Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

5. Indah dalam Bayang

71.5K 8.7K 1.8K
                                    

Sairish yang masih berada di kamarnya, membenarkan kancing kemejanya sendiri tanpa bantuan Akala. Tentu saja, untuk apa meminta bantuan hal sepele pada orang lain? Setelah tawarannya ditolak, Akala segera keluar kamar dengan alasan gerah.

Gerah?

Sekarang, pria itu bergabung bersama keluarganya di sana.

Di dalam kamar, Sairish mendengar suara Sima dari arah ruang televisi. "Jadi, besok Handa bisa temenin aku main sepeda?" Suara itu membuat Sairish melirik ke arah sumber suara, walaupun tidak bisa melihat langsung gadis kecil itu, tapi ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi ceria dan antusias di wajahnya.

"Iya," sahut Akala.

"Bener, ya! Ajarin aku main sepeda roda dua!" Sima hampir berteriak ketika mengatakannya, membuat Sairish keluar dari kamar dan berdiri di ambang pintu sembari melipat lengan di dada, memperhatikan keadaan di ruang televisi itu.

"Roda empat aja dulu," sahut Farash. "Sok-sokan mau roda dua!" Kali ini Farash memeluk Sima gemas.

"Ya udah, udah malam." Ibu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Sekarang tidur, ya? Biar besok bangunnya nggak kesiangan."

Bapak mengusap puncak kepala Sima. "Iya, tidur sana. Besok Kakek mau lihat Ima main sepeda."

Sima bersorak, lalu memeluk Farash dan menariknya ke kamar. Ibu sudah menuntun Bapak ke kamar, sementara Akala baru saja bangkit dari tempat duduknya.

Akala menatap Sairish yang masih berdiri di ambang pintu, lalu melirik ke kiri dan kanan, seolah tengah memastikan semua orang sudah masuk ke kamar agar tidak ada yang mendengar ucapannya. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Terlihat sekali raut wajahnya yang lelah.

Sairish mengulurkan satu tangan ke arah kamar, lalu melangkah masuk lebih dulu, dengan Akala yang menyusul di belakangnya dan menutup pintu. Sairish duduk di tepi tempat tidur, melihat Akala yang kini malah tertegun di depan meja belajar.

"Boleh aku buka kotak ini?" tanyanya menunjuk sebuah kotak di atas meja belajar usang yang dulu lebih sering Sairish gunakan untuk membayangkan wajah Akala daripada belajar. Membayangkan bisa mengenal Akala, dekat Akala, Akala yang bisa mencintainya—walaupun rasanya saat itu tidak mungkin, lalu membayangkan hidup bersama Akala.

Saat itu, entah kenapa hanya dengan membayangkannya saja, Sairish merasa bahagia. Namun, setelah ia mengalami semuanya, ia tahu, sosok Akala ... mungkin hanya indah jika berada dalam bayangnya saja, bukan untuk menjadi nyata.

Sairish menuju tas yang berisi pakaiannya, meraih sepasang piyama. "Buka aja."

Akala berbalik, menggeser kursi dan duduk di depan meja. Tangannya membuka kotak itu, dan sesaat tertegun.

"Aku mau ganti baju, kamu jangan nengok ke belakang sampai aku bilang 'selesai' ya, Mas?" Setelah melihat Akala mengangguk kecil, Sairish mulai membuka kancing kemejanya satu per satu.

Sekarang, Akala meraih satu per satu benda yang ada di dalam kotak, memperhatikannya.

"Itu semua pemberian Yoan," jelas Sairish, membuat Akala menoleh. "Mas! Aku bilang jangan nengok!" Sairish berbalik untuk membelakangi Akala saat baru memasukkan lengan piyamanya, dan segera mengancingkan semua kancing piyamanya.

"Masih kamu simpan?" gumam Akala.

"Semua pemberian Yoan belum pernah aku pakai." Sekalipun parfum yang wanginya Sairish sukai, semuanya ia simpan baik-baik di dalam kotak itu.

"Kenapa?"

"Karena aku nggak suka Yoan." Kali ini Sairish berbalik dan menggulung baju kotornya begitu saja, menaruhnya di keranjang cucian bersama pakaian Akala tadi. "Aku pernah mengembalikan semuanya, tapi Yoan menolaknya." Sekarang, Sairish duduk di tepi ranjang, menatap Akala. "Tapi, aku tenang setelah melakukan itu. Yoan jadi tahu bahwa selama ini, nggak ada gunanya dia menyimpan harapan sama aku."

7th AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang