat betapa terkejutnya Renjun mendengar kalimat yang terlontar dari mulutnya.
"Sebelumnya aku sangat ketakutan. Aku pikir aku sudah tersesat." Mark menampilkan senyumnya. "Tapi ternyata salah. Sejak awal, jalan yang kutempuh memang berujung padamu."
Renjun kehilangan kata-kata. Kedua matanya berkedip-kedip cepat tidak percaya. Dimana Mark mengutip kalimat seperti itu? Apa dia pernah melatihnya bersama Haechan?
"Aku serius!" Mark bisa membaca raut tak percaya dari Renjun. "Aku memang sering bermulut manis, tapi semuanya adalah kesungguhan."
Bisakah Renjun mempercayainya?
"Aku jatuh cinta padamu, Renjun. Semua perbuatanku tadi adalah buktinya," tegas Mark. "Aku tidak pernah cemburu melihat Haechan memasak untuk Lucas. Aku justru cemburu karena Lucas bisa memakan masakanmu sesuka hatinya."
Renjun masih terdiam, tapi matanya tepat bersitubruk dengan milik Mark yang berada di depannya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Satu-satunya emosi yang dia rasakan saat ini adalah⸺kebahagiaan.
"Lucas tidak pernah bisa bangun pagi untukku." Kalimat itu yang terlontar pertama kali ketika Renjun mampu mengeluarkan suaranya. "Tapi dia rela mengejar bus pertama hanya untuk menemui Haechan dan mencoba masakannya."
Mark menatap Renjun lekat, berusaha menemukan luka dari kalimat itu.
"Anehnya, aku tidak merasa terganggu sama sekali." Renjun terkekeh pelan. "Semakin hari, buku sketsaku malah semakin penuh dengan gambarmu."
Mark tertegun.
"Aku benar-benar hanya memikirkanmu." Renjun berkata susah payah karena menahan tangis. "Aku jatuh cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another
FanfictionMereka adalah segiempat yang terbentuk karena dilema yang sama. . . BoyxBoy!