Ini adalah tulisan tentang hari ke-6 puasa Ramadhanku, pada hari ini pikiranku sedang disibukkan dengan menemukan cara untuk cepat-cepat tertidur setelah menunaikan ibadah malam.
Namun, hingga tengah malam aku menjadi tidak karuan.
Maksudku, aku tidak bisa mulai tidur dengan tenang. Aku rasa meminum kopi sebelumnya menjadi dasar dari metabolisme tubuhku untuk tetap nyala dan masih menganggap belum tandanya jam tidur.
Tetapi itu bisa jadi dari rutinitasku sebelum ini yang selalu pergi ke kasur larut malam.
Aku termasuk orang yang menyukai suasana malam, bukannya aku melabeli diriku dengan nyctophilia atau apalah itu. Aku hanya mensyukuri ada selang waktu dimana hawa dingin dan tidak banyak kebisingan.
Siang hari di rumahku tergolong bising sekali. Hampir kendaran motor berlalu lalang sehingga meskipun halaman terbilang luas tapi suara dengan desibel yang tinggi itu masih saja bisa bertamu di kuping telingaku.
Oh ya, kembali ke malam. Rasanya malam bagi sebagian makhluk yang tengah merasakannya adalah pemantik kerinduan.
Kerinduan untuk segera bertemu pagi kembali. Bersua dengan orang yang ia jumpai setiap pagi. Menyambut segala sesuatu yang datang dan baru.
Bicara mengenai menunggu.
Penantian.
Malam adalah waktu yang pas rasanya untuk hal-hal seperti itu. Bukannya aku melodramatis atau apa.
Mungkin karena minimnya kebisingan yang aku sebutkan di awal menyebabkan orang menjadi pendengar dari batinnya sendiri. Menjadikan orang lebih peka terhadap perasaannya. Begitu karena tidak ada polusi dari lingkungan.
Ya, malam menjadi ruang waktu istirahat kita.
Istirahat dari keseharian dimana kita terpaksa memasang wajah dan watak yang bisa jadi berbeda dengan keaslian. Hanya untuk bisa diterima oleh lingkungan. Menjadi aktor / aktris pada pertunjukan publik.
Berusaha menampikkan realita dan mencoba memberi impresi.
Karena pada akhirnya juga, individu manusia adalah makhluk yang kesepian. Olehnya segala macam pekerjaan dan bersosialisasi menjadikan pikirannya terdistraksi. Membuatnya tetap waras dan tenang.
Bila sakit membutuhkan obat, maka kesepian membutuhkan rekognisi.
Aku ingin selalu menancapkan konsep itu dalam alam sadarku 24 jam. Setidaknya dengan begitu, aku menjadi bisa peka terhadap orang. Bahwasanya apa yang orang lain lakukan selayaknya mendapat atensi. Entah kelakuannya berdampak positif ataupun negatif. Begitupula dengan respons apa yang sebaiknya kita berikan.
Menjadi lebih utuh, sama halnya dengan catatan kemarin.
Saat ini semua usai, aku hanya ingin bertemu dan berterimakasih dengan orang yang pernah aku kenal. Aku menjadi takut, bukan jarak dan setting yang membuatku jauh dengan mereka. Tetapi dari bagaimana aku memperlakukan mereka selama ini.
Memukul egoku, kalau aku boleh bilang.
Namun di sisi lain akan terasa canggung bila mengatakan hal yang senada dengan itu.
Ah, sudahlah. Bagiku segala tindakan yang aku lakukan harus terlaksana dengan penuh kesadaran. Kesadaran untuk menyatukan serpihan demi serpihan memori kenangan menjadi individu yang utuh, asli, dan 100%.
Seperti itulah, do'aku. Bagaimana denganmu? Aku tahu kamu juga menginginkan sesuatu.
Maka dari itu, teruslah memegang keinginanmu karena itulah yang membedakan kita dengan hewan buas. Itulah yang meninggikan derajat manusia. Keinginan, harapan, mimpi, impian, dan padanan kata yang sejenis.
Astaga yang barusan ini aku terdengar sebagai motivator.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Kegiatan Ramadhan Kolpik
RandomDalam rangka menyambut bulan Ramadhan 1441H yang bertepatan pada tanggal 24 April 2020, penulis 'mencoba' mencurahkan isi kepalanya dalam cakupan catatan kecil. PS: Buku Kegiatan Ramadhan Kolpik akan diperbarui setiap harinya* *Memoar yang ada mung...