📖🖊 ♧ 06. Ilyasah ♧

564 101 11
                                    

Happy Reading Gaes (!) 💜

_________________
_______________________

"Pasti ada seseorang paling berharga dalam hidupmu yang bersamanya kau bisa hadapi segala tantangan dunia dan menjadi lebih kuat."










*****

"Si Mbok pergi dulu, Le. Sing krasan ndek kene yo (Nenek pergi dulu ya, Nak. Yang betah di sini)."

Awal tahun ajaran baru di sebuah pondok pesantren kawasan Kota Surabaya. Tampak seorang wanita tua mengelus rambut anak lelaki yang baru memasuki usia remajanya, dia adalah Ilyasah, dia sederhana persis seperti namanya. Berparas kalem, berambut lurus hitam pekat, berkulit sawo matang, bermata agak sipit dengan bola mata berwarna coklat terang, lengkap dengan alis mata indah nan sempurna bak bulan sabit, kedua bibirnya tipis dan agak kemerahan dengan dua buah gigi kelici yang lucu, terlihat jelas saat dia tersenyum, hidungnya pun mancung selaras dengan tulang pipinya yang sangat terbentuk. Anak bersarung kotak-kotak dan berkopiah itu terus melihat sekeliling kawasan pondok pesantren, menelaah tiap sudut lingkungan barunya. Sudah jadi sebuah tradisi di Pulau Jawa untuk me-mondok-kan anaknya agar bisa memperdalam ilmu agama.

Dua bola mata anak itu sedikit berkaca-kaca ditinggal si Mbok yang sudah mengurusnya sejak kecil. Dia menahan air mata sambil merangkul erat tas ransel yang dibawanya dari rumah, beserta beberapa kardus yang berisi pakaian serta buku-buku.

"Si Mbok mriki malih nggih, sambang Ilyas (Nenek tolong ke sini lagi, menjenguk Ilyas)." Anak lelaki itu mulai kehilangan kendali atas air matanya yang meronta ingin jatuh.

"Jogja rene iku ora cidek, Le. Bekne enek duit luwih, si Mbok sambang manih. Wes ojo nangis, lanang kok nangisan (Jogja ke sini bukan jarak dekat, Nak. Nenek akan jenguk lagi kalau ada uang. Sudah jangan menangis, anak laki-laki kok cengeng)!" Ucap tegas wanita tua yang umurnya hampir menyentuh dua pertiga abad. Seluruh rambutnya telah memutih sempurna, tertutup kudung kain seadanya, sama kumalnya seperti jenis pakaian yang ia kenakan, kebaya dan sewek batik yang sudah luntur, tak jelas lagi warnanya. Tangan renta itu masih kuat memegangi sebuah tongkat kayu.

"Injjih Mbok (Iya Nek)." Air matanya mulai menetes perlahan dari pipi remaja berkulit sawo matang tersebut, sesekali dia menyekanya agar terlihat tegar.

"Si Mbok mantuk yo, Le (Nenek pulang ya, Nak)." Kedua tangan renta merangkul erat satu-satunya cucu kesayangan.

Ayah ibu Ilyasah sudah lama meninggal karena kecelakaan, keluarga ibunya tidak mau tahu atas anak tersebut karena memang waktu pernikahan kedua orang tuanya sangat ditentang oleh pihak keluarga mempelai wanita. Satu-satu keluarga yang dimiliki anak malang tersebut hanyalah si Mbok, nenek yang sudah tua renta, ibu dari almarhum ayahnya, nenek kesayangannya, janda yang tinggal sendirian di sebuah kawasan terpelosok desa kecil yang terletak di pinggiran Kota Daerah Keistimewaan Yogyakarta.

"Sing manut karo omongane Pak Kyai, belajar tenanan, Le (Yang nurut sama ucapan Pak Kyai, belajar yang sungguh-sungguh, Nak)."

Langkahnya gemetaran, sesekali ketukan tongkat terdengar. Perlahan, sosok wanita tua itu menghilang dari balik gerbang pesantren. Anak lelaki yang masih berdiri di depan pondok, kemudian berjalan ke ndalem (Sebutan untuk rumah Pak Kyai dan Bu Nyai). Di teras, dia dihampiri seseorang.

"Looh, Ilyas sudah datang tho? Wuih, sudah besar aja kamu, Yas!" Itu Kang Hasan yang menyapa. Abdi ndalem yang sudah lama di sini, sekaligus tetangga si Mbok Ilyas, beliau juga sudah menikah.

"Inggih Kang, nembe mawon (Iya Kang, baru saja)," jawab Ilyasah, menyeka sisa air matanya.

"Wes, ojo gae kromo alus. Marai ketok tuwek aku. Padahal yo iyo sih. Si Mbokmu wes muleh (Sudah, jangan bicara bahasa jawa halus. Malah kayak aku kelihatan udah tua banget, padahal sebenernya iya juga sih. Nenekmu sudah pulang)?"

"Sampun Kang (sudah Kang)."

"Looooh ya, boso maneh kok (Looh ya, pakai bahasa halus lagi)."

"Heheheh, ngapunten Kang (Maaf Kang)."

"Ambek aku santai wae. Ojo terlalu boso, wes tho engko eneh beres-beres e. Lebokne ndek kamar ae barang-barangmu. Ayok nang omahku, Mbak Fatma wes masak uenak gae sampean loh (Sama aku santai saja. Jangan terlalu pakai bahasa halus, sudah nanti saja beres-beres lagi. Barang-barangmu masukkan kamar saja dulu. Ayo ke rumahku, Mbak Fatma sudah masak yang enak buat kamu loh)."

Mereka berdua berjalan ke bangunan rumah sederhana yang terletak tidak jauh dari pondok pesantren. Ilyasah datang seorang diri ke sini, merasa sendirian dan sangat kesepian setelah si Mboknya pergi. Tapi semua itu tidak bertahan lama. Kang Hasan dan Mbak Fatma memperlakukannya seperti keluarga mereka sendiri, bahkan seperti anak, kadang seperti adik lelaki Kang Hasan. Ilyasah lahir dengan kemalangan sekaligus dengan keberuntungan yang menyertai, semua orang di sekitarnya bisa luluh hanya dengan melihat wajah melasnya.

Sore itu, mereka makan bersama. Ilyasah seperti menemukan keluarga baru di hidupnya. Jauh di lubuk hati, dia sangat senang dan bahagia, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari bayangan si Mbok di rumah yang pasti sendirian. Pikirannya melayang, baru beberapa jam saat si Mbok pergi, air mata sudah menetes lagi.

Kang Hasan dan Mbak Fatma sangat paham bagaimana susahnya melepas rumah dan pindah ke tempat tinggal baru di pondok, mengingat mereka berdua juga sama-sama pernah jadi santri. Tapi Ilyasah penderitaannya lebih berat, dia yatim piatu sejak kecil. Mbak Fatma pun ikut meneteskan air mata melihat isak tangis Ilyasah, karena sudah tahu latar belakang Ilyasah sebelum dia datang ke sini, Kang Hasan sudah banyak cerita tentangnya, ia tahu karena si Mbok Ilyasah juga tetangga dekat orang tua Kang Hasan. Si Mboknya juga janda tua yang sangat baik terhadap keluarga Kang Hasan.

"Nanti malam kutemani sowan (menghadap Pak Kyai dan Bu Nyai), sekarang beliau berdua masih keluar ada urusan." Kang Hasan menepuk pundak Ilyas.

"Ilyasah mau tidur di sini dulu kah? Capek pasti kan habis naik kereta. Mandi dulu yah, Le?" Mbak Fatma tersenyum kepadanya sambil menyodorkan sebuah handuk baru.

"Terima kasih Mbak, tapi saya bawa handuk sediri di tas."

"Ya sudah, ambil. Terus tidur di sini dulu gapapa. Biar tidak kesepian di ndalem sendirian. Mas Hasan habis ini mau ke pondok, ngecek santri-santri putra yang belum pulang dan masih mampir di warung kopi, kalau mau jama'ah sekalian nanti biar bareng Mas Hasan, Mbak mau ke pondok putri buat ngecek laporan perkembangan ngaji Qur'an santri putri. Gapapa tho? Tak tinggal, kamu kan juga mau sowan ke ndalem sama Mas Hasan, nanti habis jama'ah saja."

"Terima kasih, Mbak Fatma."

"Iyoo, anggep wae Mbak iki keluarga sampean (iya, anggap saja Mbak ini keluargamu)."

Ilyasah mulai tersenyum dan melupakan kesedihannya.

Selesai sholat jama'ah di masjid, Kang Hasan mengajak Ilyas untuk sowan ke ndalem Kyai Fahruddin dan bu Nyai Rahayu.

Semua berjalan cepat selama beberapa tahun. Ilyasah tumbuh menjadi santri yang penurut dan pintar. Sosok Ilyasah akan menjadi pemimpin yang disegani masyarakat suatu hari nanti. Dia sangat cepat mandiri karena memang sejak kecil sudah terbiasa begitu.

📓✍

.
..
...
....
.......

________________________
_____________________

Suka dengan ceritanya?

Klik bintang yah kak!🤩🤩

Gak suka sama cerita ini?
Komen aja kak!😉😉

Oke, next!☺️

𝐇𝐢𝐬 𝐅𝐨𝐫𝐭𝐮𝐧𝐚𝐭𝐞 𝐅𝐚𝐧𝐠𝐢𝐫𝐥 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang