Part 1 POV DIKA

10.5K 157 3
                                    

Bismillah! Semoga terhibur 🙏🏽😊

❤❤❤

“Lo, serius mau nikahin Kaka ipar, Lo?” Robi menjentikkan rokok yang ada di sela jarinya.

Aku menatap Robi sekilas, yang tengah duduk santai di kursi dalam kamar kost dengan kaki kiri terlipat di atas kaki kanannya. Aku mengangguk pasrah lalu kembali mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kuhadapi ini.

Kalau saja malam itu aku tidak mengiyakan janji Abangku. Aku tidak akan dapat masalah yang setiap hari makin bertambah bebannya. Apalagi saat melihat senyum dari wajah polos Almira buah hati Bang Dito dan Mbak Vira seolah kata-katanya bak mantra yang enggan hilang dari pendengaran.

Namun, siapa yang bisa menolak di saat situasi seperti itu. Kurasa presiden pun tidak mampu menolak saat menerima titah dari orang yang ia sayangi. Kakak kandung sendiri.

Bang Dito mengidap penyakit maag akut yang secara berangsur melemahkan semua daya tahan tubuhnya. Hampir satu bulan ia terbaring di rumah sakit. Aku, Ibu, dan tentu Mbak Vira menjaga bergantian.

Seringnya aku ditugaskan menemaninya di malam hari setelah perkuliahan usai. Karena nggak mungkin Mbak Vira yang tengah hamil besar menungguinya setiap saat.

Kasian akan Almira yang masih dalam kandungan saat itu. Dan tepat sebulan sebelum kelahiran Almira, Bang Dito menghembuskan napas terakhir yang sebelumnya kembali masuk ruang ICU tidak sadarkan diri selama tiga hari.

Dulu sebelum Ayah meninggal pun, Beliau berpesan untuk pantang sekali sebagai laki-laki mengingkari sebuah janji. Hal itu pun selalu kami taati hingga kini. Usiaku dan Bang Dito terpaut sepuluh tahun.

Saat itu Bang Dito baru saja lulus SMA berjanji melindungi aku dan Ibu, membawa perekonomian keluarga menjadi stabil setelah usaha Ayah hampir bangkrut karena Beliau sakit yang cukup menguras tabungan keluarga.

Aku yang saat itu baru berusia 10 tahun berjanji pada Ayah menjadi anak yang penurut, tidak pernah menuntut bahkan ribut seperti anak seusiaku suka kebut-kebut di jalan.
Aku menepatinya dengan menjadi anak yang baik meski tidak sehebat Bang Dito.

Setidaknya, aku tidak merepotkan mereka dengan segala tingkah yang biasa anak seusiaku lakukan.

Kali ini, aku dapat sebuah janji yang sesegera mungkin harus kutetapi. Namun, sulit sekali untuk dijalani bahkan sekedar melontarkannya, siapa sangka aku harus menikahi kakak ipar sendiri.

“Terus, si Lili Lo mau ke manain?” Robi lagi melontarkan pertanyaan yang seolah membuat otakku tidak berfungsi.

Lili, gadis manis yang sejak awal masuk kuliah telah mencuri hati ini.
Dia si pemilik mata teduh. Kami dekat bahkan sering jalan bareng. Namun, tidak ada ikrar bahwa kami pacaran.

Aku lebih suka begitu. Karena nggak akan ada istilah mantan jika tidak lagi ada kecocokan antara kami. Lili pun tidak protes akan hal itu. Namun, lagi-lagi si lidah tidak bertulang merapalkan sebuah janji.

“Tau, lah. Ngobrol sama Lo, sama sekali nggak kasih gue solusi,” ucapku ketus, mengusap wajah yang kian frustrasi.

“Ye, lu kok marah Dik. Gue kan beneran tanya si Lili mau dikemanain. Dia beneran cinta sama lu. Lu kan janji mau nikahin kalau lulus nanti.” Robi menghempaskan asap rokok yang keluar dari sela bibirnya tinggi-tinggi semakin membuat udara dalam kamar indokost kian pengap.

“Ya itu kan nanti, sekarang masalahnya janji gue sama Bang Dito. Gimana caranya gue tepatin.”

“Ya, nikahin kaka ipar lo.”

“Masalahnya, mana mau Mbak Vira sama gue?”

Yakin, pasti Mbak Vira nggak mau. Sama aku yang masa depannya masih abu-abu ini. Kalau dibandingkan sama mendiang suaminya. Bang Dito sudah sukses secara finansial. Nah, aku. Uang kuliah aja masih dibiayai beliau.

MENIKAHI KAKAK IPAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang