Siang tadi, di jam istirahat kantor, Sairish dan rekan satu timnya: Sashi, Bastian, Meirin, dan Venti, mengunjungi rumah Dewi untuk menjenguk anak keduanya yang baru lahir. Sudah beberapa minggu yang lalu sebenarnya, tapi karena kesibukan di kantor, mereka baru bisa menjenguknya hari ini.
Sampai menjelang waktu pulang, topik Dewi masih saja sesekali dibahas, terutama tentang anaknya yang baru lahir.
"Gue nggak ngerti, lakinya Mbak Dewi nyumbang apaan buat anaknya?" gumam Bastian.
Mereka masih berada di kubikel masing-masing, tapi Bastian, Meirin dan Venti sudah membalikkan kursi untuk saling berhadapan, mengobrol untuk menghabiskan waktu menuju jam pulang, berbagi camilan sisa istirahat siang.
"Cuma nyumbang ngadonin kali, Dewi yang nyediain cetakan sepenuhnya. Wajah anaknya mirip Dewi banget, cantik," sahut Venti.
Sashi yang baru selesai membereskan barang-barangnya di desk, segera berbalik mendengar ucapan itu. "Katanya ya, muka anak yang baru lahir itu pasti lebih mirip ke pasangan yang jauh lebih mencintai pasangannya."
"Maksudnya?" Sairish menanggalkan layar komputernya yang baru saja meredup, ikut memutar kursi untuk menghadap keempat rekannya.
"Jadi gini, kalau misalnya anak lo mirip suami lo, berarti selama ini yang jauh lebih mencintai adalah suami lo," jelas Sashi. Lalu tangannya mencomot keripik kentang dari stoples camilan yang dipegang Venti.
"Masa, sih?" gumam Meirin. "Aru kan mirip banget Pak Aryasa, berarti selama ini Pak Aryasa yang mencintai lo banget, gitu?"
Sashi menepuk-nepuk tangannya, membersihkan remah-remah keripik kentang, lalu mengibaskan rambut. "Iya lah."
"Lah, itu mah lo aja yang kepedean." Bastian mendelik, lalu menyandarkan punggung dan memutar kursinya ke arah Sairish. "Memangnya beneran, Mbak?"
Sairish mengerutkan alis. "Entah."
"Anak-anak gue sih iya, mirip bapaknya semua. Dan memang selama hamil gue benci banget sama laki gue, sementara laki gue begitu sabar." Venti memeluk setoples camilannya yang segera direbut Bastian.
"Lo mah memang penebar kebencian, Mbak," komentar Bastian yang membuat Venti mendelik.
"Kalau menurut gue, anaknya Mbak Sairish mirip bapaknya banget kayaknya." Meirin yang duduk di samping Bastian mendorong kursinya agak ke belakang agar bisa melihat jelas foto Sima dalam bingkai yang berada di atas desk Sairish. "Gue memang belum ketemu sama suami lo, tapi ... anak lo sama sekali nggak mirip lo, Mbak."
Bastian menjentikkan jari. "Bener. Mirip bapaknya banget pasti. Ya, kan?"
Sairish melirik foto Sima yang tengah tersenyum dalam pelukannya. "Kata orang sih ..., gitu." Semua orang yang bertemu dengan Sima, sejak lahir, akan berkata demikian. Berkali-kali Sairish mendengar, Sima mirip banget Handa, ya?
"Berarti, suami lo amat-sangat mencintai lo, Mbak," ujar Sashi, begitu yakin.
Sairish mengangkat bahu, melepaskan napas lelah. "Balik, yuk. Udah jam lima." Lalu berdiri seraya meraih tali tasnya.
Pukul lima sore, harusnya hari ini ia tidak terlambat pulang, dan Sima pasti senang menyambut kedatangannya. Namun, ada masalah yang mesti ia selesaikan sebelum pulang karena mobilnya yang tadi pagi tiba-tiba menyebalkan, yang sekarang masih berada di bengkel.
Selama berjalan bersama Bastian dan Meirin ke lobi, karena Sashi—seperti biasa—akan menunggu Pak Aryasa pulang, sementara Venti menunggu suaminya menjemput, Sairish tiba-tiba memikirkan kembali kalimat yang diucapkan Sashi.

KAMU SEDANG MEMBACA
7th Anniversary
RomanceSairish Hasya adalah seorang wanita yang begitu mencintai suaminya, tapi harus berusaha mengikhlaskan rumah tangganya karena tidak mendapat restu ibu mertua semenjak awal pernikahan. *** Awalnya Sairish pikir, hidupnya akan sempurna ketika dia dapat...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi