2 tahun sudah aku berkelana. Mencari jati diri baru dan melupakan diriku yang lama. Namun, semua nampaknya mustahil meski sudah dua tahun berlalu. Sesuatu yang sepertinya telah melekat pada diriku, menjadi candu tersendiri. Membuatku merasa bahagia dan berada di atas. Sesuatu yang tidak dapat aku lepas.
Kini aku berjumpa kembali dengan kawan lama yang ikut kulupakan bersamaan dengan diriku dahulu. Ia yang kutinggal, kujauhi, kuhindari, berdiri di depanku. Dia, yang dulu menyadarkanku. Dia, yang dulu memintaku untuk menjadi orang baru. Dia, yang membuatku menjadi seorang Sergio.
"Sore," sapanya.
Aku mematung di tempat, tidak berani berucap bahkan sepatah katapun. Keberanian yang selama ini aku kumpulkan, lenyap menguap. Mataku bergetar menatap matanya. Lidah kelu ini, serta bibir yang mengatup, hanya itu yang kulakukan."Apa kabar?"
Aku menggeleng, mengalihkan tatapanku sebentar pada benda lain. Apapun, asal tidak menatap matanya.
Dari sudut ekor mata, kulihat ia maju selangkah, semakin mendekat padaku. Aku reflek mundur, tak ingin terlalu dekat. Itu bisa membuatku lumpuh seketika dan otakku berhenti bekerja.
"Tidak mau berbicara?"
Kuberanikan menatap matanya, bahkan tidak perlu bicara, sepertinya ia mengerti. Buktinya ia tersenyum. Kepalanya miring ke kanan, menatapku penuh arti. Sejenak kami seakan berbicara melalui pandangan. Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.
Pada akhirnya aku kalah lagi. Aku tertunduk, seperti dua tahun lalu. Ada sesuatu yang ingin kulakukan, tapi aku tidak tahu. Aku bergerak gelisah, tapi tidak mengerti alasannya. Pikiranku buntu, apalagi ketika melihat mentari yang hampir habis ditelan langit.
"Kenapa?" tanyanya seolah mengerti gerakan gelisahku.
"A-aku, kangen, mung …," aku tak kuat, kututup wajahku dengan satu lengan tanganku, "kin."
"Kamu hanya rindu masa-masa dulu, hanya itu," katanya kembali melangkah mendekat padaku.
Tentu aku menahannya, tanganku terangkat. Menyuruhnya berhenti. Ia pun berhenti. Kami sesaat larut dalam pikiran kami sendiri. Membiarkan keheningan merangkak dan menyergap."Maybe," lontarku tiba-tiba. Diriku sendiri bahkan tidak sadar telah mengatakan kata itu.
Tentu saja orang dihadapnku ini tersenyum. Ia berkacak pinggang dan menatapku dengan kepalanya yang dimiringkan. "Masa lalu sepertinya indah sekali, ya? Tenang, Laitereth World, Fafa, Ziu."
Aku tertegun, reflek kepalaku terangkat. Menatap matanya, tepat ke pupil matanya. Orang itu ikut menegakkan pandangannya. Senyum itu … masih di sana.
"Banyak banget yang kan? Yang gak mungkin kita kembali ke masa lalu." Ia diam sejenak, memikirkan kalimat yang tepat. "Tapi kita bisa coba lagi, 'kan?"
Kalimat yang ia pilih membuat diriku maju selangkah. Mataku kembali bergetar, entah kenapa. Aku ingin membatah semua kalimatnya. Tapi memang itu yang terjadi. Ia mengingatkan diriku.
"Aku, aku, tidak bisa!"
"Kalau tidak bisa, kita bisa mengenangnya bukan? Seperti Avenger, yang masih tersisa," terangnya, mengingatkanku pada teori kami dahulu. Ketika masih ada dia diantara kami.
"Tapi kita bukan Avenger. Kita Thanos, ingat? Jangan bahas teori itu. Aku muak." Kalimat terpanjang yang pernah ku ucapkan. Ya, yang terpanjang, semenjak dua tahun terakhir.
Ia mengangkat bahunya, melangkah lagi mendekatiku. Kutahan lagi, dan ia berhenti lagi. "Avenger tanpa Thanos, sama dengan mati. Harusnya mereka berterimakasih pada Thanos! Avengers tidak tahu diri. Hah, aku sempat bahagia menjadi Thanos, dikejar, diburu, diintai. Kita selalu dalam pengawasan mereka, mereka selalu mencari kita."
Tak sadar aku tertawa. Padahal bukan emosi ini yang aku rasakan. Sudah dua tahun, dan aku tidak pernah berubah. Aku tidak pernah mengeluarkan emosi yang kurasakan. Aku hanya manekin, yang harus tertawa. Boneka yang dimainkan dari balik layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing
Random"Menulis adalah caraku mengabadikan kisah yang akan menjadi kenangan abadi." Ketika semua tulisan yang tersebar kembali disatukan, membentuk puzzle kenangan yang hangat. Seketika mengundang nostalgia tak terelakkan. Hanya sekumpulan cerita yang semp...