<10. Diam-Diam>

43.6K 5.4K 1.3K
                                    

Aku maunya kamu yang nemenin aku. @ratih.audiaa

"Enak?"

"He'em," aku menganggukkan kepala dengan mantap. "Ah, akhirnya bisa makan piza."

Aku nunggu selama sebulan demi sekotak piza ini. Rasanya enak sekali. Seakan-akan aku nggak pernah makan piza sama sekali, saking lupanya sama rasa piza itu.

"Kamu nggak makan?" aku menawari Raden. "Enak, lho."

"Enggak," jawabnya sambil mengambil sepotong piza lain yang ada lebih banyak toppingnya lalu Raden suapkan padaku. "Lo makan aja semuanya."

Aku ganti menyuapi Raden karena, ya, tidak mungkin aku makan piza ini sendirian. Raden harus ikut makan. Masak dia hanya jadi penonton aja, sih. Nggak adil dong. Piza itu juga 'kan yang beli Raden. Gaji pertamanya.

"Gue udah makan, Rat. Udah kenyang."

"Aku juga udah makan," sahutku. "Ayolah. Gigit dikit aja, Den."

"Enggak, enggak."

Raden nggak mau makan piza ini mungkin karena nggak tega sama aku. Ya, aku makannya lahap banget. Sekotak piza ini, hanya dalam waktu beberapa menit saja tinggal seperempat. Aku sendiri yang makan. Hebat banget 'kan? Sebelum makan piza ini, aku sudah makan nasi bebek, sedangkan Raden makan nasi telur. Nggak tahu kenapa. Katanya lagi nggak suka bebek goreng atau ayam goreng.

Apa dia lagi berhemat?

Iya, dari kemarin Raden beliin aku makanan selalu beda sama yang dimakan. Aku makan bubur ayam, dia makan nasi uduk. Aku makan soto, dia makan mi instan.

"Kamu kurusan, lho."

"Enggak, ah."

Bohong! Jelas-jelas Raden emang kali ini terlebih lebih kurus.

Iya, lah kurus. Makannya aja dikit banget kek gitu. Ah, aku jadi ngerasa jahat sama Raden. Entah kenapa, aku ngerasa bersalah aja. Raden kerja keras, sedangkan aku cuma duduk diem di dalam rumah, ngeluh ini-itu pas dia pulang kerja.

Oh, iya. Aku selama di rumah nggak ngapa-ngapain lho. Baju kotor kita aja di laundry, bukan aku yang nyuci. Kadang, yang nyuci bajunya itu Raden. Bajuku dan baju dia. Istri macam apa aku ini, hm?

"Ini uang gajian gue," dia menyodorkan amplop cokelat berisi uang padaku, setelah aku menghabiskan sekotak piza itu. Habis tanpa sisa.

"Kok... dikasih ke aku?"

"Ya, 'kan lo istri gue, Ratih."

Aneh aja. Biasanya yang pegang uang memang Raden. Aku tinggal minta ini-itu doang ke dia, tanpa tahu dia punya uang berapa.

"Ini buat ditabung. Dikit-dikit aja nabungnya," ujar Raden seraya menyisihkan 300 ribu, dia masukkan ke dalam amplop lain. "Tabungan buat biaya persalinan nanti."

Bahkan, isi kepalanya sejauh itu.

"Terus ini buat makan sama beli peralatan makan."

Kalian percaya nggak, sih? Kalau di rumah kontrakkan ini nggak ada piring maupun sendok. Gelas aja adanya gelas plastik hadiah dari beli kopi. Iya, kita emang se-enggak-punya itu.

"Piring, gelas, sendok, botol," Raden berpikir sebentar. Keningnya kelihatan berkerut. "Harga kompor biasa berapaan, ya?"

"Buat apa beli kompor?" tanyaku, kebingungan. "Aku 'kan nggak bisa masak, Den."

Aku nggak mau, ya, kalau dia maksa aku buat bisa masak. Mentang-mentang aku ada di rumah terus. Males banget aku tuh disuruh masak.

"Ya, buat ngangetin makanan lah. Buat masak air juga. Jadi, gue nggak perlu beli kopi di luar. Terus, lo tiap pagi ngeluh airnya dingin 'kan kalau mau mandi. Nah, kan kalau punya kompor enak bisa masak air."

RadenRatihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang