Bab 1

15.5K 715 58
                                    

Sebelumnya perkenalkan namaku Nauvan Lee, panggil saja Nouvan atau Ovan. Aku terlahir dari kalangan keluarga yang sangat sederhana, terkadang untuk makan sehari-hari saja kami harus berjualan makanan dan minuman atau sarapan pagi. Hari-hari ku membantu ibuku berjualan dari jam lima subuh sampai jam sepuluh pagi. Kami satu keluarga pindah dari kampung halaman kami ke kota untuk mengadu nasib. Setibanya kami di kota aku berusaha mencari pekerjaan untuk memperbaiki ekonomi keluargaku. Mulai jadi kuli bangunan, tukang sapu jalanan, dan sebagainya. Kisah ini aku mulai saat aku masih SMA....

Dijual sahabat sendiri

Pagi itu, aku sedang asik tertidur. Suara ketukan pintu terdengar dari luar, sahabat satu kosan ku baru saja pulang dari tempat kerjanya. Aku bingung dia kerja apa, aku pernah menanyakannya kepadanya tetapi ia tidak menjawabnya. Aku juga tidak mau menanyakan hal yang begitu mendetail soal pekerjaan orang lain.

"Ovan, ni buat loe. Tadi gue habis gajian, gue tau lu kelaperan nungguin gue kan? Ni gue beliin nasi goreng sekalian buat sarapan." seru sahabatku yang bernama Gandhi.

"Mnp... Loe langsung mandi? Ga tidur dulu?" sahutku (Ovan).

"Iya mau mandi langsung aja, loe sarapan aja dulu, gue udah makan tadi. Lagian gue juga udah tidur kok tadi, takut telat ke sekolah gue." sahut Gandhi.

"Oke deh, buruan mandi cepetan nanti gantian." ujar ku lagi.

Gandhi langsung pergi mandi sementara aku menikmati nasi goreng yang di belikan Gandhi. Lalu setelah Gandhi selesai aku pun mandi juga. Kami sering bersama-sama pergi ke sekolah, hari ini adalah hari senin, satu yang membuat Gandhi bersamangat pergi kesekolah ialah, guru Matematika kami. Jujur saja guru kami itu memiliki paras yang tampan, berwibawa, dewasa, dan cool abis. Dia adalah guru magang di sekolah kami.

Aku bersekolah di SMA swasta bukan negeri. Kemudian aku dan Gandhi pun sampai di sekolah. Gandhi memiliki mobil di usianya yang masih muda, saat aku tanya itu adalah mobil pemberian orang tuanya. Jujur aku akui, ia memang dari kalangan berada. Saat sampai di sekolah, mereka duduk dulu di kantin, dan di kantin Nouvan dan Gandhi biasa sering duduk dekat jendela, tetapi baru saja dudul geng penganggu datang.

"Loe loe pada minggir, disini tempat makan kita biasanya." ujar salah satu ketua geng yang sering gangguin aku.

"Loe bisa lihat gak? Kami duluan disini, lagain masih banyak tempat duduk lain." sahutku.

"Eh ada adek cakep, boleh gabung gak abang tamfan ini?" sahut ketua geng itu yang bernama Willyam Suhendro. Paras oriental alias Chinese yang mendominasi ketampanannya.

"....."

Karena tidak aku tanggepin dia langsung duduk dan memesan makanan, kemudian Gandhi memiliki pemikiran licik, lalu ia pun berbicara. "Abang tamfan kalau mau duduk sini sama kami para dedek caem ini, kudu traktir kami ya. Kalau gak mau pergi jauh-jauh sana."

Aku melongo dan tidak tahu harus berbicara apa, aku cuman berharap bell masuk lelas segera berbunyi. Dan tidak menunggu waktu lama, bell masuk kelas berbunyi, tetapi Willyam tidak kunjung bangkit dari tempat duduknya.

"Kak Will, udah bell masuk. Bentar lagi bu Bertha masuk kelas kakak loh," ujar ku.

"Tapi janji dulu, loe harus makan sama gue nanti pas jam istirhat." ujar Willyam padaku.

Belum sempat berbicara, Gandhi mengiyakannya. "Tenang aja, kami nanti datang di meja ini."

"..."

Aku cuman melotot, lalu Willyam pun bangkit dari tempat duduknya, aku merasa kesal dengan Gandhi. "Loe nih apa-apaan sih, gue tuh males banget kalau udah ngeliat muka kak Willy..."

"Loe begok atau gimana sih? Dia itu baik sama loe, lagian biarin ajalah kan lumayan makan gratis." sahut Gandhi.

Aku berjalan duluan meninggalkan Gandhi di belakang, kami satu kelas dan satu bangku. Tidak berapa lama, pak Andhi pun masuk kedalam kelas, aroma parfumnya semerbak dan mencuat mewangiin seluruh ruangan.

"Habis berapa botol parfum sih pak Andhi ini?" Ujarku.

"10 botol kali, lagian enak kok bau parfumnya, gue sampai pusing." sahut Gandhi.

"Loe kurang ajar, ngatain baunya enak tapi pusing." seruku lagi.

Kami berdua cekikikan, sampai suara deheman pak Andhi membuat kami diam.

"Ekheeem..." pak Andhi berdehem, lalu ia pun berbicara. "Selamat pagi anak-anak?"

"Pagi pak...." sahut kami serentak.

"Baiklah semuanya hari ini kita ulangan, mengingat nilai kalian jelek semua, jadi kita ulangan. Pusing saya mengajari kalian, masuk kuping kiri keluar kuping kanan," ujar Pak Andhi.

Semua murid pada mengeluh, tetapi pak Andhi sudah mengatakan tidak boleh protes. Kami pun melakukan ujian ulangan itu dengan tenang, damai, tentram, dengan aroma theraphi dari parfum pak Andhi yang semerbak, menemani dan melengkapi kepusingan kepala kami. Udah pusing melihat soal ujian, di tambah pusing dengan aroma parfum pak Andhi. Pak Andhi mondar mandir di setiap bari meja, saat sampai di meja ku dan Gandhi, bisa-bisanya ia berhenti di depanku dan pas saat aku menoleh mataku tertuju pada gundukan celana pak Andhi. Aku buru-buru memalingkan wajah. Sementara Pak Andhi masih berdiri di sampingku.

"Ada yang tidak kamu tau Ovan?" ujar pak Andhi.

"Gak kok pak, kan soalnya sama kayak kemarin." ujarku.

Pak Andhi hanya mengangguk sambil tersenyum kepada Gandhi. Aku melirik Gandhi, dan kemudian berbicara. "Kenapa loe senyum-senyum kayak orang gila."

"Ah koe gak bakalan ngerti, ya udah gue nyontek nomor sepuluh dong." ujar Gandhi.

Aku pun memberikan jawaban nomor sepuluh padanya, kemudian aku selesai duluan dan menyerahkan kertas soal dan lembar ujian kepada pak Andhi, lalu aku pun di suruh keluar kelas. Aku sudah memberikan contekan kepasa Gandhi. Aku duduk di bangku coridor kelas, saat aku melihat ke arah lapangan, aku melihat kak Willyam tengah menatap dan berjalan ke arahku.

"Mampus aku..." ujarku pada diriku sendiri.

"Loe di hukum? Kok diluar?" ujar Willyam.

"Enak aja, emangnya kak Willyam yang sering di hukum berjemur di lapangan kayak hari ini." ujarku.

"Lah terus ngapain loe di luar?" ujar Willyam lagi.

"Tadi lagi ulangan, dan aku selesai duluan, ya udah aku disuruh keluar deh." ujar ku lagi.

Willyam memandangiku naik turun, lalu ia berbicara. "Heh, gue haus ni. Kekantin yuk?"

"...."

"Malah diem, hmmm. Buruan!!" ujarnya lagi.

"Kakak mau di tambah lagi hukumannya? Kan masih jam pelajaran, tunggu 20 menit lagi bell istirahat." sahutku sambil menahan tawa.

Karena kesal dia pun pergi ketengah lapangan lagi, ntah ulah apa lagi yang di perbuatnya sehingga dia di hukum. Seingatku dia paling sering tidak mengerjakan tugas sekolahnya, entah karena dia malas atau apa, aku pun tak tau....



Bersambung....

Hai gaes cerita baru aku yuk mampir dan jgn lupa vote ya....


BL- ME...!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang