Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

1. Satu Alasan

113K 8.5K 1.2K
                                    

Id-card bertuliskan nama Sairish Hasya itu baru saja dilepasnya dan ditaruh di atas desk. Pekerjaannya hari ini usai pada pukul tujuh malam, lebih lama dari waktu yang dijanjikannya pada Sima. Padahal, pagi tadi, ia sudah berjanji pada anak itu untuk membantunya mengerjakan PR sekolahnya malam ini.

Sejak Dewi cuti melahirkan, Sairish terpilih menjadi team leader baru di divisinya, menggantikan posisi Dewi—yang hanya sementara awalnya. Namun, setelah masa cuti tiga bulan berakhir, Dewi mengabari bahwa ia tidak lagi diizinkan bekerja dan akan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya setelah kelahiran anak keduanya itu.

"Suami gue nggak ngizinin gue kerja lagi, Rish. Lo nggak keberatan kan jadi team leader untuk seterusnya?" ujar Dewi ketika datang ke kantor siang itu.

Tentu saja tidak masalah. Tanggung jawab yang dilimpahkan padanya tidak semata-mata karena Dewi adalah teman dekatnya, tapi merupakan keputusan dari hasil diskusi HRD dan Pak Aryasa sebagai manajer divisi. Jadi, ia yakin dengan kemampuannya. Walaupun setelah itu, Sima lebih sering protes karena waktu kerja yang baru membuatnya sering terlambat pulang. Malam ini salah satunya.

Namun, setelah jabatan baru yang didapatkannya dari beberapa kegagalannya dulu, ada pemikiran aneh yang terlintas di dalam kepalanya. Tentang suami Dewi yang menyuruh Dewi berhenti bekerja. Masih adakah suami semacam itu di dunia ini? Yang peduli pada apa yang terbaik untuk istrinya?

Dering ponsel di atas desk mengalihkan perhatiannya, Sairish menarik kursinya mendekat, lalu mengangkat telepon masuk—yang ia tahu siapa pelakunya. "Halo?"

"Ibun?" Suara rengekan Sima terdengar. Benar, anak itu pasti memastikan keadaannya. Hanya Sima yang peduli apa yang dilakukan Sairis waktu demi waktu. "Katanya pulang jam lima sore, kok jam segini belum sampe rumah?"

"Iya, kerjaan Ibun hari ini banyak banget." Sairih memegang ponselnya dengan sikut yang bertumpu ke meja, sementara tangan yang lain memijat pelan keningnya. "Maafin Ibun, ya?"

"PR sekolahku gimana?"

"Apa Mbak Laras bisa bantu dulu, sambil nunggu Ibun sampai rumah?" Sembari terus berbicara, Sairish membereskan segala barangnya untuk dimasukkan ke tas. "Ibun pulang kok, ini lagi siap-siap."

"Oh. Okay! Hati-hati ya, Bun!" Suara ceria Sima kembali terdengar, memberi kekuatan yang tidak pernah Sairish mengerti kenapa selalu sampai padanya.

"Iya. Ngomong-ngomong, mau Ibun bawain apa? Makanan? Atau apa?" Sairis sudah menarik tali tasnya, hendak bangkit, tapi suara Sima di seberang sana menghentikan gerakannya.

"Nggak. Nanti aja kalau aku ulang tahun." Lalu gadis kecil itu terkikik. "Ibun nggak lupa kan hari ulangtahun aku?"

Sairish melirik kalender duduk di mejanya, meraihnya lebih dekat. Telunjuk kirinya menelusur tanggal-tanggal di sana. Ah, benar. Tanggal dua puluh lima April tinggal tiga hari lagi. "Oke. Jadi mau apa kadonya?" Ia tersenyum seraya kembali menyandarkan punggung lelahnya ke kursi, kalender itu masih digenggamnya di tangan kiri.

"Nanti aku kasih tahu!" ujar Sima antusias. "Sekarang Ibun cepet pulang ya!"

"Siap, Bos!"

"Ima sayang Ibun!"

"Ibun juga sayang Ima," balas Sairish sebelum mematikan sambungan telepon.

7th AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang